Translate

Minggu, 07 Oktober 2018

Totemisme


Paham Totemisme Marga Sembiring
Dalam Suku Karo

1.      Pengantar
Kebudayaan adalah cara berlaku yang dipelajari, kebudayaan tidak tergantung dari transmisi biologis atau pewarisan melalui unsur genetis. Perlu ditegaskan hal itu disini agar dapat dibedakan perilaku budaya dari manusia dan primat yang lain dari tingkah yang hampir selalu digerakkan oleh naluri.[1]
 Semua manusia dilahirkan dengan tingkah laku yang digerakkan oleh insting dan naluri yang walaupun tidak termasuk bagian dari kebudayaan, namun mempengaruhi kebudayaan.  Misalnya, kebutuhan akan makanan adalah kebutuhan dasar yang tidak termasuk kebudayaan. Tetapi bagaiman kebutuhan-kebutuhan itu dipenuhi, apa yang kita makan, dan bagaimana cara kita makan adalah bagian dari kebudayaan kita. Jadi, semua orang makan, tetapi kebudayaan yang berbeda melakukan kegiatan dasar itu dengan cara-cara yang sangat berbeda pula. Oleh karena itu, kita dapat mengetahui bahwa setiap kebudayaan itu mempunyai ciri khas masing-masing dimana kebudayaan itu digunakan atau dimana seseorang bertempat dan dibesarkan pasti akan memperoleh kebudayaan yang beda, ntah itu dilarang dalam hal kekerasan atau yang lainnya. Karena dalam masyarakat kita dan dalam aturan-aturan, kekerasan fisik itu sangatlah dilarang, maka jika melakukan hal demikian, adat ini tidak akan dapat diterima oleh sebagaian besar warga masyarakat. Adat demikian melanggar system sikap, nilai-nilai dan perilaku yang kita miliki sebagai suatu masyarakat dan yang merupakan kebudayaan kita. Kita mungkin akan membantah bahwa untuk memperoleh pengertian dan penghargaan perilaku masyarakat tertentu, perlu untuk memahami kebudayaan masyarakat tersebut dan alasan-alasan adat-istiadat itu. Seperti halnya dalam masyarakat tertentu, orang-orang akan sangat menghargai suatu kebiasaan yang baik jika itu merupakan suatu yang pantas dan dapat diterima oleh masyarakat umum di suatu daerah. Tidak jarang juga kita dengar adanya suatu aturan itu bermula dari mitos-mitos yang diyakini pada zaman dahulu yang merupakan suatu hal yang menguntungkan ataupun suatu yang membantu masyarakat setempat dalam segala sesuatu yang mereka butuhkan dalam hidup mereka setiap saat, bahkan karena kepercayaan akan mitos-mitos itulah hidup mereka akan baik dan damai sejahtera. Dan pada zaman dahulu mitos yang disebutkan itu adalah suatu totem (benda-benda yang dianggap suci karena dikira berhubungan dengan nenek moyang). Totemisme[2] adalah kepercayaan bahwa ada hubungan mistik antara suatu kelompok makhluk manusia yang merupakan kesatuan kekerabatan dengan sejenis tumbuh-tumbuhan atau binatang atau hal terakhir ini kurang lazim, hubungan dengan suatu gejala alam tertentu.
Ada banyak defenisi mengenai totemisme dan pada suatu ketika perselisihan mengenai arti istilah totemisme asal pranata serta arti sosiologinya jadi sangat meruncing. Ia sering disebut suatu fenomena religi atau social. Adanya larangan-larangan makanan, kebiasaan mengambil nama binatang totem sebagai suatu eponym (nama keluarga), tugas-tugas para totemit untuk memastikan penyebaran binatang totem, merupakan beberapa segi penting yang sering ditekankan sebagai sifat hakiki dari totemisme. Yang terkenal sekali adalah studi yang luas dari Sir James G. Fraser, yang cenderung menganggap bahwa sifat khas dari semua perbuatan totem adalah seperti yang terdapat pada bangsa Australia yaitu lambing reinkarnasi jin totem, dikaitkan dengan loyalitas tertentu, dalam setiap anak. Akan tetapi Goldenweiser menambahkan catatan kesimpulan yang penting dengan menyatakan bahwa terdapat demikian banyak manifestasi tentang hubungan antara manusia dan binatang, hingga tidak ada diantaranya yang dapat dipakai untuk menandai gejala tersebut pada umumnya. Tentu saja, jika lembaga-lembaga social di dunia yang disebut ItotemicI diperbandingkan, variasi yang dapat dilihat dalam sanksi-sanksi terhadapnya adalah banyak. Bagi kebanyakan orang adalah pantang untuk makan binatang totem, tetapi ada juga yang memakannya. Banya orang yang memakai namanya dari suatu totem (atau bersifat eponymous), tetapi ada yang tidak memakai nama totemnya. Ada kelompok yang melambangkan totem mereka, melalui karya artistic, dan ada yang tidak. Totemisme dapa ditemukan walaupun tidak ada kepercayaan mengenai keturunan yang berasal dari suatu totem, seperti di Afrika Barat. Di tempat itu telah ditemukan hubungan keluarga yang dalam antropologi dinamakan “totemisme untuk menghormati jasa-jasa yang telah diberikan”. Pada gejala ini orang-orang totemit memakai nama hewan totemnya dan hewan itu tidak dibunuh atau dimakannya, karena mitos menceritakan bagaimana hewan ini bersahabat dengan mereka, dengan nenek moyang mereka dalam masa-masa krisis pada permulaan sejarah mereka. Laporan etnografi juga menyatakan bahwa malahan berbagai macam totemisme dapat ditemukan dalam satu masyarakat yang sama, sehingga sebagai warga masyarakat, menyatakan bahwa keturunannya, bersumber pada totem mereka, sedang warga lain dari kelompok yang sama tidak mengakuinya; yang satu memakai nama totemnya, yang lain menganggapnya terlalu keramat untuk diungkapkan. Jelaslah, walaupun pranata totemisme merupakan suatu kekuatan yang besar dalam kehidupan para warga menganutnya, namun istilah totemisme itu sendiri mencakup berbagai ragam gejala.
Totemisme hendaknya jangan dianggap sebagai suatu yang aneh yang ditemukan oleh akal primitive atau orang bersahaja. Praduga tentang adanya hubungan simbolis di antara manusia dan hewan tidaklah terbatas pada mereka yang hidup dekat kepada alam. Misalnya aspek eponymous yaitu memakai nama totem dalam totemisme, umpamanya, lebih lajim terdapat dalam kebudayaan Amerika daripada yang dikira. Ingatlah misalnya kebiasaan seorang anggota suatu desa untuk menyebut dirinya Moose (sejenis rusa) atau Elk (rusa besar), atau seorang lelaki atau perempuan terpelajar dijuluki Bulldog atau Gopher (sejenis musang) atau Wildcat (kucing hutan). Agak khusus perkembangan di waktu Perang Dunia I dalam tentara Amerika yang dikirim ke luar negeri, seperti diceritakan kembali oleh Linton. Menurut dia hubungan mistik yang berkembang dalam kesatuan itu bila ditambah sifat eksogami maka hal itu sudah sama dengan pola totemic pada masyarakat-masyarakat bersahaja. [3]
Hal ini juga tampak dalam masyarakat Karo yang kental dengan paham totemisme pada zaman dahulu. Dalam kebudayaan Karo[4], ada pantangan yang berlaku bagi seluruh masyarakat Karo yang harus dilihat apa sesungguhnya dibalik itu semua, tetapi ada juga pantangan yang hanya berlaku bagi setiap Sub- Marga tertentu, tetapi tidak kepada yang lainnya. Misalnya dalam Sub-marga Ginting yang pantang membunuh atau memakan kerbau putih, ini juga pasti berdasarkanatas cerita dan mistik sub-marga ini tersendiri; ada juga marga Tarigan yang pantang memakan burung balam, karena burung itu sebagai penyelamat bagi mereka saat dikepung oleh tentara yang ingin merenggut nyawa mereka; marga Sinulingga yang pantang mengkonsumsi daun deg-deng dan marga Purba yang pantang membunuh ular apa saja pun itu. Demikian juga dengan sebagian dari marga Sembiring yang pantang makan daging anjing. Dalam paper ini penulis hanya akan menguraikan secara khusus kisah totem dalam sub-marga Sembiring yang pantang memakan daging anjing, yang pasti dengan berbagai alasn-alasan yang ada pada zaman dahulu.

2.      Cerita atau kisah seorang yang bermarga Sembiring yang diselamatkan oleh seekor anjing yang merupakan menjadi totem bagi sub-marga Sembiring
Setiap orang yang mempercayai sesuatu yang mampu menyelamatkan hidup mereka dari segala mara bahaya, apa lagi langsung dialami oleh orang tersebut, maka akan menjadi suatu yang sangat berharga dan pantas untuk dilindung  dan dijaga olehnya. Seperti halnya totem seseorang, dia akan memelihara dan meneruskannya lagi bagi keturunannya yang akan datang, karena mitos-mitos dari yang diterimanya menceritakan bagaimana kisah hidupnya dengan seekor hewan atau yang lainnya, sehingga apa yang telah mereka lakukan akan dikembangkan dan diteruskan oleh orang-orang.
   Dalam mitos marga Sembiring diceritakan bahwa pada zaman dahulu marga sembiring merupakan marga yang paling miskin diantara marga Karo-Karo, Tarigan, Perangin-angin dan Ginting. Kemiskinan mereka dikarenakan oleh kekurangan tanah dan hutan yang tidak mereka miliki. Hal ini tentu saja dikarenakan oleh mereka yang merupakan suku asing dan pendatang (dari India) yang masuk ke daerah orang lain[5]. Mereka bisa memperoleh hak milik atas tanah ketika mereka sudah memiliki kekuatan senjata yang cukup kuat.
   Orang-orang marga Sembiring saat itu sungguh cukup terkenal karena kecerdikan dan kepandaian mereka dalam segala macam tipu daya dan permainan sihir serta tukang besi secara berkeliling. Keahlian tersebut menjadi mata pencaharian mereka dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Pekerjaan mereka tersebut akhirnya menghantar mereka hingga ke Tanah Karo sampai ke Aceh. Mereka masuk ke Aceh lewat sungai Singkil. Namun, kedatangan mereka ke Tanah Aceh ternyata tidak disenangi oleh Raja Aceh.
   Raja Aceh saat itu berusaha mengusir mereka, namun mereka masih berusaha untuk mencuri hati Raja Aceh agar bisa hidup di Tanah Aceh. Suatu ketika, Sembiring Keling bermaksud menipu Sultan Aceh tersebut. Ia dan rombongannya membawa seekor kerbau yang besar dan 6 karung tepung beras. Mereka kemudian mengecat kerbau tersebut dengan tepung dan kemudian mempersembahkannya kepada Sultan sebagai Gajah putih. Sultan kemudian menerimanya dengan senang hati dan Sultan memberi mereka beberapa ribu perak.
   Setelah menerima perak, mereka pun melakukan perjalanan pulang. Namun tak lama kemudian turunlah hujan dan Gajah Putih tersebut luntur. Sultan pun mengetahui kebohongan mereka dan memerintahkan pasukannya untuk mengejar mereka. Banyak dari mereka yang terbunuh, namun sebagian dari mereka berenang melewati danau sambil memegang anjing yang mereka bawa. Perak yang mereka bawa pun hilang dan nyawa mereka selamat dikarenakan oleh anjing yang membantu mereka untuk sampai ke seberang. Sesampainya di daratan, mereka langsung bersumpah bahwa mereka dan keturunan mereka tidak akan memakan anjing lagi karena anjing telah membantu menyelamatkan nyawa mereka. Inilah mitos yang menjadi keyakinan bagi marga Sembiring untuk tidak membunuh ataupun memakan daging anjing.[6]
  

3.      Refleksi Kritis
          Melihat dan membaca cerita diatas kita dapat mengetahuinya bahwa suatu aturan dan suatu yang harus diikuti itu adalah pasti mengarah kehal yang benar dan kearah yang menguntungkan banyak orang pada zaman dahulu dan sangat terasa juga pada jaman sekarang ini, dimana mitos-mitos pada zaman dahulu yang merupakan bagian dari aturan yang diikuti oleh banyak masyarakat yang mungkin karena pengalaman-pengalaman yang mereka hadapi terhadap peristiwa-peristiwa yang menyelamatkan ataupun yang menuntun hidup mereka kejlan yang benar. Bias kita lihat bagaimana orang mempercayai mitos yang berujung kepada suatu totem yang meraka percaya pada saat itu baik itu melalui tumbuh-tumbuhan ataupun melalui seekor binatang yang mereka yakini sebagai leluhur serta nenek moyang mereka pada masa itu. Melihat ini juga penulis dapat merefleksikan bagaimana dunia pada zaman dahulu yang berusaha dalam hidupnya untuk memproleh suatu tempat ataupun suatu penghormatan yang mungkin bias kita bayangkan , bahwa itu adalah hal yang suli pada zaman ini, tetapi dibantu dengan kepercayaan mereka akan mitos-mitos pada waktu itu yang membuat mereka sanggup untuk menghadapi situasi pada zaman itu dan bahkan terlihat pada zaman sekarang ini.
          Kepercayaan akan suatu totem itu juga menghantar masyarakat Karo kepada peraturan yang baru dengan tidak memakan daging anjing pada waktu itu, karena mereka yakin, dengan bersahabat dan tidak membunuh anjing, maka mereka akan selalu hidup dalam ketenangan dalam hidupnya. Anjing bagi Suku Karo terkhusus marga Sembiring merupakan suatu yang luhur, yang menuntun hidupnya pada waktu itu kepada keselamatan dari pengejaran dari Raja Aceh pada waktu itu.
          Dengan membaca kisah ini, penulis menyimpulkan  bahwa, dengan keyakinan yang pasti terhadap sesuatu hal baik diluar dari diri kita sebagai manusia, merupakan sesuatu yang berharga dan mempunyai makna yang mampu membuat kita bertahan hidup dalam keseharian kita di dunia ini, seperti halnya mitos-mitos pada zaman dahulu yang diyakini oleh nenek moyang kita yang merujuk kepada suatu totem yaitu hewan sendiri (anjing), yang merupakan penyelamat bagi mereka serta penuntun hidup mereka, dengan itu mereka dapat terlihat sekarang ini dengan keyakinan akan penuh terhadap hal itu dan selalu bersahabat dengan anjing yang mereka pelihara dalam kehidupan mereka sebagai masyarakat yang berkebudayaan.






Daftar Pustaka


Ihromi, T. O. Pokok-Pokok Antropologi Budaya. Jakarta: PT Gramedia, 1984.
Koentjaraningrat. Pengantar Antorpologi II. Jakarta: Rineka Cipta, 1997.
Neumann , J.H. Sedjarah Batak Karo: Sebuah Sumbangan. Djakarta: Bhratara, 1972.
Tambun, P. Adat Istiadat Karo. Jakarta: Balai Pustaka, 1952.




[1] T.O. Ihromi, Pokok-Pokok Antropologi Budaya (Jakarta:PT Gramedia,1984), hlm. 18.
[2] Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi II (Jakarta:Rineka Cipta,1997), hlm. 212.
[3] T. O. Ihromi Pokok-Pokok ..., hlm. 97.
[4] P. Tambun, Adat Istiadat Karo (Jakarta: Balai Pustaka, 1952), hlm. 80.

[5] Merga Sembiring terdiri atas 19 sub-marga. Kesembilan belas sub-marga itu dibagi menjadi dua golongan besar yakni, Sembiring Kembaren atau Sembiring si  Man Biang (yang boleh makan daging anjing) dan Sembiring  si Lan Man Biang (yang pantang makan daging anjing). Lih. J. H. Neumann, Sedjarah Batak Karo: Sebuah Sumbangan (Djakarta: Bhratara, 1972), hlm. 25.

[6] J.H.Neumann, Sedjarah Batak …, hlm. 35.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar