Etos Kerja
Dalam Adat Karo
Pengantar
Masyarakat
karo bermukiman di pedesaan hidup dalam suasana dan tradisi kekerabatan dengan
mata pencaharian utama bercocok tanam, sambil beternak dan mengembangkan
berbagai kerajinan tangan. Dari sudut mata pencaharian. Pada umumnya wilayah
yang didiami orang karo adalah daerah-daerah subur, walaupun ada daerah-daerah
tertentu yang kurang subur. Oleh sebab itu, mata pencaharian terutama adalah
bercocok tanam. Mereka menghasilkan berbagai hasil tanaman, seperti pepadian,
buah-buahan, umbi-umbian, kacang-kacangan dan lainnya. Namun, alat-alat yang
mereka pergunakan untuk mengolah tanah pertanian masih sangat sederhana dan
tradisional. Sistem bercocok tanam juga
sangat tergantung pada situasi dan kondisi alam. Misalnya, ketika musim hujan
mereka mulai turun kesawah untuk menanam padi. Selain usaha bercocok tanam,
mereka juga suka memelihara berbagai ternak, seperti ayam, babi, kerbau, dan
lembu. Usah-usaha tersebut menjadi sumber nafkah tambahan bagi keluarga.
Ditinjau
dari segi kebudayaan, orang karo termasuk juga suku yang telah memilki
peradaban tinggi. Hal ini nyata dari pelbagai wujud kebudayaan mereka. Di
bidang ketrampilan tangan, misalnya, mereka sudah tahu cara membuat alat-alat
pertanian yang tepat guna dan tahan lama. Demikian juga, hasil karya seni ukir
mengukir terlihat pada setiap pintu, jendela, dan dinding rumah-rumah adat karo
tradisional. Berbagai wujud kebudayaan tersebut sungguh memberikan
karakteristik yang khas pada orang karo. Bertitik tolak dari kenyataan real
kehidupan masyarakat karo tradisional, maka mereka tentu menghidupi nilai-nilai
yang memberi warna dan karakteristik tertentu sebagai orang karo. Secara
ringkas nilai-nilai penting dan utama yang hendak diutarakan di sini adalah
gotong royong.
Aktivitas Hidup
Harian Orang Karo
Untuk memudahkan pengolahan tanah,
mempererat semangat kerjasama dan tolong menolong serta memelihara semangat
kerja, mereka membentuk kelompok kerja yang amanya “aron”. Sistem kerja aron yaitu secara bersama-sama mengerjakan
ladang dari masing-masing anggota menurut gilirannya. Pada umumnya satu group
aron beranggotakan 6-9 orang. Kebanyakan dari mereka adalah kaum wanita dan
biasanya minimal ada seorang pria sebagai pengawal aron. Dari antara anggotanya
biasanya dipilih seorang senior sebagai penasehat aron (tua-tua aron). Peranya
sebagai tempat bertanya dan untuk memberi penjelasan bagi anggota baru tantang
peradatan hidup orang karo. Aron inilah menjadi salah satu sarana konkret untuk
menanamkan nilai-nilai persatuan, kegotongroyongan dan solidaritas terhadap
sesama.[1]
Arisan
tenaga dalam bentuk aron nampaknya cukup mengasikkan. Sambil bekerja keras,
mereka bernyanyi, bercanda dan menciptakan suasana yang mengasyikkan sehingga
kerja keras tidak lagi melelahkan. Dengan hal-hal seperti ini mereka semakin
akrab dan memotivasi satu dengan yang lain dalam hal bekerja dan dalam
kehidupan sehari-hari, serta kebersamaan ini juga menjadi dasar orang-orang
untuk semakin memelihara adat istiadat suku karo sendiri. Dengan semangat ini
maka akan semakin jelas dan tampak ciri dan sifat orang-orang karo dalam
menjalankan tugas-tugasnya sebagai manusia yang bereksistensi. Dalam kesibukan
kerja yang penuh suka cita itu, tidak terasa hari sudah sore, karena begitu
bahagianya mereka dalam melakukan pekerjaan yang mereka kerjakan, maka seberat
apapun itu akan menjadi ringan, karena kerjasama yang luar biasa dan semangat
yang membuat tenaga mereka tidak pernah habis dalam menjalankannya. Dan mereka
bersiap pulang setelah menyelesaikan pekerjaan itu, dan sambil memanfaatkan apa
yang mungkin dimanfaatkan untuk keperluan rumah tangga. Seperti mengambil
dahan-dahan kering untuk kayu bakar, memanfaatkan daun-daun, buah menjadi sayur
atau menjadi makan ternak.
Dan
disamping itu juga, ada suatu kelompok orang muda yang dinamakan serayan.
Serayan adalah wadah persatuan kaum muda karo untuk menyukseskan setiap
kegiatan adat. Mereka bekerja dengan suka rela, tanpa berharap akan mendapat
upah atau imbalan. Dalam kegiatan serayan ini dipraktekkan dan ditanamkan nilai
kegotongroyongan pada kaum muda. Di dalamnya kaum muda dapat belajar dan kerja
sama, serta dapat belajar memahami apa tanggung jawabnya dimasa depan.
Kelanjutan dari kegiatan aron maupun
serayan biasanya diadakanlah suatu pesta muda-mudi (guro-guro aron).[2] Pesta
ini diselenggarakan mana kala pekerjaan tidak begitu mendesak dan batang padi
mulai berisi (masa ngumbung). Maka para ketua aron kampung bermufakat untuk
menentukan segala sesuatunya dalam pesta. Adapun tujuan pesta ini adalah untuk
membina erat semua anggota aron dan saat membina relasi cinta yang wajar antara
seorang pemuda dengan pemudi. [3]
Dalam
kosmologi tradisional, keadaan hidup masyarakat karo tidak selalu
menguntungkan. Mereka harus dapat mengatasi tantangan dari alam sekitarnya.
Keselamatan hidup mereka sering terancam oleh binatang-binatang buas, bahaya
perang, bencana alam, paceklik, penyakit, dan lainnya. Dan untuk mengatasi itu
semua, mereka menghidupi prinsip gotong royong sebagai solusi hidup bersama.
Nilai kerjasama dan solidaritas terhadap sesama menjadi sikap dasar hidup
bergotong royong. Sikap ini amat ditekankan dalam diri orang karo. Salah satu
perwujudannya dapat dilihat pada saat pembangunan rumah adat (siwaluh jabu).
Seluruh warga kampung biasanya secara bergotong royong mendirikannya, mulai
dari mencari bahan-bahan bangunan ke hutan sampai pada peresmian rumah adat
itu.
Dihadapkan dengan perubahan jaman,
kiranya orang karo telah menyadari media apa yang efektif untuk meneruskan
nilai-nilai hidup dari leluhur mereka. Ternyata, salah satu usaha mereka adalah
mengintegrasikan nilai-nlai hidup bersama di dalam kegiatan hidup sehari-hari. Berdasarkan
uraian yang bagaimana orang karo untuk meneruskan nilai-nilai tradisi leluhur
mereka dalam aktivitas hidu sehari-hari. Beberapa wujud usaha tersebut adalah
berupa kegiatan aron, serayan maupun guro-guro aron. Kesemuanya itu menyatu
dalam hidup mereka.
Kesimpulan
Orang
Karo adalah salah satu kelompok suku yang berdiam di bagian Timur Sumatera
Utara. Umumnya mereka tersebar di sepanjang pegunungan Bukit Barisan secara
berkelompok-kelompok. Para ahli sejarah memperkiraka bahwa asal-usul nenek
moyang orang karo berasal dari salah satu kelompok suku pendatang yakni, Proto
Malay. Mereka datang dari Hindia belakang dan menyebar sampai di Nusantara.
Mereka masih tinggal dalam bentuk kelompok-kelompok kecil secara tradisional.
Realita ini tampak dari cara hidup harian, struktur kemasyarakatan, mata
pencahariaan, hasil karya tangan dan rasa ketergantungan mereka terhadap alam.
Namun di
balik kenyataan real kehidupan orang karo tradisional tentu ada prinsip-prinsip
nilai yang telah mendasari seluruh dinamika kehidupan bersama. Hal ini menjadi
tanda awal terbentuknya suatu kelompok masyarakat. Pada masyarakat karo
tradisional terdapat berbagai macam nilai sebagai pola dasar hidup bersama.
Nilai-nilai terpenting dan terutama yang mereka hidupi adalah nilai adat
ertutur, runggu, dan gotong royong. Umumnya nilai-nilai ini paling real
perwujudannya dalam dinamika kehidupan mereka sendiri.
Daftar Pustaka
Bangun,
Tridah. Adat
Istiadat Karo. Jakarta: Yayasan
Merga Silima, 1990.
Gintings, Pdt. E.P. Religi Karo. Kabanjahe: Abdi Karya, 1999.
Prinst, Darwan S.H. Adat Karo. Medan: Bina Media Perintis, 2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar