Translate

Minggu, 07 Oktober 2018

Hans-Georg Gadamer



Gagasan Hermeneutik Dalam Pemikiran Hans-Georg Gadamer
 Dalam Memahami Diri
Sebagai Menyejarah Yang Sempurna

1.       PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Pembahasan
Dewasa ini banyak sekali para pakar-pakar dari segala bidang ilmu pengetahuan yang dengan segala pemikiran yang mereka peroleh dari setiap objek atau penelitian yang mereka lakukan, ataupun orang-orang lain yang dengan segala kemampuan, mereka menyumbangkan begitu banyak suatu pengetahuan pada zaman modern ini.
Hal ini membawa suatu pandangan hidup baru dalam diri manusia untuk mencapai jalan kesempurnaan, yakni dengan pemikiran dan penelitian itu sendiri. Perkembangan pemikiran pada zaman itu bukan saja memperlihatkan betapa pandainya manusia dalam menggunakan akal budinya, tetapi sekaligus mempengaruhi cara pandang dan pola pikirnya tentang dunia dan Allah, yang mana kehidupan manusia pada zaman dahulu masih mempunyai keseimbangan dalam hal material dan spiritual.[1]

Akan tetapi manusia pada zaman sekarang lebih mengerti jalan kesempurnaan itu sebagai dunia dalam dirinya dan menjadikan akal budi sebagai dasar kebenaran. Selanjutnya, dengan mahakaryanya ini Gadamer bermaksud menunjukkan bahwa hermeneutik tidak meletakkan dirinya pada ilmu tertentu atau menyangkut suatu penafsiran yang ketat, melainkan sebuah pemahaman ontologis yang menyeluruh, bahwa manusia memahami dirinya sebagai menyejarah dan memaknai hidupnya dalam hubungannya dengan dunianya.

Kiranya pandangan Hans-Georg Gadamer atas penafsiran-penafsiran (Hermeneutik) menunjuk pada Hermes, sosok pengantara atau pembawa kabar baik dari yang ilahi ( hermenes ton theon ).[2] Sehingga kesempurnaan itu akan semakin jelas dan dapat dlaksanakan dengan baik, tetapi meskipun demikian tetap saja dalam pemikiran Yunani itu terbatas pada kemampuan untuk menafsir, karena hermeneutik juga dibagi kedalam beberapa bagian yaitu, cara memahami, cara menerangkan dan cara menerapkan.


1.2 Perumusan Masalah
Ada banyak usaha manusia untuk mencapai cara-cara memahami, menerangkan dan menerapkan berbagai pengetahuan bahasa mereka, akan tetapi disini hanya membahas hermeneutik menurut gagasan Hans-Georg Gadamer. Bagi Hans-Georg Gadamer melalui penafsiran-penafsiran (hermeneutik) dapat menghantar orang kepada dunianya sendiri dan membawa kabar baik bagi saudara saudarinya dari yang ilahi dan serta pesan-pesan suci. Gadamer mendasarkan dirinya sebagai yang menyejarah dan memaknai hidup yang berhubungan dengan dunia, dan sesungguhnya ia sendiri lebih menyukai bahwa “ de nobis ipsis silemus “(tentang diri kami sendiri kami diam).

Dilain pihak, sejumlah kritik menganggap Gadamer sebagai ultra tradisionalis karena upayanya untuk membawa kembali filsafat ke zaman klasik Yunani.[3] Hermeneutik menurut Gadamer secara etimologis adalah menafsir dan penafsiran, mengungkapkan dan pengungkapan. Dan bagi Gadamer suatu pemahaman tanpa penerapan tidaklah memiliki arti yang sebenarnya. Hermeneutik lantas menjadi sebuah titik pertemuan di mana perbedaan dibiarkan bergerak dalam sebuah permainan ria kemerdekaan kreatif yang secara indah saling berhadapan dan saling merangkul.[4]


1.3 Tujuan Pembahasan
Tujuan pembahasan disini mau mengenal dan memahami secara lebih  mendalam arti dan uraian tentang hermeneutik, dan di sisi lain pemahaman ini juga bertujuan untuk mendukung hidup dan cara berbahasa seseorang dan cara memahami serta menafsirkan sesuatu yang manusia terima dalam kehidupan sehari-harinya, agar segala sesuatu yang datang kepada manusia dapat mereka tafsirkan dengan pikiran yang positif dan membangun hidup manusia itu sendiri tanpa menghambat segala sesuatu yang mereka jalani dalam hidup yang berbicara, beradu pendapat dan hal lainnya tentang berbahasa.









                                            
2.       PEMIKIRAN FILSUF

Filsafat hermeneutik sebagaimana yang ditawarkan oleh Gadamer berpuncak pada gagasan bahwa pengada yang bisa dipahami adalah bahasa. Dalam rumusan yang sederhana Gadamer mengatakan bahwa ”ketika seseorang dan saya berbicara, kita sungguh-sungguh melukiskan kehidupan nyata yang berada di balik kata-kata lawan bicara dan lebih jauh lagi, sesungguhnya jiwa dasar hermeneutik selalu mengandaikan bahwa memahami orang lain berarti, dalam batas tertentu, mendukungnya”.[5] Gadamer juga mengatakan “manusia tak mungkin dapat bertahan hidup tanpa harapan, itu merupakan kalimat satu-satunya yang ingin Gadamer pertahankan tanpa satu pembatasan”. Dan seperti dikatakan bahwa Gadamer mengembangkan hermeneutik dengan tiga unsur: kesadaran estetika, kesadaran sejarah dan kebahasaan.[6]

Kata “hermeneutika” berasala dari kata kerja Yunani hermeneuo artinya: mengartikan, menginterpretasikan, menafsirkan, menterjemahkan. Baru dalam abad ke-17 dan ke-18 istilah ini mulai dipakai untuk menunjukkan ajaran tentang aturan-aturan yang harus diikuti dalam mengerti dan menafsirkan dengan tepat suatu teks dari masa lampau, khususnya Kitab Suci dan teks-teks klasik. Dalam filsafat dewasa ini istilah :hermeneutika: dipakai dalam suatu arti yang amat luas yang meliputi hampir semua tema filosofis yang tredisional, sejauh berkaitan dengan masalah bahasa. Pada pokoknya filsafat ini berefleksi tentang “mengerti”. Filsafat sebagai hermeneutika membahas berbagai pertanyaan-pertanyaan.
Dalam hal ini Gadaner meneruskan suatu pendirian Heidegger, “mengerti” harus dipandang sebagai sikap yang paling pundamental dalam eksistensi manusia; atau lebih tepat lagi, kalau dikatakan bahwa”mengerti” menyangkut seluruh pengalaman manusia. Justru karena itulah hermeneutika mempunyai suatu problematik yang sama sekali universal. Maka dari itu dapat dipahami, jika sudah pernah dikemukakan orang bahwa pemikiran Gadamer bukan saja merupakan suatu hermeneutika filosofis, melainkan juga suatu filsafat hermeneutis. Seperti sebelumnya sudah dikatakan oleh Heidegger, Gadamer menekankan juga bahwa “mengerti” mempunyai setruktus lingkaran. Supaya orang mengerti, sudah harus ada prapengertian. Untuk mencapai pengertian, satu-satunya cara adalah bertolak dari pengertian. Misalnya untuk mengerti suatau teks, sebelumnya sudah harus mesti ada prapengertian tertentu tentang apa yang dibicarakan dalam teks itu. Proses ini oleh Heidegger dan Gadamer disebut “lingkaran hermeneutis”.
Tetapi tidak dapat ditarik kesimpulan bahwa lingkaran ini baru timbul jika kita membaca teks-teks. Lingkaran ini sudah dapat pada taraf yang paling fundamental. Lingkaran ini menandai eksistensi kita sendiri. “Mengerti” dunia hanya mungkin kalau ada prapengertian tentang dunia dan tentang diri kita sendiri. Tetapi lingkaran ini tidak merupakan suatu “lingkaran setan”, melainkan justru memungkinkan eksistensi kita.[7]


3.       REFLEKSI

3.1  Analisa Atas Pemikiran Filsuf

Gadamer mengatakan bahwa pengada yang bisa dipahami adalah bahasa, disini mau mengatakan bahwa suatu bahasa itu mempengaruhi juga hidup manusia itu sendiri dari segi dan kualitas manusia itu sendiri tampak dalam perkataan dan perbuatan yang dilakukan dalam hidupnya. Dan di dalam Mythopoiestische Gadamer bermaksud mengatakan bahwa daya nalar imajinatif (mythos) manusia merupakan ruang dimana dia menciptakan kemungkinan untuk memahami sesuatu yang sulit dipahami dengan ukuran-ukuran kepastian dalam berbahasa setiap hari dalam hidupnya.
Dalam pembahasan Gadamer tentang bahasa.”Mengerti” tidak mungkin tanpa bahasa. Dan karena mengerti bukan saja dijalankan dalam pergaulan dengan teks-teks dari masa lampau, tetapi merupakan sikap paling fundamental dalam eksistensi manusia, maka harus disimpulkan bahwa masalah bahasa mempunyai relevansi ontologis. Menurut Gadamer, bahasa berbicara tentang benda-benda dalam dunia, tidak boleh dikatakan bahwa bahasa merupakan suatu realitas subyektif yang menghalangi hubungan kita dengan benda-benda. Karena bahasa itu merupakan suatu kunci untuk mengetahui objek dan segala sesuatu yang dilihat oleh mata, bahasa yang memberi penjelasan dari objek yang kita lihat, dengan segala penafsiran dan segala sesuatu yang dipikirkan, itu akan kita bahasakan dengan kata-kata dan suara yang keluar dari mulut kita dari apa yang selalu kita pikirkan.


3.2  Relevansi Pemikiran Filsuf Bagi Perkembangan Bahasa Pada Zaman Ini
Pada zaman ini bahasa sangat derastis berubah dari segi pemahaman dan segi kualitas bahasa itu sendiri karena manusia pada zaman sekarang ini sudah mulai sesuka hati dalam mengucapkan dan memahami apa sebenarnya yang mau dikatakan dan apa sebenarnya arti dari bahasa yang dibahasakan atau yang dikatakan orang lain kepada audiens atau lawan mereka berbicara, karena banyak terjadi permasalahan dan kesalah pahaman dalam suatu kelompok dan suatu negara pun mengalami hal yang demikian, yang menyebabkan juga suatu perpecahan dalam diri orang lain dan  kelompok tertentu. Seperti halnya kasus Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama (Ahok)  yang kata masyarakat tertentu dia telah menistakan agama, ini berarti adanya suatu kesalah pahaman masyarakart dalam menafsir dan mengartikan apa maksud Ahok dalam pidatonya yang sehingga banyak orang dan masyarakat tertentu merasa bahwa agamanya dinodai dan  itu merupakan suatu pelanggaran bagi mereka yang sesuka hati menafsirkannya.

Disini jelas bahwa kesalah pahaman dalam mengartikan ucapan atau bahasa yang keluar dari mulut Ahok terhadap orang lain, banyak orang sesuka hatinya dalam menafsir dan mengartikan sesuatu bahasa atau ucapan yang dari pikiran orang lain sehingga menghasilkan konflik antar orang dan masyarakat, inilah yang terjadi pada zaman sekarang ini, tidak adanya lagi saling menghormati satu dengan yang lain semua mengandalkan pikirannya dan apa menurutnya yang menjadi maksud dari pikiran orang lain. Ini merupakan tindakan yang tidak pantas untuk dicontoh, seperti yang dikatakan oleh Gadamer bahasa itu merupakan tindakan atau sesuatu yang belum pasti atau sesuatu yang belum dapat dipastikan kepastiannya. Karena bahasa memiliki banyak sekali arti dan maksudnya terhadap sesuatu yang hendak mau kita katakan, setiap kata itu memiliki banyak arti dan makna masing-masing. Itulah sebabnya dalam setiap negara atau suatu kelompok itu bisa saling berontak atau tidak sepaham dengan anggota lainnya, karena kurangnya perhatian terhadap ungkapan-ungkapan yang keluar dari mulut kita, kita sering kali asal ceplos-ceplosan saja mengungkapkan yang hendak mau kita katakana tanpa kita sadarai bahwa sesungguhnya kata yang keluar dari mulut kita itu sangat merugikan orang lain, dan dapat membuat orang lain marah atau tersinggung atas segala kata-kata kita yang tanpa disadari itu.
DAFTAR PUSTAKA


Bertens, K. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: Kanisius, 1979.

Da Silva, Gusmao Martinho G. Hans-Georg Gadamer. Yogyakarta: Kanisius, 2013.
Bertens, K. Filsafat Barat Abad XX. Jakarta: PT Gramedia, 1983.


[1] K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani (Yogyakarta: Kanisius,1979),hlm. 157.
[2] Martinho G. Da Silva Gusmao, Hans-Georg Gadamer (Yogyakarta: Kanisius,2013),hlm. 22.
[3] Martinho G. Da Silva Gusmao, Hans...,  hlm. 1.

[4] Martinho G. Da Silva Gusmao, Hans...,  hlm. 116.


[5] Martinho G. Da Silva Gusmao, Hans...,  hlm. 215.
[6] Martinho G. Da Silva Gusmao, Hans...,  hlm. 217-218.
[7]  K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX (Jakarta: PT Gramedia,1983),hlm. 224-225.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar