SISTEM TEKNOLOGI TRADISIONAL
Sistem Teknologi Tradisional Suku Toraja
Suku Toraja yang tinggal di dataran tinggi ini dalam setiap nafas kehidupan
masyarakatnya memiliki filosofi-filosofi yang unik. Tetapi yang akan dibahas
adalah kebudayaan yang menyangkut sistem teknologi tradisional masyarakat Tana
Toraja berupa 1. Alat-alat produksi
tradisional; 2. Senjata tradisional; 3. Wadah(tempat untuk mengangkut atau
menyimpan sesuatu) tradisional; 4. Alat untuk membuat api tradisional; 5.
Teknik membuat makanan dan minuman tradisional; 6. Tempat berlindung
tradisional; 7. Pakaian dan perhiasan tradisional dan 8. Alat transportasi
tradisional. Sistem teknologi yang dimiliki dalam setiap suku terutama suku
Toraja, akan menunjukkan kayanya negara Indonesia akan kebudayaan dalam
suku-sukunya. Kekayaan budaya tersebut harus dijaga dan dilestarikan bersama
sebagai wujud terima kasih kepada nenek moyang yang telah mewariskan kebudayaan
tersebut.
Selaras dengan itu, suku Toraja juga menjaga dan melestarikan kebudayaan
yang mereka miliki. Suku ini memiliki sebuah keunikan karena ada upacara yang
dikhususkan untuk menghormati leluhur yang telah mewariskan berbagai budaya
yang hingga saat ini masih dijaga kelestariannya. Seharusnya berlaku juga bagi
suku-suku lain yaitu menjaga bentuk kebudayaan yang telah diwariskan tersebut. Karena
dengan menjaga dan melestarikannya turun-temurun, berarti ikut menghormati
nenek moyang yang telah mewariskannya dengan mempertahankan nilai-nilai positif
dan nilai negatif diambil sebagai pelajaran yang tidak boleh diulangi.
Suku Toraja bermukim di daerah pegunungan Sulawesi Selatan(Sulsel). Suku
Toraja yang gaya hidupnya sekilas mirip dengan budaya Nias ini bermukim yakni
pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan,
tepatnya lagi di Kabupaten Tana Toraja, Toraja Utara, dan Kabupaten
Mamasa.[1] Suku
Toraja adalah suku yang memiliki karakter Austronesia.[2]
Seperti setiap suku yang ada, suku Toraja dengan teguh menjaga dan melestarikan
warisan leluhur terutama untuk menghormati leluhur mereka yang telah
mewariskannya. Dengan mengambil hal yang positif dan menjadikan hal-hal negatif
sebagai hikmah dan pelajaran, suku ini mampu menjaganya hingga sekarang.
Kabupaten Tana Toraja baru dikenal sejak abad ke 17.
Dahulu kabupaten yang menjadi salah satu tempat tinggal suku Toraja ini
memiliki nama yang cukup panjang. Tana Toraja dahulu bernama Tondok Lepongan Bulan Tana Matari’ Allo yang berarti “negeri dengan pemerintahan
kemasyarakatan yang utuh-bulat bagaikan bulan dan matahari”.
Toraja berasal dari kata bahasa
Bugis yaitu To’ dan Riaja. To’ yang berarti orang dan Riaja
yang berarti Utara. Disisi lain, ada yang mengartikan Toraja dengan “orang yang
datang dari barat” dan “orang yang mendiami negeri atas”. Sebutan “orang yang
datang dari barat” ini berasal dari orang Luwu karena menurut mereka Toraja
yaitu To’ dan Riaja, To’ adalah orang
dan Riaja adalah barat dan bukan
utara. Sementara sebutan “orang yang mendiami negeri atas” datang dari
pemerintah Kolonial Belanda pada tahun 1909. Versi lain menyebut Toraja berasal
dari kata Toraya. To’ adalah orang dan Raya(dari kata Maraya)yang artinya
besar. [3]
Perdebatan mengenai nama Toraja ini pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa Suku
Toraja itu tinggal di negeri atas yang adalah daerah pegunungan yang tinggi dan
adat istiadatnya selalu berkaitan dengan arah matahari terbit dan tenggelam.
Selain itu, suku ini akhirnya lebih dikenal dengan Suku Toraja.
1.
Alat-Alat
Produksi Tradisional
Alat-alat produksi tradisional yang akan dibahas adalah alat-alat yang
digunakan masyarakat suku Toraja untuk mengolah lahan pertanian yang hingga
kini masih dipakai. Ada beberapa alat yang digunakan suku ini yaitu linggis,
gergaji yang digunakan oleh dua orang, kapak, cangkul sabit, alat-alat pahat
dan alat yang digunakan untuk memotong padi yang dinamakan Rangkopan.
Penggunaan linggis bagi suku ini sangat penting. Ini disebabkan suku Toraja
yang tinggal di daerah pegunungan dengan struktur tanah bebatuan. Sebelum
mengolah tanah untuk lahan pertanian, masyarakat menggunakan linggis untuk
mencungkil batu-batu besar barulah kemudian bisa diolah dengan cangkul. Gergaji
panjang yang digunakan oleh orang Toraja berfungsi untuk memotong pohon yang
diambil kayunya untuk membuat rumah tradisional mereka dan rumah tradisional
ini memiliki ukiran yang diukir menggunakan alat-alat pahat.
2. Senjata Tradisional
Setiap suku bangsa tentu memiliki senjata
tradisionalnya masing-masing. Kegunaan senjata ini umumnya untuk berburu dan
berperang pada masanya.
Umumnya dalam suku tertentu, senjata
tradisional memiliki kekuatan magis di dalamnya Sehingga kemudian menjadi benda
yang sakral. Demikian juga pada senjata yang dimiliki oleh suku Toraja. Senjata
tradisional dijadikan benda yang sakral dan dikeramatkan dan ini tidak boleh
digunakan oleh sembarang orang maupun secara sembrono menggunakannya.
Senjata-senjata dalam suku Toraja itu ialah Doke,
Gayang, dan La’bo.
Doke yang berarti tombak, memiliki ukuran yang
normal seperti tombak pada umumnya. Penggunaan Doke selain untuk berburu juga digunakan untuk berperang. Doke ini juga memiliki kekuatan magis
yang pada akhirnya senjata ini juga disakralkan oleh masyarakat suku Toraja.
Gayang atau dikenal juga dengan keris memiliki ukuran
yang normal seperti keris yang juga terdapat di Jawa. Gayang dalam suku Toraja hanya dimiliki oleh kasta bangsawan. Gayang juga memiliki kekuatan magis dan
menjadi benda yang keramat dan hanya disimpan oleh keturunan kasta bangsawan.
La’bo yang dikenal dengan parang tradisional ini juga
memiliki kekuatan magis dan disakralkan seperti senjata yang lain. La’bo memiliki penampilan yang cukup
berbeda dengan panjang dua meter dan memiliki ukiran di tubuhnya. La’bo adalah sebuah tanda bahwa
pemiliknya adalah seorang ksatria keturunan kasta bangsawan dan seperti senjata
lainnya, La’bo juga disakralkan
kepemilikannya.
Itulah senjata tradisional yang ada pada
masyarakat suku Toraja. Seperti keterangan di atas, senjata tersebut hanya
dimiliki oleh kasta bangsawan dan disakralkan karena kekuatan magis yang
menurut kepercayaan ada di dalam masing-masing senjata. Senjata tersebut pada
masa kini hanya dikeluarkan pada saat acara-acara seremonial suku Toraja sebagai
pelengkap dalam pakaian perkawinan maupun saat-saat kedukaan. Selain ketiga
alat tadi, masih ada senjata lain yang dimiliki oleh suku Toraja yang juga
digunakan untuk berperang dan berburu. Senjata tersebut berupa Penai yaitu parang, Bolulong yaitu perisai dan Sumpi
yaitu sumpit.[4]
3. Wadah Tradisional
Suku Toraja memiliki wadah yang dibedakan menurut fungsinya yaitu Sipu’ dan Aling.
Sipu’ adalah wadah yang digunakan sebagai tempat menyimpan sirih dan pinang.
Sirih dan pinang ini digunakan untuk sebuah kebiasaan yang biasa dikenal dengan
menyirih. Penggunaan Sipu’ ini
dibedakan menurut warna pada upacara adat yang sedang dilaksanakan. Sipu’ yang berwarna hitam digunakan pada
saat upacara kematian dan Sipu’ yang berwarna
putih digunakan pada saat upacara pernikahan.
Aling adalah wadah yang dikenal dengan sebutan lumbung padi. Alang ditemukan di Tongkonan yang adalah rumah tradisional
suku Toraja. Bagi suku ini, Alang disebut sebagai bapak dan Tongkonan disebut sebagai
ibu.[5]
4.
Alat Untuk Membuat Api
Masyarakat suku Toraja selain menggunakan pembuat api yang modern, juga
masih menggunakan pembuat api yang tradisional. Pembuatan api tradisional yang dilakukan adalah dengan menggosokkan dua
potong bambu yang diraut dengan serutan sebagai bahan bakarnya. Oleh masyarakat
Toraja, teknik ini dinamakan Miapi
atau meminjam api dari tetangga. Teknik ini digunakan untuk penyalaan api untuk
memasak.
5.
Makanan Dan Minuman Tradisional
a.
Makanan Tradisional
Suku Toraja memiliki makanan tradisional yaitu Pa’piong . Pa’piong adalah
daging ayam, kerbau atau babi yang dimasak dalam bambu. (Gambar.1,2)
Selain Pa’piong, juga ada Lemang yaitu beras ketan yang juga
dimasak dalam bambu. Lemang ini hanya
dimasak apabila ada upacara pernikahan atau disebut Rambu Tuka’ dan upacara pemakaman yang dinamakan Rambu Solo’.
Dalam memasak makanan ini, ada beberapa aturan yang mesti dilakukan.
Pada upacara Rambu Tuka’ bambu harus dipotong dari bawah ke arah atas dan bambu
yang dihasilkan harus tajam. Sebaliknya pada upacara Rambu Solo’ bambu harus dipotong dari arah atas ke bawah dan bambu
yang dihasilkan tidak boleh tajam. Dalam masyarakat suku Toraja, ada filosofi
tersendiri dalam pemotongan bambu ini yaitu:
Rambu Tuka’ berasal dari kata Rambu yang
berarti asap dan Tuka’ yang berarti
naik. Seperti asap yang naik ke atas dan seperti matahari yang terbit dari timur
demikian hendaknya rezeki selalu melimpah.
Rambu Solo’ berasal dari kata Rambu yang
artinya sama yaitu asap dan Solo’
yang berarti turun. Seperti asap yang turun dan matahari yang terbenam di barat.
Makanan lainnya
yaitu Pantollo’ pamarasan adalah
makanan yang terbuat dari daging babi yang dimasak sedemikian rupa dengan bumbu
khas yang hanya ada di tana Toraja. Masakan ini nantinya berbentuk seperti
rendang dan berwarna hitam. Selain dengan daging babi, makanan ini biasanya
diolah menggunakan ikan mas.[6] (Gambar.3)
b.
Minuman
Ballo’ atau tuak adalah minuman khas Toraja. Terbuat dari getah pohon nira yang
difermentasi selama beberapa hari. Minuman ini memiliki dua rasa yang berbeda
yaitu manis dan asam. Rasa yang dimilikinya tergantung pada cara fermentasi dan
juga kualitas pohon nira itu sendiri. Minuman khas ini biasanya disajikan dalam
upacara Rambu Tuka’ dan Rambu Solo’ dan juga dalam acara
syukuran keluarga. (Gambar.4)
6.
Tempat Berlindung Tradisional
Rumah tradisional suku Toraja dikenal dengan Tongkonan. Sekilas, rumah ini mirip dengan rumah tradisional yang
ada di daerah Batak dan juga Minang. Kemiripan yang tampak sekilas itu
disebabkan atapnya yang memiliki bentuk seperti tanduk kerbau yang melengkung.
Bagi masyarakat Toraja, Tongkonan ini
adalah ibu dan lumbung padi yang ada di sekitarnya yaitu Aling adalah bapak.[7]
Mulanya, Tongkonan dibangun
sebagai tempat pertemuan bagi para bangsawan pemimpin suku Toraja. Tongkonan sendiri berasal dari kata Tongkon yaitu tempat duduk atau
menduduki.[8] Di Tongkonan inilah para bangsawan suku Toraja membahas aspek kehidupan
yang terkait dengan masyarakat dan ini menjadi pusat kekuasaan bagi para
bangsawan suku Toraja. Tongkonan yang
dulunya bersifat sebagai pusat pemerintahan dan kekuasaan adat tersebut tidak
berstatus sebagai pribadi, Tetapi sebagai milik bersama masyarakat.
Dalam Tongkonan, dibagi menjadi
tiga ruangan. Ruangan pertama atau ruangan sebelah utara disebut dengan Tangalok yang berfungsi sebagai tempat
untuk menjamu tamu, keluarga dan para sahabat. Ruangan ini juga digunakan
sebagai tempat tidur bagi anak-anak dan untuk meletakkan sesaji. Ruangan pada
sisi selatan disebut dengan Sumbung
yang adalah ruangan khusus bagi kepala keluarga. Sedangkan ruangan yang berada
di tengah disebut dengan Sali yang
berfungsi sebagai dapur dan ruang makan. Selain itu Sali juga digunakan untuk meletakkan atau menyemayamkan orang yang
sudah meninggal.[9]
Dalam membangun Tongkonan, ada hal-hal yang diharuskan
dan tidak boleh dilanggar, yaitu rumah yang harus menghadap ke arah utara,
letak pintu di bagian depan rumah dengan keyakinan bumi dan langit adalah satu
kesatuan dan bumi dibagi dalam empat arah mata angin.
Dalam membangun sebuah rumah baik tradisional maupun modern, dibutuhkan kerja
sama atau yang dikenal dengan gotong-royong. Begitu pun dalam masyarakat suku
Toraja yang menggunakan prinsip gotong-royong untuk membangun rumah tradisional
mereka atau yang dikenal dengan Tongkonan. Tujuan bersama akan tercapai apabila prinsip
gotong-royong ini sudah mendarah daging dalam diri dan menjadi sebuah kebiasaan yang baik apabila yang dilakukan dalam kerja sama adalah
perbuatan yang baik demi kepentingan bersama. (Gambar.5)
7.
Pakaian Dan Perhiasan Tradisional
Pakaian adat dalam
suku Toraja dibagi menjadi dua, yaitu bagi pria dan wanita. Pakaian untuk pria
dinamakan Seppa Tallung yang
bercirikan baju yang berlengan pendek dan celana yang panjangnya sampai ke
lutut sedangkan pada wanita dinamakan Baju
Pokko’ baju yang berlengan pendek dengan rok dan asesoris perhiasan
lainnya.[10] Pakaian
ini masih dilengkapi dengan aksesoris lainnya seperti Kandure, Lipa’, Gayang dan sebagainya. Selain itu, suku Toraja juga
memiliki beberapa perhiasan tradisional, yaitu Bake’ yang adalah ikat kepala,
Manikkota’ yang adalah gelang besar dan Sisin
Lebu’ yang adalah cincin besar.[11]
Pakaian dan
perhiasan ini tidak digunakan sehari hari, Tetapi digunakan saat ada
acara-acara seremonial tertentu yang diadakan masyarakat setempat dan pada
umumnya digunakan oleh penari maupun pagar ayu pada pesta pernikahan suku
Toraja. (Gambar.6)
8. Alat Transportasi Tradisional
Masyarakat suku Toraja
umumnya berjalan kaki untuk alat transportasi tradisionalnya. Tetapi bagi yang
tinggal di daerah pegunungan, masyarakat menggunakan kuda untuk alat
transportasi.
Lampiran Gambar
1. Proses Pembakaran Pa’piong

2. Pa’piong Manuk(Ayam)

3. Pantollo’ Pamarasan

4. Ballo’

5. Tongkonan
6. Seppa
Tallung(Pria) dan Baju
Pokko’ (Wanita)

[1] Naqib Najah, Suku Toraja: Fanatisme Filosofi Leluhur (Makassar:
Arus Timur, 2014), hlm. 3.
[2] Austronesia adalah
kelompok yang menggunakan bahasa Austronesia. Wilayah ini mencakup Pulau
Formosa, Kepulauan Nusantara(termasuk Filipina), Mikronesia, Malenesia,
Polinesia dan Pulau Madagaskar. Secara harafiah, Austronesia berarti “kepulauan
selatan”. Sumber: Wikipedia.
[3] Naqib Najah, Suku Toraja…, hlm. 39.
[4] Buzz Mizzle, http://buzz-mizzle.blogspot.co.id/2013/12/budaya-tanah-toraja-pernikahan-agama.html,10Oktober2015.
[5] Naqib Najah, Suku Toraja…, hlm. 137.
[6] Reski Dembong, https://reskidembong.wordpress.com/2012/03/12/makanan-khas-tradisional-toraja/,10Oktober2015.
[7] Naqib Najah, Suku Toraja…, hlm. 137.
[8] Naqib Najah, Suku Toraja…, hlm. 139.
[9] Naqib Najah, Suku Toraja…, hlm. 137-138
[10] Elsa, http://pakaianadat-elsa.blogspot.co.id/2012/02/pakaian-adat-toraja.html,10Oktober2015.
[11] Buzz Mizzle, http://buzz-mizzle.blogspot.co.id/2013/12/budaya-tanah-toraja-pernikahan-agama.html,10Oktober2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar