Fenomenologi
Edmund Gustav Albrecht Husserl
1. Pengantar
Fenomenologi
adalah gerakan filsafat yang dipelopori oleh Edmund Husserl (1859-1938). Salah
satu arus pemikiran yang paling berpengaruh pada abad ke-20. Ia mulai karirnya
sebagai ahli matematika, kemudian pindah kebidang filsafat. Husserl membedakan
antara dunia yang dikenal dalam sains dan dunia dimana kita hidup. Selanjutnya
ia juga mendiskusikan tentang kesadaran dan perhatian terhadap dunia dimana
kita hidup. Pengkajian tentang dunia yang kita hayati serta pengalaman kita
yang langsung tentang dunia tersebut adalah pusat perhatian fenomenologi.
Pandangan Husserl tentang perhatian dan intuisi telah memberikan pengaruh kuat
terhadap filsafat, khususnya di Jerman dan Prancis.
Fenomenologi
diartikan sebagai uraian atau percakapan tentang fenomen atau suatu yang sedang
menampakkan diri atau percakapan sesuatu yang sedang menggejala baik dalam
kalangan masyarakat ataupun lainnya. Fenomenologi berasal dari kata Yunani,
phainomenon yang artinya sama dengan: fantasi, fosfor, foto yang berarti sinar,
cahaya. Dari ini terbentuk kata kerja yang berarti tampak, terlihat, bercahaya,
bersinar. Dan dari kata itu tersalur kata: fenomenon, artinya suatu yang
tampak, yang terlihat karena bercahaya atau bergejala. Fenomena adalah fakta
yang disadari dan masuk ke dalam pemahaman manusia. Sehingga objek berada dalam
relasi kesadaran. Dewasa ini, fenomenologi dikenal sebagai aliran filsafat
sekaligus metode berpikir yang mempelajari
fenomena manusiawi tanpa mempertanyakan penyebab dari fenomena tersebut
serta relasi objektif dan penampakannya. Sebagai seorang ahli fenomenologi,
Husserl mencoba menunjukkan bahwa melalui metode fenomenologi mengenai
pengarungan pengalaman biasa menuju pengalaman murni, kita bisa mengetahui
kepastian absolut dengan susunan penting dari setiap aksi kesadaran kita,
seperti berpikir dan mengingat, dan pada sisi lain, susunan penting obyek-obyek
merupakan tujuan dari kesadaran aksi itu. Maka dari itu dalam pembahasan
selanjutnya akan dihahas bagaimana fenomen-fenomen itu terjadi dalam diri
manusia dan dengan cara apa manusia mencapainya sehingga tertuju kepada
kesadaran yang diinginkan dari setiap gejala atau fenomena yang terjadi dalam
realitas itu sendiri.
2. Riwayat Hidup
Edmund Gustav Albrecht Husserl lahir di Prostejov di
Cekoslowakia, 8 April 1859, dari keluarga Yahudi. Di universitas ia belajar
ilmu alam, ilmu falak, matematika, dan filsafat, mula-mula di Leipzig kemudian
juga di Berlin dan Wina. Di Wina ia tertarik pada filsafat Franz Brentano.
Husserl mengajar di universitas Halle dari tahun 1886-1901,
kemudian di Gottingen sampai tahun 1916 dan akhirnya di Freiburg. Ia juga
mengajar sebagai dosen tamu di Berlin, London, Paris, Amsterdam, dan Praha.
Husserl menjadi terkenal karena metode yang diciptakan olehnya yakni metode
“fenomenologi”, yang oleh murid-muridnya diperkembangkan lebih lanjut. Husserl
meninggal tahun 1938 di Freiburg. Untuk menyelamatkan warisan intelektualnya
dari kaum Nazi, semua buku dan catatannya dibawa ke universitas Leuven di
Belgia.[1]
3. Fenomenologi Edmund
Husserl
Sebagai
metode, fenomenologi merupakan persiapan bagi setiap penyelidikan di bidang
filsafat dan di bidang ilmu pengetahuan positif[2].
Dalam karya-karyanya yang diterbitkan sesudah ia meninggal, kita memperoleh
penerapan-penerapan metode ini secara kongkrit pada berbagai bidang kenyataan
yang ada. Kesadaran tidak pernah secara langsung terjangkau sebagaimana adanya,
karena pada hakekatnya bersifat intensional, artinya terarah kepada sesuatu
yang bukan merupakan kesadaran itu sendiri. Pengamatan serta pemahaman,
pembayangan serta penggambaran, semuanya bersifat intensional, terarah kepada
sesuatu. Kesadaran tidak pernah pasif melulu. Karena menyadari sesuatu berarti
mengubah sesuatu. Hal yang disadari dijadikan sesuatu yang ada bagi saya.
Kesadaran itu tidak seperti suatu cermin atau foto. Kesadaran itu suatu
tindakan. Terdapat interaksi antara tindakan kesadaran dan obyek kesadaran.
Namun interaksi ini tidak boleh dianggap sebagai kerja sama antara dua unsur
yang sama penting. Karena akhirnya hanya ada kesadaran, obyek yang disadari itu
hanyalah suatu ciptaan kesadaraan. [3]
Pandangan
lain bahwa, Husserl tidak sependapat dengan Kant tentang kesadaran dengan konsep a priori yang dimilikinya
itulah yang memberi struktur terhadap kenyataan yang kita amati sehingga
tersusunlah pengetahuan kita. Menurut Husserl, pengetahuan itu terhimpun oleh
keterkaitan kesadaran kita secara langsung dengan kenyataan yang tampil pada
kita sebagai fenomen. Fenomen merupakan hasil dari pengalaman ketertujuan
kesadaran kita tentang sesuatu objek atau kenyataan. Demikianlah Husserl
menentang kecendrungan untuk menyamakan kesadaran dengan gejala alamiah lainnya
serta memperlakukannya berdasarkan dalil-dalil naturalistik belaka. Kesadaran
yang senantiasa tertuju dan terkait pada kenyataan di luarnnya bukan saja
memberi bentuk pada kenyataan itu, melainkan juga dibentuk olehnya. Disinilah
letak perbedaan pendapat antara Husserl dan Kant. Kegigihan Husserl untuk
menemukan titik pijak yang pasti akhirnya juga tidak tampak berhasil, namun demikian, konsekuen pada analisanya
tentang kesadaran yang senantiasa tertuju dan terkait pada kenyataan ataupun
realitas yang sesungguhnya. Husserl sampai pada perumusan fenomenologi yang
kemudian meluas pengaruhnya terhadap perkembangan filsafat menjelang akhir abad
ke 20. [4]
Lebih
lanjut lagi Husserl berpendapat bahwa, ada kebenaran untuk semua orang dan
manusia dapat mencapainya. Dan untuk menemukan kebenaran ini, seseorang harus
kembali kepada realitas sendiri. Husserl menyatakan, kembali kebenda-benda itu
sendiri, merupakan inti dari pendekatan yang dipakai untuk mendeskripsikan
realitas menurut apa adanya. Setiap objek memiliki hakekat, dan hakekat itu
berbicara kepada kita jika kita membuka diri kepada gejala-gejala yang kita
terima. Kalau kita mengambil jarak dan obyek itu, melepaskan objek itu dari
pengaruh pandangan-pandangan lain, dan gejala-gejala itu kita cermati, maka
obyek itu berbicara sendiri mengenai hakikatnya, dan kita memahaminya berkat intuisi
dalam diri kita. Namun yang perlu dipahami adalah bahwa benda, realitas ataupun
obyek tidaklah secara langsung memperlihatkan hakekatnya sendiri. Apa yang kita
temui pada benda-benda itu dalam pemikiran biasa bukanlah hakekat. Hakekat
benda itu sebenarnya ada dibalik yang kelihatan itu. Karena pemikiran pertama
tidak membuka kenyataan yang menutupi hakekat tersebut, maka diperlukan
pemikiran kedua. Alat yang digunakan untuk menemukan pemikiran yang kedua ini
adalah intuisi dalam menemukan hakekat, yang disebut dengan wesenchau, yakni melihat secara intuitif
hakekat gejala-gejalanya. Dalam melihat hakekat dengan intuisi ini, Husserl
memperkenalkan pendekatan reduksi, yakni penundaan segala pengetahuan yang ada
tentang obyek sebelum pengamatan itu dilakukan. Reduksi ini juga dapat
diartikan sebagai penyaringan atau pengecilan. Reduksi ini merupakan salah satu
prinsip dasar sikap fenomenologis, dimana untuk mengetahui sesuatu, seorang
fenomenolog bersikap netral dengan tidak menggunakan teori-teori atau pengertian-pengertian
yang telah ada sehingga obyek diberi kesempatan untuk berbicara tentang dirinya
sendiri.
Dijelaskan
lagi bahwa fenomena dipandang dari dua sudut. Pertama, fenomena selalu menunjuk
ke luar atau berhubungan dengan realitas di luar pikiran. Kedua, fenomena dari
sudut kesadaran kita, karena selalu berada dalam kesadaran kita. Maka dalam
setiap memandang fenomena harus terlebih dahulu melihat penyaringan dengan
ratio, sehingga mendapatkan kesadaran yang murni. Fenomenologi menghendaki ilmu
pengetahuan secara sadar mengarahkan untuk memperhatikan contoh tertentu tanpa
perasangka teoritis lewat pengalaman-pengalaman yang berbeda dan bukan lewat
koleksi data yang besar untuk suatu teori umum di luar substansi sesungguhnya. Fenomena
adalah ilmu tentang esensi-esensi kesadaran dan esensi ideal dari obyek-obyek
sebagai korelasi kesadaran, pertanyaanya adalah bagaimana caranya agar
esensi-esensi tersebut tetap pada kemurniannya, karena sesungguhnya
fenomenologi menghendaki ilmu pengetahuan secara sadar mengarahkan untuk
memperhatikan contoh tertentu tanpa prasangka teoritis lewat
pengalaman-pengalaman yang berbeda dan bukan lewat koleksi data yang besar untuk suatu
teori umum di luar substansinya sesungguhnya, dan tanpa terkontaminasi
kecendrungan psikologisme dan naturalisme. Husserl mengajukan satu prosedur
yang dinamakan epoche atau penundaan semua asumsi tentang kenyataan demi
memunculkan esensi. Memahami fenomen sebagaimana adanya merupakan usaha kembali
kepada sebagaimana penampilannya dalam kesadaran. Usaha kembali pada fenomen
tersebut memerlukan pedoman metodik. Tidak mungkin untuk melukiskan
fenomen-fenomen sampai pada hal-hal yang khusus satu demi satu. Yang pokok
adalah menangkap hakekat fenomena-fenomena. Oleh karena itu metode tersebut
harus dapat menyisihkan hal-hal yang tidak hakiki, agar hakekat ini dapat
menangkap diri sendiri. Bukan suatu abstraksi melainkan intuisi mengenai
hakekat sesuatu.
4. Konstitusi Proses Tampaknya Fenomena-Fenomena
Dengan
konstitusi dimaksudkan proses tampaknya fenomen-fenomen kepada kesadaran.
Fenomen-fenomen mengkonstitusi diri dalam kesadaran, kata Husserl. Dan karena
adanya korelasi antara kesadaran dan realitas yang disebut tadi, maka dapat
dikatakan juga bahwa konstitusi adalah aktivitas kesadaran yang memungkinkan
tampaknya realitas. Husserl mengatakan bahwa dunia real dikonstitusi oleh
kesadaran. Hal itu sama sekali tidak berarti bahwa kesadaran mengadakan atau
menyebabkan dunia beserta pembedaan-pembedaan yang terdapat di dalamnya,
melainkan hanyalah bahwa kesadaran harus hadir pada dunia supaya penampakan
dunia dapat berlangsung. Tidak ada kebenaran-kebenaran pada dirinya, lepas dari
kesadaran. Kebenaran hanya mungkin dalam korelasi dengan kesadaran. Dan karena
yang disebut realitas itu tidak lain daripada dunia sejauh dianggap benar, maka
realitas harus dikonstitusi oleh kesadaran. Konstitusi ini berlangsung dalam
peroses penampakan yang dialami oleh dunia ketika menjadi fenomen bagi
kesadaran intensional. Untuk sekedar menjelaskan maksud Husserl dengan
konstitusi, maka kita dapat memandang sebentar proses persepsi. Ketika kita
melihat suatu gunung umpamanya. Tetapi yang sebetulnya kita lihat selalu suatu
perspektif dari gunung, saya melihat gunung itu dari sebelah timur atau utara
atau dari atas dan seterusnya. Tetapi bagi persepsi, gunung adalah sintese
semua perspektif itu. Dalam persepsi obyek telah dikonstitusi. Tetapi hal yang
sejenis berlaku untuk setiap aktus-aktus intelektual.
Pada
akhirnya hidup Husserl semaikin mementingkan dimensi historis dalam kesadaran
dan dalam realitas. Suatu fenomen tidak pernah merupakan sesuatu yang statis,
arti suatu fenomen bergantung pada sejarahnya.
Ini berlaku baik bagi sejarah pribadi manusia maupun bagi sejarah umat
manusia sebagai keseluruhan. Alat misalnya bagi kita dalam jaman komputer
tampak lain sekali daripada dalam jaman batu dulu. Dan juga kesadaran sendiri
mengalami suatu perkembangan, sejarah kita selalu hadir dalam cara kita
menghadapi realitas. Karena itu konstitusi dalam filsafat terakhir Husserl
dimengerti sebagai konstitusi genetis, proses yang mengakibatkan suatu fenomen
menjadi real dalam kesadaran adalah suatu proses historis. [5]
5. Kesimpulan
Fenomenologi
meneliti atau menyelidiki pengalaman kesadaran yang berhubungan dengan
pertanyaan, seperti bagaimana pembagian antara subjek dan objek muncul dan
bagaimana suatu hal didunia ini diklarifikasikan. Fenomenologi secara esensial
juga merupakan perspektif modern tentang manusia dan dunianya. Bagaimana suatu
fenomen yang terjadi yang menggejala dalam dunia dan hidup manusia itu sendiri
dalam kehidupan sehari-harinya. Sepanjang sejarah perkembangannya terdapat
banyak ahli fenomenologi dengan pandangan dan pemahaman yang berbeda-beda.
Walaupun demikian Husserl tetap dikenal sebagai penemu dan tokoh sentral
perkembangan fenomenologi.
Fenomenologi Husserl menekankan bahwa untuk
memahami sebuah fenomena seseorang harus menelaah fenomena tersebut apa adanya.
Oleh karena itu, seseorang harus menyimpan sementara atau mengisolasi asumsi,
keyakinan, dan pengetahuan yang telah dimiliki tentang fenomena tersebut. Hanya
dengan peroses inilah seseorang mampu mencapai pemahaman yang murni tentang
fenomena. Selanjutnya fenomenologi Husserl meyakini bahwa fenomena hanya
terdapat pada kesadaran manusia kepada siapa fenomena tersebut menampakkan
diri. Sehingga untuk memahami sebuah fenomena, seseorang harus mengamati fenomena
tersebut melalui orang yang mengalaminya, karena kebenaran tidak saja ditetapkan berdasarkan
bukti-bukti empiris, tetapi masih diperlukan berbagai pengalaman lewat intuisi
yang bersifat apriori. Metode fenomenologi mulai dengan orang yang mengetahui
dan mengalami, yakni orang yang melakukan persepsi. Fenomenologi dijelaskan
sebagai kembali kepada benda itu sendiri, sebagai lawan dari ilusi atau susunan
pikiran, justru karena benda adalah objek kesadaran yang langsung dalam
bentuknya yang murni.
Daftar Pustaka
1.
Hamersma, Harry. Tokoh
Tokoh Filsafat Barat Modern. Jakarta: PT. Gramedia, 1983.
2.
Delfgaauw, Bernard. Filsafat
Abad 20. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1987.
3.
Hassan, Fuad. Pengantar
Filsafat Barat. Jakarta: PT. Dunia
Pustaka Jaya, 1996.
4.
Bertens, K. Sejarah
Filsafat Barat Abad XX Inggris-Jerman. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1983.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar