Translate

Minggu, 07 Oktober 2018

Etos Kerja


Etos Kerja
Dalam Adat Karo

Pengantar

Masyarakat karo bermukiman di pedesaan hidup dalam suasana dan tradisi kekerabatan dengan mata pencaharian utama bercocok tanam, sambil beternak dan mengembangkan berbagai kerajinan tangan. Dari sudut mata pencaharian. Pada umumnya wilayah yang didiami orang karo adalah daerah-daerah subur, walaupun ada daerah-daerah tertentu yang kurang subur. Oleh sebab itu, mata pencaharian terutama adalah bercocok tanam. Mereka menghasilkan berbagai hasil tanaman, seperti pepadian, buah-buahan, umbi-umbian, kacang-kacangan dan lainnya. Namun, alat-alat yang mereka pergunakan untuk mengolah tanah pertanian masih sangat sederhana dan tradisional.  Sistem bercocok tanam juga sangat tergantung pada situasi dan kondisi alam. Misalnya, ketika musim hujan mereka mulai turun kesawah untuk menanam padi. Selain usaha bercocok tanam, mereka juga suka memelihara berbagai ternak, seperti ayam, babi, kerbau, dan lembu. Usah-usaha tersebut menjadi sumber nafkah tambahan bagi keluarga.
Ditinjau dari segi kebudayaan, orang karo termasuk juga suku yang telah memilki peradaban tinggi. Hal ini nyata dari pelbagai wujud kebudayaan mereka. Di bidang ketrampilan tangan, misalnya, mereka sudah tahu cara membuat alat-alat pertanian yang tepat guna dan tahan lama. Demikian juga, hasil karya seni ukir mengukir terlihat pada setiap pintu, jendela, dan dinding rumah-rumah adat karo tradisional. Berbagai wujud kebudayaan tersebut sungguh memberikan karakteristik yang khas pada orang karo. Bertitik tolak dari kenyataan real kehidupan masyarakat karo tradisional, maka mereka tentu menghidupi nilai-nilai yang memberi warna dan karakteristik tertentu sebagai orang karo. Secara ringkas nilai-nilai penting dan utama yang hendak diutarakan di sini adalah gotong royong.

 Aktivitas Hidup Harian Orang Karo

        Untuk memudahkan pengolahan tanah, mempererat semangat kerjasama dan tolong menolong serta memelihara semangat kerja, mereka membentuk kelompok kerja yang amanya “aron”. Sistem kerja aron yaitu secara bersama-sama mengerjakan ladang dari masing-masing anggota menurut gilirannya. Pada umumnya satu group aron beranggotakan 6-9 orang. Kebanyakan dari mereka adalah kaum wanita dan biasanya minimal ada seorang pria sebagai pengawal aron. Dari antara anggotanya biasanya dipilih seorang senior sebagai penasehat aron (tua-tua aron). Peranya sebagai tempat bertanya dan untuk memberi penjelasan bagi anggota baru tantang peradatan hidup orang karo. Aron inilah menjadi salah satu sarana konkret untuk menanamkan nilai-nilai persatuan, kegotongroyongan dan solidaritas terhadap sesama.[1]
Arisan tenaga dalam bentuk aron nampaknya cukup mengasikkan. Sambil bekerja keras, mereka bernyanyi, bercanda dan menciptakan suasana yang mengasyikkan sehingga kerja keras tidak lagi melelahkan. Dengan hal-hal seperti ini mereka semakin akrab dan memotivasi satu dengan yang lain dalam hal bekerja dan dalam kehidupan sehari-hari, serta kebersamaan ini juga menjadi dasar orang-orang untuk semakin memelihara adat istiadat suku karo sendiri. Dengan semangat ini maka akan semakin jelas dan tampak ciri dan sifat orang-orang karo dalam menjalankan tugas-tugasnya sebagai manusia yang bereksistensi. Dalam kesibukan kerja yang penuh suka cita itu, tidak terasa hari sudah sore, karena begitu bahagianya mereka dalam melakukan pekerjaan yang mereka kerjakan, maka seberat apapun itu akan menjadi ringan, karena kerjasama yang luar biasa dan semangat yang membuat tenaga mereka tidak pernah habis dalam menjalankannya. Dan mereka bersiap pulang setelah menyelesaikan pekerjaan itu, dan sambil memanfaatkan apa yang mungkin dimanfaatkan untuk keperluan rumah tangga. Seperti mengambil dahan-dahan kering untuk kayu bakar, memanfaatkan daun-daun, buah menjadi sayur atau menjadi makan ternak.
Dan disamping itu juga, ada suatu kelompok orang muda yang dinamakan serayan. Serayan adalah wadah persatuan kaum muda karo untuk menyukseskan setiap kegiatan adat. Mereka bekerja dengan suka rela, tanpa berharap akan mendapat upah atau imbalan. Dalam kegiatan serayan ini dipraktekkan dan ditanamkan nilai kegotongroyongan pada kaum muda. Di dalamnya kaum muda dapat belajar dan kerja sama, serta dapat belajar memahami apa tanggung jawabnya dimasa depan.
        Kelanjutan dari kegiatan aron maupun serayan biasanya diadakanlah suatu pesta muda-mudi (guro-guro aron).[2] Pesta ini diselenggarakan mana kala pekerjaan tidak begitu mendesak dan batang padi mulai berisi (masa ngumbung). Maka para ketua aron kampung bermufakat untuk menentukan segala sesuatunya dalam pesta. Adapun tujuan pesta ini adalah untuk membina erat semua anggota aron dan saat membina relasi cinta yang wajar antara seorang pemuda dengan pemudi. [3]
        Dalam kosmologi tradisional, keadaan hidup masyarakat karo tidak selalu menguntungkan. Mereka harus dapat mengatasi tantangan dari alam sekitarnya. Keselamatan hidup mereka sering terancam oleh binatang-binatang buas, bahaya perang, bencana alam, paceklik, penyakit, dan lainnya. Dan untuk mengatasi itu semua, mereka menghidupi prinsip gotong royong sebagai solusi hidup bersama. Nilai kerjasama dan solidaritas terhadap sesama menjadi sikap dasar hidup bergotong royong. Sikap ini amat ditekankan dalam diri orang karo. Salah satu perwujudannya dapat dilihat pada saat pembangunan rumah adat (siwaluh jabu). Seluruh warga kampung biasanya secara bergotong royong mendirikannya, mulai dari mencari bahan-bahan bangunan ke hutan sampai pada peresmian rumah adat itu.

        Dihadapkan dengan perubahan jaman, kiranya orang karo telah menyadari media apa yang efektif untuk meneruskan nilai-nilai hidup dari leluhur mereka. Ternyata, salah satu usaha mereka adalah mengintegrasikan nilai-nlai hidup bersama di dalam kegiatan hidup sehari-hari. Berdasarkan uraian yang bagaimana orang karo untuk meneruskan nilai-nilai tradisi leluhur mereka dalam aktivitas hidu sehari-hari. Beberapa wujud usaha tersebut adalah berupa kegiatan aron, serayan maupun guro-guro aron. Kesemuanya itu menyatu dalam hidup mereka.

Kesimpulan

    Orang Karo adalah salah satu kelompok suku yang berdiam di bagian Timur Sumatera Utara. Umumnya mereka tersebar di sepanjang pegunungan Bukit Barisan secara berkelompok-kelompok. Para ahli sejarah memperkiraka bahwa asal-usul nenek moyang orang karo berasal dari salah satu kelompok suku pendatang yakni, Proto Malay. Mereka datang dari Hindia belakang dan menyebar sampai di Nusantara. Mereka masih tinggal dalam bentuk kelompok-kelompok kecil secara tradisional. Realita ini tampak dari cara hidup harian, struktur kemasyarakatan, mata pencahariaan, hasil karya tangan dan rasa ketergantungan mereka terhadap alam.
    Namun di balik kenyataan real kehidupan orang karo tradisional tentu ada prinsip-prinsip nilai yang telah mendasari seluruh dinamika kehidupan bersama. Hal ini menjadi tanda awal terbentuknya suatu kelompok masyarakat. Pada masyarakat karo tradisional terdapat berbagai macam nilai sebagai pola dasar hidup bersama. Nilai-nilai terpenting dan terutama yang mereka hidupi adalah nilai adat ertutur, runggu, dan gotong royong. Umumnya nilai-nilai ini paling real perwujudannya dalam dinamika kehidupan mereka sendiri.




              










Daftar Pustaka


Bangun, Tridah.  Adat Istiadat Karo. Jakarta: Yayasan Merga Silima, 1990.

Gintings, Pdt. E.P. Religi Karo. Kabanjahe: Abdi Karya, 1999.

Prinst, Darwan S.H.  Adat Karo. Medan: Bina Media Perintis, 2004.




[1] Tridah Bangun , Adat Istiadat Karo (Jakarta: Yayasan Merga Silima,1990), hlm. 149.

[2] Pdt. E.P. Gintings, Religi Karo (Kabanjahe: Abdi Karya, 1999), hlm 173-174.
[3] Darwan Prinst, S.H, Adat Karo (Medan: Bina Media Perintis, 2004), hlm. 280-281.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar