Paham
Totemisme Marga Sembiring
Dalam
Suku Karo
1.
Pengantar
Kebudayaan adalah cara berlaku yang dipelajari,
kebudayaan tidak tergantung dari transmisi biologis atau pewarisan melalui
unsur genetis. Perlu ditegaskan hal itu disini agar dapat dibedakan perilaku
budaya dari manusia dan primat yang lain dari tingkah yang hampir selalu digerakkan
oleh naluri.[1]
Semua manusia
dilahirkan dengan tingkah laku yang digerakkan oleh insting dan naluri yang
walaupun tidak termasuk bagian dari kebudayaan, namun mempengaruhi kebudayaan. Misalnya, kebutuhan akan makanan adalah
kebutuhan dasar yang tidak termasuk kebudayaan. Tetapi bagaiman kebutuhan-kebutuhan
itu dipenuhi, apa yang kita makan, dan bagaimana cara kita makan adalah bagian
dari kebudayaan kita. Jadi, semua orang makan, tetapi kebudayaan yang berbeda
melakukan kegiatan dasar itu dengan cara-cara yang sangat berbeda pula. Oleh
karena itu, kita dapat mengetahui bahwa setiap kebudayaan itu mempunyai ciri
khas masing-masing dimana kebudayaan itu digunakan atau dimana seseorang
bertempat dan dibesarkan pasti akan memperoleh kebudayaan yang beda, ntah itu
dilarang dalam hal kekerasan atau yang lainnya. Karena dalam masyarakat kita
dan dalam aturan-aturan, kekerasan fisik itu sangatlah dilarang, maka jika
melakukan hal demikian, adat ini tidak akan dapat diterima oleh sebagaian besar
warga masyarakat. Adat demikian melanggar system sikap, nilai-nilai dan
perilaku yang kita miliki sebagai suatu masyarakat dan yang merupakan
kebudayaan kita. Kita mungkin akan membantah bahwa untuk memperoleh pengertian
dan penghargaan perilaku masyarakat tertentu, perlu untuk memahami kebudayaan
masyarakat tersebut dan alasan-alasan adat-istiadat itu. Seperti halnya dalam
masyarakat tertentu, orang-orang akan sangat menghargai suatu kebiasaan yang
baik jika itu merupakan suatu yang pantas dan dapat diterima oleh masyarakat
umum di suatu daerah. Tidak jarang juga kita dengar adanya suatu aturan itu
bermula dari mitos-mitos yang diyakini pada zaman dahulu yang merupakan suatu
hal yang menguntungkan ataupun suatu yang membantu masyarakat setempat dalam
segala sesuatu yang mereka butuhkan dalam hidup mereka setiap saat, bahkan
karena kepercayaan akan mitos-mitos itulah hidup mereka akan baik dan damai
sejahtera. Dan pada zaman dahulu mitos yang disebutkan itu adalah suatu totem (benda-benda yang dianggap suci
karena dikira berhubungan dengan nenek moyang). Totemisme[2]
adalah kepercayaan bahwa ada hubungan mistik antara suatu kelompok makhluk
manusia yang merupakan kesatuan kekerabatan dengan sejenis tumbuh-tumbuhan atau
binatang atau hal terakhir ini kurang lazim, hubungan dengan suatu gejala alam
tertentu.
Ada banyak defenisi mengenai totemisme dan pada
suatu ketika perselisihan mengenai arti istilah totemisme asal pranata serta
arti sosiologinya jadi sangat meruncing. Ia sering disebut suatu fenomena
religi atau social. Adanya larangan-larangan makanan, kebiasaan mengambil nama
binatang totem sebagai suatu eponym
(nama keluarga), tugas-tugas para totemit untuk memastikan penyebaran binatang
totem, merupakan beberapa segi penting yang sering ditekankan sebagai sifat
hakiki dari totemisme. Yang terkenal sekali adalah studi yang luas dari Sir
James G. Fraser, yang cenderung menganggap bahwa sifat khas dari semua
perbuatan totem adalah seperti yang terdapat pada bangsa Australia yaitu
lambing reinkarnasi jin totem, dikaitkan dengan loyalitas tertentu, dalam
setiap anak. Akan tetapi Goldenweiser menambahkan catatan kesimpulan yang
penting dengan menyatakan bahwa terdapat demikian banyak manifestasi tentang
hubungan antara manusia dan binatang, hingga tidak ada diantaranya yang dapat
dipakai untuk menandai gejala tersebut pada umumnya. Tentu saja, jika
lembaga-lembaga social di dunia yang disebut ItotemicI diperbandingkan, variasi
yang dapat dilihat dalam sanksi-sanksi terhadapnya adalah banyak. Bagi
kebanyakan orang adalah pantang untuk makan binatang totem, tetapi ada juga
yang memakannya. Banya orang yang memakai namanya dari suatu totem (atau
bersifat eponymous), tetapi ada yang
tidak memakai nama totemnya. Ada kelompok yang melambangkan totem mereka,
melalui karya artistic, dan ada yang tidak. Totemisme dapa ditemukan walaupun
tidak ada kepercayaan mengenai keturunan yang berasal dari suatu totem, seperti
di Afrika Barat. Di tempat itu telah ditemukan hubungan keluarga yang dalam
antropologi dinamakan “totemisme untuk menghormati jasa-jasa yang telah
diberikan”. Pada gejala ini orang-orang totemit memakai nama hewan totemnya dan
hewan itu tidak dibunuh atau dimakannya, karena mitos menceritakan bagaimana
hewan ini bersahabat dengan mereka, dengan nenek moyang mereka dalam masa-masa
krisis pada permulaan sejarah mereka. Laporan etnografi juga menyatakan bahwa
malahan berbagai macam totemisme dapat ditemukan dalam satu masyarakat yang
sama, sehingga sebagai warga masyarakat, menyatakan bahwa keturunannya,
bersumber pada totem mereka, sedang warga lain dari kelompok yang sama tidak
mengakuinya; yang satu memakai nama totemnya, yang lain menganggapnya terlalu
keramat untuk diungkapkan. Jelaslah, walaupun pranata totemisme merupakan suatu
kekuatan yang besar dalam kehidupan para warga menganutnya, namun istilah
totemisme itu sendiri mencakup berbagai ragam gejala.
Totemisme hendaknya
jangan dianggap sebagai suatu yang aneh yang ditemukan oleh akal primitive atau
orang bersahaja. Praduga tentang adanya hubungan simbolis di antara manusia dan
hewan tidaklah terbatas pada mereka yang hidup dekat kepada alam. Misalnya
aspek eponymous yaitu memakai nama
totem dalam totemisme, umpamanya, lebih lajim terdapat dalam kebudayaan Amerika
daripada yang dikira. Ingatlah misalnya kebiasaan seorang anggota suatu desa
untuk menyebut dirinya Moose (sejenis
rusa) atau Elk (rusa besar), atau
seorang lelaki atau perempuan terpelajar dijuluki Bulldog atau Gopher (sejenis
musang) atau Wildcat (kucing hutan).
Agak khusus perkembangan di waktu Perang Dunia I dalam tentara Amerika yang
dikirim ke luar negeri, seperti diceritakan kembali oleh Linton. Menurut dia
hubungan mistik yang berkembang dalam kesatuan itu bila ditambah sifat eksogami
maka hal itu sudah sama dengan pola totemic pada masyarakat-masyarakat
bersahaja. [3]
Hal ini juga tampak
dalam masyarakat Karo yang kental dengan paham totemisme pada zaman dahulu.
Dalam kebudayaan Karo[4],
ada pantangan yang berlaku bagi seluruh masyarakat Karo yang harus dilihat apa
sesungguhnya dibalik itu semua, tetapi ada juga pantangan yang hanya berlaku
bagi setiap Sub- Marga tertentu, tetapi tidak kepada yang lainnya. Misalnya
dalam Sub-marga Ginting yang pantang membunuh atau memakan kerbau putih, ini
juga pasti berdasarkanatas cerita dan mistik sub-marga ini tersendiri; ada juga
marga Tarigan yang pantang memakan burung balam, karena burung itu sebagai
penyelamat bagi mereka saat dikepung oleh tentara yang ingin merenggut nyawa
mereka; marga Sinulingga yang pantang mengkonsumsi daun deg-deng dan marga
Purba yang pantang membunuh ular apa saja pun itu. Demikian juga dengan
sebagian dari marga Sembiring yang pantang makan daging anjing. Dalam paper ini
penulis hanya akan menguraikan secara khusus kisah totem dalam sub-marga
Sembiring yang pantang memakan daging anjing, yang pasti dengan berbagai
alasn-alasan yang ada pada zaman dahulu.
2.
Cerita
atau kisah seorang yang bermarga Sembiring yang diselamatkan oleh seekor anjing
yang merupakan menjadi totem bagi sub-marga Sembiring
Setiap orang yang
mempercayai sesuatu yang mampu menyelamatkan hidup mereka dari segala mara bahaya,
apa lagi langsung dialami oleh orang tersebut, maka akan menjadi suatu yang
sangat berharga dan pantas untuk dilindung
dan dijaga olehnya. Seperti halnya totem seseorang, dia akan memelihara
dan meneruskannya lagi bagi keturunannya yang akan datang, karena mitos-mitos
dari yang diterimanya menceritakan bagaimana kisah hidupnya dengan seekor hewan
atau yang lainnya, sehingga apa yang telah mereka lakukan akan dikembangkan dan
diteruskan oleh orang-orang.
Dalam mitos marga Sembiring diceritakan bahwa pada zaman dahulu
marga sembiring merupakan marga yang paling miskin diantara marga Karo-Karo,
Tarigan, Perangin-angin dan Ginting. Kemiskinan mereka dikarenakan oleh
kekurangan tanah dan hutan yang tidak mereka miliki. Hal ini tentu saja
dikarenakan oleh mereka yang merupakan suku asing dan pendatang (dari India)
yang masuk ke daerah orang lain[5].
Mereka bisa memperoleh hak milik atas tanah ketika mereka sudah memiliki
kekuatan senjata yang cukup kuat.
Orang-orang marga Sembiring saat itu sungguh cukup terkenal karena
kecerdikan dan kepandaian mereka dalam segala macam tipu daya dan permainan
sihir serta tukang besi secara berkeliling. Keahlian tersebut menjadi mata
pencaharian mereka dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Pekerjaan mereka
tersebut akhirnya menghantar mereka hingga ke Tanah Karo sampai ke Aceh. Mereka
masuk ke Aceh lewat sungai Singkil. Namun, kedatangan mereka ke Tanah Aceh
ternyata tidak disenangi oleh Raja Aceh.
Raja Aceh saat itu berusaha mengusir mereka, namun mereka masih
berusaha untuk mencuri hati Raja Aceh agar bisa hidup di Tanah Aceh. Suatu
ketika, Sembiring Keling bermaksud menipu Sultan Aceh tersebut. Ia dan
rombongannya membawa seekor kerbau yang besar dan 6 karung tepung beras. Mereka
kemudian mengecat kerbau tersebut dengan tepung dan kemudian mempersembahkannya
kepada Sultan sebagai Gajah putih. Sultan kemudian menerimanya dengan senang
hati dan Sultan memberi mereka beberapa ribu perak.
Setelah menerima perak, mereka pun melakukan perjalanan pulang.
Namun tak lama kemudian turunlah hujan dan Gajah Putih tersebut luntur. Sultan
pun mengetahui kebohongan mereka dan memerintahkan pasukannya untuk mengejar
mereka. Banyak dari mereka yang terbunuh, namun sebagian dari mereka berenang
melewati danau sambil memegang anjing yang mereka bawa. Perak yang mereka bawa
pun hilang dan nyawa mereka selamat dikarenakan oleh anjing yang membantu
mereka untuk sampai ke seberang. Sesampainya di daratan, mereka langsung
bersumpah bahwa mereka dan keturunan mereka tidak akan memakan anjing lagi
karena anjing telah membantu menyelamatkan nyawa mereka. Inilah mitos yang
menjadi keyakinan bagi marga Sembiring untuk tidak membunuh ataupun memakan
daging anjing.[6]
3.
Refleksi
Kritis
Melihat
dan membaca cerita diatas kita dapat mengetahuinya bahwa suatu aturan dan suatu
yang harus diikuti itu adalah pasti mengarah kehal yang benar dan kearah yang
menguntungkan banyak orang pada zaman dahulu dan sangat terasa juga pada jaman
sekarang ini, dimana mitos-mitos pada zaman dahulu yang merupakan bagian dari
aturan yang diikuti oleh banyak masyarakat yang mungkin karena
pengalaman-pengalaman yang mereka hadapi terhadap peristiwa-peristiwa yang
menyelamatkan ataupun yang menuntun hidup mereka kejlan yang benar. Bias kita
lihat bagaimana orang mempercayai mitos yang berujung kepada suatu totem yang
meraka percaya pada saat itu baik itu melalui tumbuh-tumbuhan ataupun melalui
seekor binatang yang mereka yakini sebagai leluhur serta nenek moyang mereka
pada masa itu. Melihat ini juga penulis dapat merefleksikan bagaimana dunia
pada zaman dahulu yang berusaha dalam hidupnya untuk memproleh suatu tempat
ataupun suatu penghormatan yang mungkin bias kita bayangkan , bahwa itu adalah
hal yang suli pada zaman ini, tetapi dibantu dengan kepercayaan mereka akan
mitos-mitos pada waktu itu yang membuat mereka sanggup untuk menghadapi situasi
pada zaman itu dan bahkan terlihat pada zaman sekarang ini.
Kepercayaan
akan suatu totem itu juga menghantar masyarakat Karo kepada peraturan yang baru
dengan tidak memakan daging anjing pada waktu itu, karena mereka yakin, dengan
bersahabat dan tidak membunuh anjing, maka mereka akan selalu hidup dalam
ketenangan dalam hidupnya. Anjing bagi Suku Karo terkhusus marga Sembiring merupakan
suatu yang luhur, yang menuntun hidupnya pada waktu itu kepada keselamatan dari
pengejaran dari Raja Aceh pada waktu itu.
Dengan
membaca kisah ini, penulis menyimpulkan
bahwa, dengan keyakinan yang pasti terhadap sesuatu hal baik diluar dari
diri kita sebagai manusia, merupakan sesuatu yang berharga dan mempunyai makna
yang mampu membuat kita bertahan hidup dalam keseharian kita di dunia ini,
seperti halnya mitos-mitos pada zaman dahulu yang diyakini oleh nenek moyang
kita yang merujuk kepada suatu totem yaitu hewan sendiri (anjing), yang
merupakan penyelamat bagi mereka serta penuntun hidup mereka, dengan itu mereka
dapat terlihat sekarang ini dengan keyakinan akan penuh terhadap hal itu dan
selalu bersahabat dengan anjing yang mereka pelihara dalam kehidupan mereka
sebagai masyarakat yang berkebudayaan.
Daftar
Pustaka
Ihromi, T. O. Pokok-Pokok Antropologi Budaya. Jakarta: PT Gramedia, 1984.
Koentjaraningrat. Pengantar Antorpologi II. Jakarta:
Rineka Cipta, 1997.
Neumann , J.H. Sedjarah Batak Karo: Sebuah Sumbangan. Djakarta: Bhratara, 1972.
Tambun, P. Adat Istiadat Karo. Jakarta: Balai Pustaka, 1952.
[1] T.O. Ihromi, Pokok-Pokok Antropologi Budaya
(Jakarta:PT Gramedia,1984), hlm. 18.
[2] Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi II (Jakarta:Rineka
Cipta,1997), hlm. 212.
[3] T. O. Ihromi Pokok-Pokok ..., hlm. 97.
[5] Merga
Sembiring terdiri atas 19 sub-marga. Kesembilan belas sub-marga itu dibagi
menjadi dua golongan besar yakni, Sembiring Kembaren atau Sembiring si
Man Biang (yang boleh makan daging anjing) dan Sembiring si Lan
Man Biang (yang pantang makan daging anjing). Lih. J. H. Neumann, Sedjarah Batak Karo: Sebuah Sumbangan (Djakarta:
Bhratara, 1972), hlm. 25.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar