Gagasan
Hermeneutik Dalam Pemikiran Hans-Georg
Gadamer
Dalam
Memahami Diri
Sebagai Menyejarah Yang
Sempurna
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang Pembahasan
Dewasa
ini banyak sekali para pakar-pakar dari segala bidang ilmu pengetahuan yang
dengan segala pemikiran yang mereka peroleh dari setiap objek atau penelitian
yang mereka lakukan, ataupun orang-orang lain yang dengan segala kemampuan,
mereka menyumbangkan begitu banyak suatu pengetahuan pada zaman modern ini.
Hal
ini membawa suatu pandangan hidup baru dalam diri manusia untuk mencapai jalan
kesempurnaan, yakni dengan pemikiran dan penelitian itu sendiri. Perkembangan
pemikiran pada zaman itu bukan saja memperlihatkan betapa pandainya manusia
dalam menggunakan akal budinya, tetapi sekaligus mempengaruhi cara pandang dan
pola pikirnya tentang dunia dan Allah, yang mana kehidupan manusia pada zaman
dahulu masih mempunyai keseimbangan dalam hal material dan spiritual.[1]
Akan
tetapi manusia pada zaman sekarang lebih mengerti jalan kesempurnaan itu
sebagai dunia dalam dirinya dan menjadikan akal budi sebagai dasar kebenaran.
Selanjutnya, dengan mahakaryanya ini Gadamer bermaksud menunjukkan bahwa hermeneutik
tidak meletakkan dirinya pada ilmu tertentu atau menyangkut suatu penafsiran
yang ketat, melainkan sebuah pemahaman ontologis yang menyeluruh, bahwa manusia
memahami dirinya sebagai menyejarah dan memaknai hidupnya dalam hubungannya
dengan dunianya.
Kiranya
pandangan Hans-Georg Gadamer atas penafsiran-penafsiran (Hermeneutik) menunjuk
pada Hermes, sosok pengantara atau
pembawa kabar baik dari yang ilahi ( hermenes
ton theon ).[2]
Sehingga kesempurnaan itu akan semakin jelas dan dapat dlaksanakan dengan baik,
tetapi meskipun demikian tetap saja dalam pemikiran Yunani itu terbatas pada
kemampuan untuk menafsir, karena hermeneutik juga dibagi kedalam beberapa
bagian yaitu, cara memahami, cara menerangkan dan cara menerapkan.
1.2 Perumusan
Masalah
Ada
banyak usaha manusia untuk mencapai cara-cara memahami, menerangkan dan
menerapkan berbagai pengetahuan bahasa mereka, akan tetapi disini hanya
membahas hermeneutik menurut gagasan Hans-Georg Gadamer. Bagi Hans-Georg
Gadamer melalui penafsiran-penafsiran (hermeneutik) dapat menghantar orang
kepada dunianya sendiri dan membawa kabar baik bagi saudara saudarinya dari
yang ilahi dan serta pesan-pesan suci. Gadamer mendasarkan dirinya sebagai yang
menyejarah dan memaknai hidup yang berhubungan dengan dunia, dan sesungguhnya
ia sendiri lebih menyukai bahwa “ de
nobis ipsis silemus “(tentang diri kami sendiri kami diam).
Dilain
pihak, sejumlah kritik menganggap Gadamer sebagai ultra tradisionalis karena upayanya untuk membawa kembali filsafat
ke zaman klasik Yunani.[3]
Hermeneutik menurut Gadamer secara etimologis adalah menafsir dan penafsiran,
mengungkapkan dan pengungkapan. Dan bagi Gadamer suatu pemahaman tanpa
penerapan tidaklah memiliki arti yang sebenarnya. Hermeneutik lantas menjadi
sebuah titik pertemuan di mana perbedaan dibiarkan bergerak dalam sebuah
permainan ria kemerdekaan kreatif yang secara indah saling berhadapan dan
saling merangkul.[4]
1.3 Tujuan
Pembahasan
Tujuan
pembahasan disini mau mengenal dan memahami secara lebih mendalam arti dan uraian tentang hermeneutik,
dan di sisi lain pemahaman ini juga bertujuan untuk mendukung hidup dan cara
berbahasa seseorang dan cara memahami serta menafsirkan sesuatu yang manusia
terima dalam kehidupan sehari-harinya, agar segala sesuatu yang datang kepada
manusia dapat mereka tafsirkan dengan pikiran yang positif dan membangun hidup
manusia itu sendiri tanpa menghambat segala sesuatu yang mereka jalani dalam
hidup yang berbicara, beradu pendapat dan hal lainnya tentang berbahasa.
2. PEMIKIRAN
FILSUF
Filsafat
hermeneutik sebagaimana yang ditawarkan oleh Gadamer berpuncak pada gagasan
bahwa pengada yang bisa dipahami adalah bahasa. Dalam rumusan yang sederhana
Gadamer mengatakan bahwa ”ketika seseorang dan saya berbicara, kita
sungguh-sungguh melukiskan kehidupan nyata yang berada di balik kata-kata lawan
bicara dan lebih jauh lagi, sesungguhnya jiwa dasar hermeneutik selalu
mengandaikan bahwa memahami orang lain berarti, dalam batas tertentu,
mendukungnya”.[5]
Gadamer juga mengatakan “manusia tak mungkin dapat bertahan hidup tanpa
harapan, itu merupakan kalimat satu-satunya yang ingin Gadamer pertahankan
tanpa satu pembatasan”. Dan seperti dikatakan bahwa Gadamer mengembangkan
hermeneutik dengan tiga unsur: kesadaran estetika, kesadaran sejarah dan
kebahasaan.[6]
Kata
“hermeneutika” berasala dari kata kerja Yunani hermeneuo artinya: mengartikan, menginterpretasikan, menafsirkan,
menterjemahkan. Baru dalam abad ke-17 dan ke-18 istilah ini mulai dipakai untuk
menunjukkan ajaran tentang aturan-aturan yang harus diikuti dalam mengerti dan
menafsirkan dengan tepat suatu teks dari masa lampau, khususnya Kitab Suci dan
teks-teks klasik. Dalam filsafat dewasa ini istilah :hermeneutika: dipakai
dalam suatu arti yang amat luas yang meliputi hampir semua tema filosofis yang
tredisional, sejauh berkaitan dengan masalah bahasa. Pada pokoknya filsafat ini
berefleksi tentang “mengerti”. Filsafat sebagai hermeneutika membahas berbagai
pertanyaan-pertanyaan.
Dalam
hal ini Gadaner meneruskan suatu pendirian Heidegger, “mengerti” harus
dipandang sebagai sikap yang paling pundamental dalam eksistensi manusia; atau lebih
tepat lagi, kalau dikatakan bahwa”mengerti” menyangkut seluruh pengalaman
manusia. Justru karena itulah hermeneutika mempunyai suatu problematik yang
sama sekali universal. Maka dari itu dapat dipahami, jika sudah pernah
dikemukakan orang bahwa pemikiran Gadamer bukan saja merupakan suatu
hermeneutika filosofis, melainkan juga suatu filsafat hermeneutis. Seperti
sebelumnya sudah dikatakan oleh Heidegger, Gadamer menekankan juga bahwa
“mengerti” mempunyai setruktus lingkaran. Supaya orang mengerti, sudah harus
ada prapengertian. Untuk mencapai pengertian, satu-satunya cara adalah bertolak
dari pengertian. Misalnya untuk mengerti suatau teks, sebelumnya sudah harus
mesti ada prapengertian tertentu tentang apa yang dibicarakan dalam teks itu.
Proses ini oleh Heidegger dan Gadamer disebut “lingkaran hermeneutis”.
Tetapi
tidak dapat ditarik kesimpulan bahwa lingkaran ini baru timbul jika kita
membaca teks-teks. Lingkaran ini sudah dapat pada taraf yang paling
fundamental. Lingkaran ini menandai eksistensi kita sendiri. “Mengerti” dunia
hanya mungkin kalau ada prapengertian tentang dunia dan tentang diri kita
sendiri. Tetapi lingkaran ini tidak merupakan suatu “lingkaran setan”,
melainkan justru memungkinkan eksistensi kita.[7]
3. REFLEKSI
3.1 Analisa Atas Pemikiran Filsuf
Gadamer
mengatakan bahwa pengada yang bisa dipahami adalah bahasa, disini mau
mengatakan bahwa suatu bahasa itu mempengaruhi juga hidup manusia itu sendiri
dari segi dan kualitas manusia itu sendiri tampak dalam perkataan dan perbuatan
yang dilakukan dalam hidupnya. Dan di dalam Mythopoiestische Gadamer bermaksud
mengatakan bahwa daya nalar imajinatif (mythos) manusia merupakan ruang dimana
dia menciptakan kemungkinan untuk memahami sesuatu yang sulit dipahami dengan
ukuran-ukuran kepastian dalam berbahasa setiap hari dalam hidupnya.
Dalam
pembahasan Gadamer tentang bahasa.”Mengerti” tidak mungkin tanpa bahasa. Dan
karena mengerti bukan saja dijalankan dalam pergaulan dengan teks-teks dari
masa lampau, tetapi merupakan sikap paling fundamental dalam eksistensi
manusia, maka harus disimpulkan bahwa masalah bahasa mempunyai relevansi
ontologis. Menurut Gadamer, bahasa berbicara tentang benda-benda dalam dunia,
tidak boleh dikatakan bahwa bahasa merupakan suatu realitas subyektif yang
menghalangi hubungan kita dengan benda-benda. Karena bahasa itu merupakan suatu
kunci untuk mengetahui objek dan segala sesuatu yang dilihat oleh mata, bahasa
yang memberi penjelasan dari objek yang kita lihat, dengan segala penafsiran
dan segala sesuatu yang dipikirkan, itu akan kita bahasakan dengan kata-kata
dan suara yang keluar dari mulut kita dari apa yang selalu kita pikirkan.
3.2 Relevansi Pemikiran Filsuf Bagi Perkembangan
Bahasa Pada Zaman Ini
Pada
zaman ini bahasa sangat derastis berubah dari segi pemahaman dan segi kualitas
bahasa itu sendiri karena manusia pada zaman sekarang ini sudah mulai sesuka
hati dalam mengucapkan dan memahami apa sebenarnya yang mau dikatakan dan apa
sebenarnya arti dari bahasa yang dibahasakan atau yang dikatakan orang lain
kepada audiens atau lawan mereka berbicara, karena banyak terjadi permasalahan
dan kesalah pahaman dalam suatu kelompok dan suatu negara pun mengalami hal
yang demikian, yang menyebabkan juga suatu perpecahan dalam diri orang lain dan
kelompok tertentu. Seperti halnya kasus
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) yang kata masyarakat tertentu dia telah
menistakan agama, ini berarti adanya suatu kesalah pahaman masyarakart dalam
menafsir dan mengartikan apa maksud Ahok dalam pidatonya yang sehingga banyak
orang dan masyarakat tertentu merasa bahwa agamanya dinodai dan itu
merupakan suatu pelanggaran bagi mereka
yang sesuka hati menafsirkannya.
Disini jelas bahwa
kesalah pahaman dalam mengartikan ucapan atau bahasa yang keluar dari mulut
Ahok terhadap orang lain, banyak orang sesuka hatinya dalam menafsir dan
mengartikan sesuatu bahasa atau ucapan yang dari pikiran orang lain sehingga
menghasilkan konflik antar orang dan masyarakat, inilah yang terjadi pada zaman
sekarang ini, tidak adanya lagi saling menghormati satu dengan yang lain semua
mengandalkan pikirannya dan apa menurutnya yang menjadi maksud dari pikiran
orang lain. Ini merupakan tindakan yang tidak pantas untuk dicontoh, seperti yang
dikatakan oleh Gadamer bahasa itu merupakan tindakan atau sesuatu yang belum
pasti atau sesuatu yang belum dapat dipastikan kepastiannya. Karena bahasa
memiliki banyak sekali arti dan maksudnya terhadap sesuatu yang hendak mau kita
katakan, setiap kata itu memiliki banyak arti dan makna masing-masing. Itulah
sebabnya dalam setiap negara atau suatu kelompok itu bisa saling berontak atau
tidak sepaham dengan anggota lainnya, karena kurangnya perhatian terhadap
ungkapan-ungkapan yang keluar dari mulut kita, kita sering kali asal
ceplos-ceplosan saja mengungkapkan yang hendak mau kita katakana tanpa kita
sadarai bahwa sesungguhnya kata yang keluar dari mulut kita itu sangat
merugikan orang lain, dan dapat membuat orang lain marah atau tersinggung atas
segala kata-kata kita yang tanpa disadari itu.
DAFTAR
PUSTAKA
Bertens,
K. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta:
Kanisius, 1979.
Da Silva, Gusmao
Martinho G. Hans-Georg Gadamer. Yogyakarta:
Kanisius, 2013.
Bertens,
K. Filsafat Barat Abad XX. Jakarta: PT
Gramedia, 1983.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar