Translate

Minggu, 07 Oktober 2018

Fenomenologi Husserl


Fenomenologi
Edmund Gustav Albrecht Husserl
1.   Pengantar
Fenomenologi adalah gerakan filsafat yang dipelopori oleh Edmund Husserl (1859-1938). Salah satu arus pemikiran yang paling berpengaruh pada abad ke-20. Ia mulai karirnya sebagai ahli matematika, kemudian pindah kebidang filsafat. Husserl membedakan antara dunia yang dikenal dalam sains dan dunia dimana kita hidup. Selanjutnya ia juga mendiskusikan tentang kesadaran dan perhatian terhadap dunia dimana kita hidup. Pengkajian tentang dunia yang kita hayati serta pengalaman kita yang langsung tentang dunia tersebut adalah pusat perhatian fenomenologi. Pandangan Husserl tentang perhatian dan intuisi telah memberikan pengaruh kuat terhadap filsafat, khususnya di Jerman dan Prancis.
Fenomenologi diartikan sebagai uraian atau percakapan tentang fenomen atau suatu yang sedang menampakkan diri atau percakapan sesuatu yang sedang menggejala baik dalam kalangan masyarakat ataupun lainnya. Fenomenologi berasal dari kata Yunani, phainomenon yang artinya sama dengan: fantasi, fosfor, foto yang berarti sinar, cahaya. Dari ini terbentuk kata kerja yang berarti tampak, terlihat, bercahaya, bersinar. Dan dari kata itu tersalur kata: fenomenon, artinya suatu yang tampak, yang terlihat karena bercahaya atau bergejala. Fenomena adalah fakta yang disadari dan masuk ke dalam pemahaman manusia. Sehingga objek berada dalam relasi kesadaran. Dewasa ini, fenomenologi dikenal sebagai aliran filsafat sekaligus metode berpikir yang mempelajari  fenomena manusiawi tanpa mempertanyakan penyebab dari fenomena tersebut serta relasi objektif dan penampakannya. Sebagai seorang ahli fenomenologi, Husserl mencoba menunjukkan bahwa melalui metode fenomenologi mengenai pengarungan pengalaman biasa menuju pengalaman murni, kita bisa mengetahui kepastian absolut dengan susunan penting dari setiap aksi kesadaran kita, seperti berpikir dan mengingat, dan pada sisi lain, susunan penting obyek-obyek merupakan tujuan dari kesadaran aksi itu. Maka dari itu dalam pembahasan selanjutnya akan dihahas bagaimana fenomen-fenomen itu terjadi dalam diri manusia dan dengan cara apa manusia mencapainya sehingga tertuju kepada kesadaran yang diinginkan dari setiap gejala atau fenomena yang terjadi dalam realitas itu sendiri.

2.   Riwayat Hidup
Edmund Gustav Albrecht Husserl lahir di Prostejov di Cekoslowakia, 8 April 1859, dari keluarga Yahudi. Di universitas ia belajar ilmu alam, ilmu falak, matematika, dan filsafat, mula-mula di Leipzig kemudian juga di Berlin dan Wina. Di Wina ia tertarik pada filsafat Franz Brentano.
Husserl mengajar di universitas Halle dari tahun 1886-1901, kemudian di Gottingen sampai tahun 1916 dan akhirnya di Freiburg. Ia juga mengajar sebagai dosen tamu di Berlin, London, Paris, Amsterdam, dan Praha. Husserl menjadi terkenal karena metode yang diciptakan olehnya yakni metode “fenomenologi”, yang oleh murid-muridnya diperkembangkan lebih lanjut. Husserl meninggal tahun 1938 di Freiburg. Untuk menyelamatkan warisan intelektualnya dari kaum Nazi, semua buku dan catatannya dibawa ke universitas Leuven di Belgia.[1]
3.   Fenomenologi  Edmund Husserl
Sebagai metode, fenomenologi merupakan persiapan bagi setiap penyelidikan di bidang filsafat dan di bidang ilmu pengetahuan positif[2]. Dalam karya-karyanya yang diterbitkan sesudah ia meninggal, kita memperoleh penerapan-penerapan metode ini secara kongkrit pada berbagai bidang kenyataan yang ada. Kesadaran tidak pernah secara langsung terjangkau sebagaimana adanya, karena pada hakekatnya bersifat intensional, artinya terarah kepada sesuatu yang bukan merupakan kesadaran itu sendiri. Pengamatan serta pemahaman, pembayangan serta penggambaran, semuanya bersifat intensional, terarah kepada sesuatu. Kesadaran tidak pernah pasif melulu. Karena menyadari sesuatu berarti mengubah sesuatu. Hal yang disadari dijadikan sesuatu yang ada bagi saya. Kesadaran itu tidak seperti suatu cermin atau foto. Kesadaran itu suatu tindakan. Terdapat interaksi antara tindakan kesadaran dan obyek kesadaran. Namun interaksi ini tidak boleh dianggap sebagai kerja sama antara dua unsur yang sama penting. Karena akhirnya hanya ada kesadaran, obyek yang disadari itu hanyalah suatu ciptaan kesadaraan. [3]
Pandangan lain bahwa, Husserl tidak sependapat dengan Kant tentang kesadaran  dengan konsep  a priori yang dimilikinya itulah yang memberi struktur terhadap kenyataan yang kita amati sehingga tersusunlah pengetahuan kita. Menurut Husserl, pengetahuan itu terhimpun oleh keterkaitan kesadaran kita secara langsung dengan kenyataan yang tampil pada kita sebagai fenomen. Fenomen merupakan hasil dari pengalaman ketertujuan kesadaran kita tentang sesuatu objek atau kenyataan. Demikianlah Husserl menentang kecendrungan untuk menyamakan kesadaran dengan gejala alamiah lainnya serta memperlakukannya berdasarkan dalil-dalil naturalistik belaka. Kesadaran yang senantiasa tertuju dan terkait pada kenyataan di luarnnya bukan saja memberi bentuk pada kenyataan itu, melainkan juga dibentuk olehnya. Disinilah letak perbedaan pendapat antara Husserl dan Kant. Kegigihan Husserl untuk menemukan titik pijak yang pasti akhirnya juga tidak tampak berhasil,  namun demikian, konsekuen pada analisanya tentang kesadaran yang senantiasa tertuju dan terkait pada kenyataan ataupun realitas yang sesungguhnya. Husserl sampai pada perumusan fenomenologi yang kemudian meluas pengaruhnya terhadap perkembangan filsafat menjelang akhir abad ke 20.  [4]
Lebih lanjut lagi Husserl berpendapat bahwa, ada kebenaran untuk semua orang dan manusia dapat mencapainya. Dan untuk menemukan kebenaran ini, seseorang harus kembali kepada realitas sendiri. Husserl menyatakan, kembali kebenda-benda itu sendiri, merupakan inti dari pendekatan yang dipakai untuk mendeskripsikan realitas menurut apa adanya. Setiap objek memiliki hakekat, dan hakekat itu berbicara kepada kita jika kita membuka diri kepada gejala-gejala yang kita terima. Kalau kita mengambil jarak dan obyek itu, melepaskan objek itu dari pengaruh pandangan-pandangan lain, dan gejala-gejala itu kita cermati, maka obyek itu berbicara sendiri mengenai hakikatnya, dan kita memahaminya berkat intuisi dalam diri kita. Namun yang perlu dipahami adalah bahwa benda, realitas ataupun obyek tidaklah secara langsung memperlihatkan hakekatnya sendiri. Apa yang kita temui pada benda-benda itu dalam pemikiran biasa bukanlah hakekat. Hakekat benda itu sebenarnya ada dibalik yang kelihatan itu. Karena pemikiran pertama tidak membuka kenyataan yang menutupi hakekat tersebut, maka diperlukan pemikiran kedua. Alat yang digunakan untuk menemukan pemikiran yang kedua ini adalah intuisi dalam menemukan hakekat, yang disebut dengan wesenchau, yakni melihat secara intuitif hakekat gejala-gejalanya. Dalam melihat hakekat dengan intuisi ini, Husserl memperkenalkan pendekatan reduksi, yakni penundaan segala pengetahuan yang ada tentang obyek sebelum pengamatan itu dilakukan. Reduksi ini juga dapat diartikan sebagai penyaringan atau pengecilan. Reduksi ini merupakan salah satu prinsip dasar sikap fenomenologis, dimana untuk mengetahui sesuatu, seorang fenomenolog bersikap netral dengan tidak menggunakan teori-teori atau pengertian-pengertian yang telah ada sehingga obyek diberi kesempatan untuk berbicara tentang dirinya sendiri.
Dijelaskan lagi bahwa fenomena dipandang dari dua sudut. Pertama, fenomena selalu menunjuk ke luar atau berhubungan dengan realitas di luar pikiran. Kedua, fenomena dari sudut kesadaran kita, karena selalu berada dalam kesadaran kita. Maka dalam setiap memandang fenomena harus terlebih dahulu melihat penyaringan dengan ratio, sehingga mendapatkan kesadaran yang murni. Fenomenologi menghendaki ilmu pengetahuan secara sadar mengarahkan untuk memperhatikan contoh tertentu tanpa perasangka teoritis lewat pengalaman-pengalaman yang berbeda dan bukan lewat koleksi data yang besar untuk suatu teori umum di luar substansi sesungguhnya. Fenomena adalah ilmu tentang esensi-esensi kesadaran dan esensi ideal dari obyek-obyek sebagai korelasi kesadaran, pertanyaanya adalah bagaimana caranya agar esensi-esensi tersebut tetap pada kemurniannya, karena sesungguhnya fenomenologi menghendaki ilmu pengetahuan secara sadar mengarahkan untuk memperhatikan contoh tertentu tanpa prasangka teoritis lewat pengalaman-pengalaman yang berbeda dan bukan  lewat koleksi data yang besar untuk suatu teori umum di luar substansinya sesungguhnya, dan tanpa terkontaminasi kecendrungan psikologisme dan naturalisme. Husserl mengajukan satu prosedur yang dinamakan epoche atau penundaan semua asumsi tentang kenyataan demi memunculkan esensi. Memahami fenomen sebagaimana adanya merupakan usaha kembali kepada sebagaimana penampilannya dalam kesadaran. Usaha kembali pada fenomen tersebut memerlukan pedoman metodik. Tidak mungkin untuk melukiskan fenomen-fenomen sampai pada hal-hal yang khusus satu demi satu. Yang pokok adalah menangkap hakekat fenomena-fenomena. Oleh karena itu metode tersebut harus dapat menyisihkan hal-hal yang tidak hakiki, agar hakekat ini dapat menangkap diri sendiri. Bukan suatu abstraksi melainkan intuisi mengenai hakekat sesuatu.

4.   Konstitusi Proses Tampaknya Fenomena-Fenomena

Dengan konstitusi dimaksudkan proses tampaknya fenomen-fenomen kepada kesadaran. Fenomen-fenomen mengkonstitusi diri dalam kesadaran, kata Husserl. Dan karena adanya korelasi antara kesadaran dan realitas yang disebut tadi, maka dapat dikatakan juga bahwa konstitusi adalah aktivitas kesadaran yang memungkinkan tampaknya realitas. Husserl mengatakan bahwa dunia real dikonstitusi oleh kesadaran. Hal itu sama sekali tidak berarti bahwa kesadaran mengadakan atau menyebabkan dunia beserta pembedaan-pembedaan yang terdapat di dalamnya, melainkan hanyalah bahwa kesadaran harus hadir pada dunia supaya penampakan dunia dapat berlangsung. Tidak ada kebenaran-kebenaran pada dirinya, lepas dari kesadaran. Kebenaran hanya mungkin dalam korelasi dengan kesadaran. Dan karena yang disebut realitas itu tidak lain daripada dunia sejauh dianggap benar, maka realitas harus dikonstitusi oleh kesadaran. Konstitusi ini berlangsung dalam peroses penampakan yang dialami oleh dunia ketika menjadi fenomen bagi kesadaran intensional. Untuk sekedar menjelaskan maksud Husserl dengan konstitusi, maka kita dapat memandang sebentar proses persepsi. Ketika kita melihat suatu gunung umpamanya. Tetapi yang sebetulnya kita lihat selalu suatu perspektif dari gunung, saya melihat gunung itu dari sebelah timur atau utara atau dari atas dan seterusnya. Tetapi bagi persepsi, gunung adalah sintese semua perspektif itu. Dalam persepsi obyek telah dikonstitusi. Tetapi hal yang sejenis berlaku untuk setiap aktus-aktus intelektual.
Pada akhirnya hidup Husserl semaikin mementingkan dimensi historis dalam kesadaran dan dalam realitas. Suatu fenomen tidak pernah merupakan sesuatu yang statis, arti suatu fenomen bergantung pada sejarahnya.  Ini berlaku baik bagi sejarah pribadi manusia maupun bagi sejarah umat manusia sebagai keseluruhan. Alat misalnya bagi kita dalam jaman komputer tampak lain sekali daripada dalam jaman batu dulu. Dan juga kesadaran sendiri mengalami suatu perkembangan, sejarah kita selalu hadir dalam cara kita menghadapi realitas. Karena itu konstitusi dalam filsafat terakhir Husserl dimengerti sebagai konstitusi genetis, proses yang mengakibatkan suatu fenomen menjadi real dalam kesadaran adalah suatu proses historis. [5]

5.   Kesimpulan

Fenomenologi meneliti atau menyelidiki pengalaman kesadaran yang berhubungan dengan pertanyaan, seperti bagaimana pembagian antara subjek dan objek muncul dan bagaimana suatu hal didunia ini diklarifikasikan. Fenomenologi secara esensial juga merupakan perspektif modern tentang manusia dan dunianya. Bagaimana suatu fenomen yang terjadi yang menggejala dalam dunia dan hidup manusia itu sendiri dalam kehidupan sehari-harinya. Sepanjang sejarah perkembangannya terdapat banyak ahli fenomenologi dengan pandangan dan pemahaman yang berbeda-beda. Walaupun demikian Husserl tetap dikenal sebagai penemu dan tokoh sentral perkembangan fenomenologi.
 Fenomenologi Husserl menekankan bahwa untuk memahami sebuah fenomena seseorang harus menelaah fenomena tersebut apa adanya. Oleh karena itu, seseorang harus menyimpan sementara atau mengisolasi asumsi, keyakinan, dan pengetahuan yang telah dimiliki tentang fenomena tersebut. Hanya dengan peroses inilah seseorang mampu mencapai pemahaman yang murni tentang fenomena. Selanjutnya fenomenologi Husserl meyakini bahwa fenomena hanya terdapat pada kesadaran manusia kepada siapa fenomena tersebut menampakkan diri. Sehingga untuk memahami sebuah fenomena, seseorang harus mengamati fenomena tersebut melalui orang yang mengalaminya, karena  kebenaran tidak saja ditetapkan berdasarkan bukti-bukti empiris, tetapi masih diperlukan berbagai pengalaman lewat intuisi yang bersifat apriori. Metode fenomenologi mulai dengan orang yang mengetahui dan mengalami, yakni orang yang melakukan persepsi. Fenomenologi dijelaskan sebagai kembali kepada benda itu sendiri, sebagai lawan dari ilusi atau susunan pikiran, justru karena benda adalah objek kesadaran yang langsung dalam bentuknya yang murni.


Daftar Pustaka
1.      Hamersma, Harry. Tokoh Tokoh Filsafat Barat Modern. Jakarta: PT. Gramedia, 1983.
2.      Delfgaauw, Bernard. Filsafat Abad 20. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1987.
3.      Hassan, Fuad. Pengantar Filsafat Barat.  Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, 1996.
4.      Bertens, K. Sejarah Filsafat Barat Abad XX Inggris-Jerman. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1983.
















[1] Harry Hamersma, Tokoh Tokoh Filsafat Barat Modern, (Jakarta: PT. Gramedia, 1983), hlm. 114.
[2] Bernard Delfgaauw, Filsafat Abad 20, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1987), hlm. 104-105.
[3] Harry Hamersma, Tokoh…, hlm.117.
[4] Fuad Hassan, Pengantar Filsafat Barat, ( Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, 1996), hlm. 105-106.
[5] K.Bertens, Sejarah Filsafat Barat Abad XX Inggris-Jerman, ( Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1983), hlm. 101-102

Tidak ada komentar:

Posting Komentar