Translate

Minggu, 07 Oktober 2018

Pendidikan Nilai


PERAN KELUARGA DALAM PENDIDIKAN NILAI BAGI ANAK
oleh
(Leo Dede Permana Bukit)

BAB I
PENDAHULUAN
1.    Latar Belakang

Pendidikan nilai selalu berawal mula dari pengalaman hidup sehari-hari. Pengalaman hidup menyentuh seluruh pribadi manusia, bukan saja otaknya. Perasaan tergugah dan kehendak serta aspirasi diarahkan untuk melakukan sesuatu. Pengalaman nyata dianggap dari segala segi, dianalisis dan dinilai, dikomentari sambil berpegang kepada paham dan nilai iman, pengalaman mengajak peserta didik untuk menarik satu kesimpulan penting, yaitu menerima dan berpihak kepada paham dan nilai yang dianuti. Dengan kesimpulan itu peserta didik berusaha menerapkan paham dan nilai yang telah diyakini dan diterima itu.[1]
Pendidikan nilai menurut keyakinan agama dan budaya menjadi lebih penting lagi, karena di dalam masyarakat beredar sekian banyak paham dan nilai yang kurang sejalan, bahkan bertolak belakang dan bertentangan dengan paham dan nilai yang ingin dikembangkan. Paham dan nilai itu disajikan dan dipertontonkan dengan cara yang sangat menarik oleh prilaku kalangan tertentu, khususnya yang disebut “selebritis”, dan oleh media massa. Adegan dan juga dialog serta kelakar yang ditayangkan di dalam film-film dan acara TV. Para anak atau pendidik yang serius akan sangat sedih. Paham dan nilai yang dengan susah payah dikembangkan melalui pendidikan, dihancurkan oleh perilaku selebritis dan tayangan-tayangan TV serta sajian media lainnya. Pengalaman paham dan nilai kemanusiaan yang luhur sudah berkurang di dalam masyarakat luas. Karena, duniapendidikan harus lebih bersungguh-sungguh dan mengupayakan pendidikan nilai.[2]
Melalui pendidikan nilai daya tahan generasi muda ditingkatkan. Dengan demikian mereka dapat menentukan sikap hidupnya sendiri, tanpa terombang-ambing oleh paham dan nilai yang ditawarkan berbagai pihak. Melarang perilaku dan adegan yang ditayangkan atau disajikan media massa misalnya, tidak banyak bermanfaat. Lebih baik ditingkatkan kemampuan kritis dan ketangguhan hati nurani generasi muda untuk menganalisis serta menilai apa yang disajikan berdasarkan paham dan nilai keagamaan dan kebudayaan yang dianuti. Apresiasi atau tafsir budaya terhadap hal-hal yang disajikan, berdasarkan paham dan nilai yang dianuti, akan memperkuat keyakinan generasi muda akan paham dan nilai yang dianuti.[3]
Sehubungan dengan pendidikan nilai sangat penting peran keluarga didalamnya. Di atas dikatakan bahwa pendidikan nialai selalu berpangkal tolak dari pengalaman dan mengarah kepada pengalaman. Tanpa mengucapkan banyak kata dan membeberkan seluk beluk ajaran dan teori, di dalam keluarga terjadi secara sepontan pengalaman-pengalaman bersama, yang menggugah bukan saja nalar, tetapi juga imajinasi, ingatan, perasaan dan kehendak manusia. Pengalaman bersama dibagi dan dikaji serta ditafsir bersama. Paham dan nilai yang terkandung di dalam pengalaman, diresapi, dihayati dan diamalkan bersama.[4]
Di dalam keluarga kesabaran, sikap ramah, tenggang-rasa, dan lain-lain tidak diajarkan dengan kata-kata, tetapi dengan teladan, dengan pengalaman yang diperoleh dalam pergaulan hidup keluarga sehari-hari. Pengalaman membuka mata orang, dan pengalaman mengajak orang untuk bertindak. Dari seorang ibu yang serba sabar, ayah dan anak-anak belajar menghargai kesabaran dan berusaha untuk juga sabar. Dari seorang ayah yang tegas dalam pendirian tetapi supel dalam menerapkan pendirian, anak-anak belajar memiliki pendirian, tetapi bijaksana menerapkan pendirian tersebut. Tentu saja pengalaman dan pengamalan paham dan nilai di dalam keluarga mengandaikan keluarga itu benar-benar memiliki, dan berpegang teguh kepada paham dan nilai tertentu. Kecuali itu harus ada iklim yang serasi antara anggota keluarga. Ada saling memberi dan menerima, saling menghormati dan melayani, dan yang paling penting ada komunikasi timbal balik yang enak di dalam suasana keakraban keluarga.[5]
Pendidikan sebagai syarat utama bagi manusia sesungguhnya telah menjadi sarana atau alat bagi manusia selama berabad-abad. Sejak awal keberadaannya, pendidikan telah dijadikan sebagai alat menyalurkan ilmu pengetahuan, alat pembentuk watak, alat pelatihan keterampilan, alat mengasah otak, alat meningkatkan proses pengerjaan, alat investasi, alat konsumsi, alat menanamkan nilai moral dan agama, alat pembentuk kesadaran bangsa, alat meningkatkan taraf ekonomi, alat mengurangi kemiskinan, alat mengangkat status sosial, alat menguasai teknologi, alat menguak rahasia alam raya dan manusia, alat menciptakan keadilan sosial, alat pemanusiaan, alat pembebasan dan lain sebagainya.[6] 
 Ditilik dari hubungan tanggung jawab terhadap anak, maka tanggung jawab pendidikan pada dasarnya tidak bisa dibebankan seluruhnya kepada guru dan pemimpin umat. Dengan kata lain, tanggung jawab pendidikan yang dipikul oleh para pendidik selain orang tua adalah merupakan pelimpahan dari tangung jawab orang tua yang karena satu dan lain hal tidak mungkin melaksanakan pendidikan anaknya secara sempurna. Pendidikan dalam keluarga adalah pendidikan yang bermutu dalam menentukan masa depan anak. Tentu saja dengan pengertian bahwa keluarga itu memenuhi syarat dalam membangun pendidikan yang berkualitas. Dalam kondisi yang kurang lebih sama, tidak ada tempat “persemaian” anak yang lebih baik selain dalam keluarga. Bahkan dalam kondisi yang kurang ideal, keluarga masih bisa menjadi tempat pendidikan yang lebih luhur. Dengan demikian, peran orang tua sangat berperan penting dalam, memberikan pemahaman yang baik dan berkualitas kepada anak. [7]
Tentang isi pendidikan, salah satu dokumen Gerejawi mengatakan, bahwa pendidikan merupakan suatu proses unik, untuk mana persatuan timbal balik pribadi-pribadi sangatlah penting. Pendidik adalah seorang pribadi yang “melahirkan” dalam arti rohani. Dari sudut pandang ini, mengasuh anak dapat dianggap sebagai suatu kerasulan yang sejati. Mendidik anak merupakan suatu sarana komunikasi yang hidup, yang bukan hanya menciptakan suatu hubungan yang mendalam antara pendidik dengan orang yang dididik, tetapi juga membuat mereka berdua ikut ambil bagian dalam kebenaran dan kasih, tujuan terakhir, ke arah mana setiap orang dipanggil oleh Allah Bapa, Putera, dan Roh Kudus.[8]
Peroses pendidikan pada akhirnya menuju ke tahap pendidikan diri sendiri, yang terjadi bila seorang individu, sesudah mencapai suatu tingkat tertentu dari tingkat tertentu dari kematangan rohaniah-jasmaniah, mulai “mendidik diri sendiri atas kehendaknya sendiri”. pada suatu waktu, pendidikan diri sendiri akan jauh melampauihasil-hasil terdahulu, yang telah diperoleh lewat proses pendidikan, yang akan tetap berakar di dalamnya. Seorang anak remaja dihadapkan pada orang-orang baru dan lingkungan baru, khususnya para guru dan teman-teman sekelas, yang memberikan pengaruh pada kehidupannya, yang dapat membantu ataupun merugikannya. Pada tahap ini dia akan sedikit menjauhkan diri dari pendidikan yang diterimanya dalam keluarga, bahkan kadang-kadang mengambil suatu sikap kritis terhadap orang tuanya. Meskipun begitu, proses pendidikan diri sendiri mau tak mau akan ditandai oleh pengaruh pendidikan yang diberikan oleh keluarga dan sekolah pada anak-anak dan kaum remaja. Bila mereka menjadi dewasa dan sudah menjalani jalan hidup mereka sendiri, kaum muda tetap akan erat berhubungan dengan akar dari keberadaan mereka.[9]
Peranan yang tidak dapat digantikan dari pendidikan di dalam keluarga adalah memberikan pendidikan agama kepada anak yang memungkinkan keluarga berkembang menjadi suatu Gereja keluarga. Pendidikan agama yang dimaksud tentu saja mencakup unsur pengetahuan iman yang bersifat objektif, meliputi pengetahuan tentang kelembagaan kebaktian kepada Tuhan dalam aspeknya yang resmi berupa aneka peraturan, hukum, Kitab Suci beserta tafsirnya; serta unsur-unsur yang disebut religiositas, yaitu aspek dalam lubuk hati. Secara khusus, unsur kedua merupakan tanggung jawab khas pendidikan di dalam keluarga. Seperti dinyatakan dalam dokumen Gereja Katolik, orang tua harus penuh kepercayaan dan keberanian membina anak-anak mereka mengamalkan nilai-nilai hakiki kehidupan manusiawi, menumbuhkan kesadaran akan keadilan dan cinta kasih yang sejati, serta memberikan latihan dalam hal keutamaan-keutamaan sosial, termasuk memberikan pendidikan seksualitas[10] secara jelas. Bukan berarti pendidikan keluarga tidak perlu memperhatikan unsur objektif  pendidikan agama maupun pendidikan dalam aspek-aspek kepribadian lainnya melainkan keluarga tetap bertanggung jawab atas seluruh pendidikan anak-anaknya.[11]

1.1    Perumusan Masalah
Pada umumnya pendidikan dalam rumah tangga tidak bertolak dari kesadaran dan pengertian yang lahir dari pengetahuan mendidik, melainkan karena secara kodrati, suasana dan strukturnya memberikan kemungkinan alami membangun situasi pendidikan. Situasi pendidikan itu terwujud berkat adanya pergaulan yang mempengaruhi secara timbal balik antara orang tua dan anak. Orang tua berperan sebagai pembentuk pribadi anak lewat interaksi interpersonal sehingga pola tingkah laku anak akan ditentukan oleh bagaimana orang tua mengasuhnya. [12]   
Sayang pola hidup keluarga-keluarga “modern” yang anggota-anggotanya memiliki kesibukan dan pekerjaan masing-masing sering tidak menunjang iklim yang dibutuhkan untuk dapat berkomunikasi dan berinteraksi. Bila ingin memelihara suasana keakraban, di mana ada interaksi dan komunikasi, keluarga-keluarga harus bersedia menyusun jadwal, dengan melowongkan waktu untuk bersama-sama melakukan, menghayati, mengamalkan bahkan menikmati sesuatu. Di dalam kebersamaan paham dan nilai dipertukarkan, dihayati dan diamalkan.[13]
Karena kesibukan, orangtua sering menyerahkan seluruh pendidikan anak ke tangan para pendidik dan pengasuh di sekolah. Hal ini tidak tepat. Tugas mendidik, apalagi membina paham dan nilai menjadi sikap, kepribadian dan watak merupakan tugas orang yang sudah melahirkan anak, dengan kata lain tugas orangtua. Memang tidak semua tugas pendidikan dapat diemban dengan baik oleh orangtua. Untuk itu diciptakan lembaga-lembaga pendidikan. Akan tetapi, tidak boleh orang tua “lepas tangan” seluruhnya dalam urusan membesarkan dan mendewasakan anak. Kerja sama dengan pihak sekolah dan lembaga pendidikan sangat baik dan dianjurkan, akan tetapi tidak boleh seluruh tugas mendidik dilimpahkan kepada sekolah\lembaga pendidikan.[14]
Oleh karena itu, berdasarkan masalah di atas, penulis mempertajam masalah itu dengan pertanyaan-pertanyaan berikut:
1.      Bagaimana pengaruh pendidikan nilai bagi perilaku anak ?
2.      Apa yang dimaksud dengan nilai?
3.      Apa strategi orangtua dalam menyelaraskan kebutuhan pendidikan anak?
4.      Apa tantangan keluarga dalam mendidik anak ?
5.      Apa  peran keluarga dalam mendidik?
Berdasarkan rumusan tersebut, penulis memberi batasan tulisan ini dalam judul: PERAN KELUARGA DALAM PENDIDIKAN NILAI BAGI ANAK DI STASI LARAS II PAROKI BATU LIMA.
1.2  Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1)      mengetahui apakah orangtua mampu menerapkan pendidikan nilai kepada anak mereka.
2)      Mengetahui, apakah nilai sangat mempengaruhi sikap anak dalam keluarga.
3)      mengetahui apakah strategi atau cara yang dibuat oleh orangtua berpengaruh dalam perkembangan pendidikan anak.
4)      mengetahui apakah tantangan yang dialami oleh orangtua berpengaruh dalam perkembangan sikap anak.
5)      mengetahui apakah orangtua sungguh berperan dalam mendidik anak dalam keluarga.

1.3  Signifikansi Penelitian
Penelitian ini mau menunjukan bahwa pendidikan nilai  merupakan suatu yang sangat penting bagi seorang anak. Karena pendidikan nilai merupakan salah satu proses memanusiakan manusia (humanisasi). Orang tua memiliki peran yang sangat penting dalam hal ini, karena dalam keluargalah iman dan nilai itu berkembang, sebab keluarga adalah tempat pendidikan awal bagi anak.
Dalam penelitian ini, penulis ingin mengajak pembaca dan orang tua/keluarga menyadari bahwa pendidikan nilai itu sangat penting bagi perkembangan sikap serta keperibadian anak dalam menjungjung tinggi nilai-nilai yang ada dalam diri anak yang diwariskan oleh lingkup keluarga yaitu orang tua sendiri.
        
1.4  Kegunaan Penelitian
Penelitian yang penulis lakukan ini mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi penulis sendiri, maupun bagi para pembaca atau pihak lain yang berkepentingan.
1)      Manfaat Akademis
Penelitian ini erat hubungannya dengan mata kuliah Metodologi Penelitian Statistik, sehingga dengan melakukan penelitian ini, diharapkan penulis dan semua pihak yang berkepentingan dapat lebih memahaminya. Dan serta untuk lebih mengetahui secara dalam mengenai pendidikan nilai.

1.5  Sistematika Penulisan
            Penelitian ini terdiri atas tiga bab, yakni bab I sebagai pendahuluan yang berisikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, signifikansi penelitian, kegunaan penelitian dan sistematika penulisan.
Dalam bab II   penulis akan menguraikan secara kepustakaan tentang pendidikan nilai, nilai, strategi keluarga dalam mendidik, tantangan keluarga dalam mendidik anak, peran keluarga dalam mendidik anak, definisi oprasional dan hipotesis. Tujuannya ialah untuk memahami makna dari pendidikan nilai serta pemahaman dasar dari pendidikan.
       Dalam bab III penulis memaparkan lampiran yang berisi data responden dan kuesioner penelitian.
BAB II

1.      Tinjauan Pustaka
1.1  Pendidikan Nilai
Penulis mengutip dari buku Menggugat Sekolah oleh A. Supratiknya, yang menguraikan bahwa, pendidikan nilai adalah penanaman dan pengembangan nilai-nilai dalam diri seseorang, khususnya anak-anak dan kaum muda. Pendidikan nilai juga mencakup usaha menyandarkan anak-anak dan kaum muda tentang nilai-nilai yang terkandung dalam situasi dan hal-hal nyata yang mereka hadapi, menjelaskan arti konkret dari nilai-nilai itu, serta memahami implikasi dari pembatinan nilai-nilai tersebut kedalam kehidupannya. Usaha ini dapat dilakukan secara sadar terancam dalam bentuk perogram kegiatan khusus, atau lebih sebagai salah satu dimensi dari seluruh usaha pendidikan baik di dalam keluarga, sekolah, dan ditengah masyarakat luas lewat berbagai sumber dan sarana. Tujuan pendidikan nilai pada akhirnya adalah menolong anak dan kaum muda agar mampu mandiri dalam menjalani hidup secara efektif, mampu memerintah dirinya sendiri secara tepat dan bertanggung jawab.  Pendidikan nilai sebagai suatu gerakan seperti kita kenal sekarang muncul pada awal dasawarsa delapan puluhan, diperakarsai oleh sekelompok pemikir-praktis pendidikan di Eropa yang memiliki kepedulian mendalam untuk mempersiapkan kaum muda memasuki abad kedua puluh satu.[15]
Berbagai pendekatan atau metode pendidikan nilai pada dasarnya dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yakni pendekatan yang bersifat indoktrinatif-koersif-heteronomik, pendekatan yang bersifat eksperiensal-liberal-autonomik, dan kombinasi antara keduanya. Dalam pendekatan yang bercorak indoktrinatif-koersif-heteronomik, nilai-nilai diajarkan, ditanamkan,bahkan dipaksakan secara langsung lewat berbagai bentuk pengulangan secara mekanistik oleh suatu agen-autoritatif eksternal.[16]
Dalam metode ganjaran dan hukuman, orang tua membentuk tingkah laku anak dengan cara memberinya ganjaran atas perbuatan yang dipandang mencerminkan nilai-nilai yang sedang diajarkan atau memberinya hukuman atas kegagalan menunjukkan perbuatan yang diharapkan atau karena telah melakukan perbuatan yang dipandang mencerminkan kebaikan dari nilai-nilai yang sedang diajarkan. Bahaya dari pendekatan ini ialah bahwa anak gagal membatinkan nilai-nilai yang sedang ditanamkan, bahkan justru bisa menjadi tergantung pada sanksi-sanksinya. Akibatnya, anak hanya mau bertingkah laku sebagaimana diharapkan jika diberi hadiah serta akan segera melupakannya apabila harapan mendapatkan hadiah atau ancaman mendapatkan hukuman tidak ada lagi.[17]

1.2  Nilai
Nilai merupakan suatu kepercayaan yang bersifat preskriptif atau sebaliknya proskriptif. Artinya, kepercayaan bahwa sesuatu hal adalah benar atau seyogyanya dilakukan, dikejar, atau dimiliki. Bisa pula, kepercayaan bahwa sesuatu hal adalah tidak benar atau seyogyanya tidak dilakukan, tidak dikejar atau tidak dimiliki. Sebagai kepercayaan, nilai meliputi komponen-komponen kognitif, afektif, dan psikomotor atau behavioural. Komponen kognitif berupa konsepsi atau pengertian seseorang tentang hal yang dipandangnya benar atau pantas dilakukan sehingga dengan bebas dia memilihnya dari berbagai alternatif dan telah menyadari serta mempertimbangkan berbagai konsekuensinya. Komponen afektif adalah perasaan menghargai pilihannya, yaitu merasa senang dengan pilihannya itu sehingga mau menegaskan atau mengakuinya di muka umum.[18]
Komponen psikomotor atau behavioral adalah kerelaan seseorang untuk bertindak demi apa yang telah dipilihnya dan tindakan itu akan diulang-ulang sehingga membentuk pola tingkah laku. Apa yang dipercaya sebagai yang benar atau pantas di kejar tersebut bisa berupa hal-hal konkret yang secara objektif-kontekstual bernilai, diberi nilai, atau dipandang bernilai. Hal-hal konkret tersebut bisa berupa barang, bisa berupa pengalaman atau perasaan.[19]
Nilai-nilai tertanam, terbatinkan, atau berkembang dalam diri seseorang lewat proses belajar yang disebut sosialisasi, khususnya selama masa kanak-kanak di dalam keluarga. Sesudah dipelajari, nilai-nilai akan diintegrasikan ke dalam suatu tata atau sistem nilai bersama nilai-nilai lainnya, masing-masing nilai disusun atau diurutkan dalam sejenis hirarki atau skala prioritas tertentu.[20]


1.3  Strategi Keluarga dalam Mendidik
Tentu ada banyak strategi yang perlu dan bisa ditempuh oleh orang tua, para pendidik di dalam keluarga, untuk menumbuhkan aneka modal atau kemampuan baru dalam diri putera-puteri mereka, dalam rangka mendampingi mereka menjadi manusia sekaligus orang kristen yang urtuh dan seimbang. Strategi yang dimaksud juga perlu ditempuh oleh putera-puteri sendiri, khususnya mereka yang sudah menginjak usia remaja-dewasa-muda. Semua harus dimulai dari diri sendiri.[21]
Adapun strategi itu adalah, komunikasi, solidaritas danlainya. Komunikasi , usaha ini bisa dimulai dengan menunjukkan dan menumbuhkan sikap saling menghormati dan saling mempercayai. Langkah selanjutnya adalah mengembangkan kebiasaan dan keterampilan dialog, baik dialog secara eksplisit dengan bertukar pikiran-perasaan tentang diri masing-masing lewat kata-kata, maupun secara implisit lewat pemberian contoh teladan orang tua menyangkut pelaksanaan aneka nilai dan keutamaan seperti kejujuran, keadilan, sikap menghormati perbedaan, dan sebagainya. Salah satu bentuk keterampilan komunikasi lain yang juga perlu dikembangkan adalah kemampuan mendengar secara aktif, yaitu memahami arti ungkapan pikiran-perasaan sebagaimana dimaksud oleh pengirim pesan dan menanggapinya berdasarkan pemahaman tersebut, bukan menanggapi berdasarkan reaksi pikiran dan perasaan kita sendiri. suasana komunikasi yang terbuka di dalam keluarga juga dapat menjadi sarana yang baik bagi pendidikan seksualitas. Baik lewat penmberian informasi yang benar maupun lewat teladan pelaksanaan peran sebagai lelaki-ayah atau perempuan-ibu anak-generasi muda dapat belajar mengembangkan pengertian yang benar dan apresiasi terhadap peran laki-laki dan perempuan, proses reproduksi, serta nilai-nilai perkawinan dan keluarga.[22]
Lewat solidaritas, sikap solider ini dapat ditumbuhkan lewat pemberian tanggung jawab atau berbagai tugas pekerjaan bersama sehari-hari di rumah kepada setiap anggota keluarga sesuai kemampuan masing-masing. Kehadiran mesin peralatan dan pembantu rumah tangga tidak boleh menutup kesempatan untuk melatih setiap anggota keluarga khususnya anak-anak belajar bertanggung jawab dan terampil melaksanakan aneka tugas bersama betapa pun kecil atau sederhana. Kemampuan menghargai perbedaan menyangkut sifat dan bakat serta kesediaan menolong dan mengatasi berbagai kesulitan, khususnya terhadap anggota keluarga yang paling lemah, juga perlu ditumbuhkan.[23]

1.4    Tantangan Keluarga Dalam Mendidik Anak
Banyak pengamat menyatakan bahwa salah satu masalah serius yang sedang dialami oleh banyak keluarga modern adalah berkurangnya kesempatan keluarga, yaitu ayah ibu dan anak, untuk berkumpul, berkomunikasi bersama. Dari pihak orang tua penyebabnya adalah kesibukan bekerja. Karena tuntutan kebutuhan ekonomi keluarga atau kebutuhan akan aktualisasi-diri bagi ayah ibu sendiri atau lebih-lebih karena mencuatnya nilai-nilai materialistik-pekuniarik (dari kata Latin pecunia, berarti uang) di tengah masyarakat, ayah ibu cenderung menghabiskan lebih banyak waktu diluar maupun di dalam rumah untuk bekerja atau melakukan aktivitas lain yang bertujuan menghasilkan uang. Akibatnya, khususnya bagi anak-anak usia balita sampai menjelang remaja, pembantu rumah tangga, televisi, dan bentuk-bentuk media komunikasi hiburan lain baik cetak maupun elektronik telah menggeser kedudukan ayah ibu sebagai agen sosialisasi yang lebih penting di lingkungan rumah pada banyak keluarga modern.[24]
Dalam banyak keluarga yang ayah ibunya bekerja, anak-anak usia balita cenderung lebih fasih dengan ungkapan-ungkapan yang berasal dari budaya asal pembantu ketimbang yang diajarkan oleh kedua orang tua mereka. Contoh lain adalah betapa anak-anak sekarang lebih akrab dengan tokoh-tokoh heroik yang ditampilkan dalam serial film di televisi atau dalam cerita-cerita bergambar popular impor yang sebagian sesungguhnya merupakan iklan terselubung. Sebagian karena banyak orang tua agaknya memang tidak lagi punya stok cerita maupun keterampilan dan waktu untuk bercerita kepada anak-anaknya. Bagi anak-anak yang sudah menginjak remaja, daftar agen sosialisasi pengganti itu masih ditambah dengan pusat-pusat perbelanjaan modern dan produk-produk industri hiburan seperti diskotek, bar, kafe, dugem yang memiliki daya pikat dan pengaruh yang diduga lebih besar dibandingkan lembaga-lembaga tradisional yang biasa berfungsi sebagai agen sosialisasi si luar rumah, seperti sekolah. Semua itu menjadikan tugas orang tua dalam memberikan pendidikan nilai bagi anak menjadi terbengkalai dan berat. Maka, hal yang perlu diusahakan oleh orang tua (dan anak-anak juga, khususnya yang sudah menginjak remaja) adalah menyediakan lebih banyak waktu untuk berkumpul bersama keluarga.[25]
Keluarga inti sebagai persekutuan pribadi-pribadi yang saling mengingatkan diri dalam perkawinan yang  bersifat stabil atau abadi mendapatkan tantangan hebat dari konsep keluarga longgar, yang didorong oleh kemajuan di bidang teknologi komunikasi juga menimbulkan gejala yang disebut urbanitas atau kelenturan-keluwesan dalam kehidupan keluarga. Menghadapi semua perkembangan-kemajuan beserta aneka akibat buruk yang ditimbulkan sebagaimana diuraikan di atas, maka pendidikan pada umumnya dan pendidikan anak dalam keluarga khususnya dituntut mampu menumbuhkan sejumlah kemampuan baru.[26]
Keluarga juga menjadi ajang pernyataan bahwa keamanan sebagai pertanda bahwa tempat bernaung adalah dimungkinkan, untuk menanamkan tekad keberanian bahwa anak-anak dan kaum dewasa dapat bertahan dari lingkungan yang tidak ramah dan bersahabat. Sulit bagi keluarga untuk menjadi suatu tempat perlindungan bagi anak saat dunia sedang dipenuhi kekerasan. Terlebih pula, kita hidup di dalam suatu komunitas masyarakat yang menerima tingkat kekerasan yang tinggi sebagai ssuatu yang normal. Penganiayaan fisik dan seksual terhadap anak-anak serta kekerasan terhadap kaum perempuan merupakan sisa-sisa budaya patrialis. Rasa takut dan curiga serta persepsi akan bahaya yang tak berkesudahan memberikan dampak yang buruk bagi anak-anak. Inilah yang menjadi tantangan keluarga, yang sebetulnya kegagalan keluarga menjadi tempat berlindung kadang-kadang mencerminkan kegagalan komunitas masyarakat luas. Namun demikian kita tetap harus mengakui bahwa keluarga telah menemui kegagalan saat anak-anak merasa takut untuk menjadi dewasa.[27]

1.5    Peran Keluarga Dalam mendidik Anak
Menurut A. Supratiknya dalam bukunya yang berjudul Menggugat Sekolah, keluarga harus tetap bertanggunga jawab atas seluruh pendidikan anak-anaknya, yang menghantar mereka untuk mencapai kedewasaan penuh, mendampingi dalam pertumbuhan mereka sebagai manusia secara utuh dan seimbang. Dan untuk bisa mengajarkan nilai-nilai tersebut, orang tua sebagai pihak pengajar terlebih dahulu perlu memahami, menyakini, dan menjalankan sendiri nilai-nilai yang hendak diajarkannya itu. Dalam masyarakat kita yang cenderung mengagungkan pangkat dan kekayaan, keseragaman, dan aneka bentuk primordialisme lain, serta penampilan lahiriah, maka nilai-nilai seperti hormat kepada sesama, kemandirian, kesetiakawanan,tulus, dan interioritas kiranya sungguh-sungguh terancam menjadi “mutiara yang hilang”.[28]
Pendidikan nilai dari orangtua kepada anak praktis tidak pernah atau sangat jarang berlangsung secara khusus-sadar-formal, namun terintegrasikan serta meresap secara tak sadar informal, langsung maupun tak langsung, seluruh bentuk wujud interaksi antara orang tua dan anak dalam menjalankan tugas dan kewajiban hidup sehari-hari. Hal ini mensyaratkan banyaknya waktu yang dipakai oleh orang tua dan anak untuk berkumpul, berinteraksi, dan berkomunikasi untuk mempengaruhi berlangsungnya pendidikan nilai bagi anak dalam keluarga.[29]
Menurut Instrumentum Laboris Sinode ke enam KAM mengatakan bahwa, keluarga mempunyai peran pertama dan utama dalam pengembangan masyarakat melalui kelahiran dan pendidikan anak-anak. Keluarga adalah sel pertama dan vital bagi masyarakat. Dalam keluarga anak diajari “memberi secara sukarela”, dalam keluarga anak “dimanusiakan” dan “dibuat jadi seorang peribadi”, dalam keluarga nilai-nilai dijaga dan disalurkan.[30]
Dokumen gerejawi mengatakan, keluarga sebagai persekutuan pendidikan yang fundamental dan esensial, yang merupakan sarana yang pertama dan paling istimewa untuk mewariskan nilai-nilai agama dan budaya yang membantu manusia memperoleh indentitasnya sendiri.[31]
Surat kepada keluarga-keluarga dari Paus Yohanes Paulus ke dua mengatakan, keluarga adalah suatu komunitas  pribadi-pribadi dan merupakan unit sosial yang paling kecil. Keluarga merupakan suatu lembaga yang fundamental atau mendasar bagi setiap masyarakat.[32]
Dalam buku Martin Sardy, Mencari Identitas Pendidikan, mengatakan bahwa keluarga adalah pendidik pertama dan utama yang meletakkan dasar-dasar nilai moral dan budaya kepada generasi mendatang. Keluarga sebagai dasar untuk mewujudkan nilai itu dalam diri pribadi maupun kepada kelompok yang luas dalam masyarakat.[33]
Mendidik manusia merdeka karya Romo Y.B. Mangunwijaya mengatakan bahwa keluarga merupakan instansi utama dalam pembentukan anak-anak terutama dalam memperkuat karakternya. Dengan memperhatikan sumbangan pemikiran dari ahli psikologi persepsi kita tentang peroses perkembangan diri anak semakin meyakinkan. Pertumbuhan anak secara badaniah maupun mental sangat membutuhkan atensi, sentuhan langsung dari ibu dan bapaknya serta lingkungan orang-orang pergaulannya yang memberikan kepastian yang serba menjamin dan suasana dialogal, disinilah peran orang tua yang seharusnya perlu diperhatikan oleh keluarga-keluarga yang ada. Bakat-bakat alam memang ada dalam diri anak, termasuk alam keseluruhan manusia, kesempatan, pacuan, imbauan, suasana bersemi, penderitaan, sakit, kekecewaan, kematian dan lain-lain yang melihat kondisi hidupnya.[34]


2.      Definisi Oprasional
1)      Pendidikan  nilai adalah penanaman nilai-nilai kepada anak didik serta menunjukkan sikap yang secara langsung tidak diajarkan tetapi dalam perakteknya sehari-hari orang tua atau keluarga sudah menunjukkan nilai itu melalui sikap dan perbuatan yang dibuat dan dilakukan oleh oran tua dalam dirinya yang dilihat oleh anak mereka. Dan dengan itu anak mampu menangkap nilai yang diberikan atau ditawarkan oleh orang tua mereka masing-masing.
2)      Nilai adalah suatu sikap atau kepercayaan yang dimiliki oleh anak yang didalamnya terdapat unsur kejujuran, keadilan, kesetiaan atau pun yang lainnya, yang merupakan buah dari didikan orang tua bagi anak mereka. Sehingga nilai itu sudah meresap kedalam diri anak secara tidak sadar anak sudah memiliki sikap itu dalam dirinya melalui orang tua mereka.
3)      Strategi mendidik adalah tindakan atau usaha orang tua dalam mendidik anak-anak mereka menuju kepada kematangan keperibadian anak yang lebih kepada sikap dan nilai yang mau dituju oleh orang tua bagi anak. Hal ini merupakan menjadi tanggung jawab orang tua demi perkembangan diri anak selanjutnya.
4)      Tantangan keluarga dalam mendidik anak adalah berupa kesibukan atau hal yang  lebih diutamakan oleh kebanyakan orang tua, yang mungkin secara ketidak tahuan orang tua, bahwa yang dilakukan itu tidaklah tepat. Demi perkembangan ekonomi dalam rumah, banyak orang tua melalaikan anaknya demi mendapatkan uang yang menjadi  “perioritas utama”. Dengan demikian, tantangan yang paling besar yang dihadapi oleh banyak keluarga atau orang tua adalah kesibukan, yang dapat memperlambat perkembangan pendidikan anak secara tidak langsung atau secara lambat.
5)      Peran keluarga dalam mendidik anak adalah sebagai yang pertama dalam mewujudkan sikap serta perilaku baik bagi anak dan bertanggung jawab penuh atas anak yang mereka lahirkan. Keluarga sebagai komunitas kecil yang  merupakan alat untuk anak dalam menemukan jati dirinya melalui teladan dan nilai-nilai yang ditunjukkan oleh orang tua kepada anak. Dengan kata lain, keluarga merupakan dasar bagi pembentukan karakter anak yang di dalamnya sudah termuat nilai, moral budaya dan hal lainnya, yang membantu anak untuk berkembang lebih lanjut.

3.      Hipotesis
Berdasarkan tinjauan pustaka diatas, maka penulis mencoba untuk merumuskan hipotesis yang akan diuji kebenarannya, apakah hasil penelitian akan menerima atau menolak hipotesis tersebut, sebagai berikut:
1)      Pendidikan nilai sangat berpengaruh bagi perkembangan kepribadian anak untuk menghantarnya kepada nilai-nilai kedewasaan dalam hidupnya.
2)      Nilai sangat mempengaruhi sikap anak dalam keluarga.
3)      Strategi yang dibuat oleh oran tua sangat mempengaruhi perkembangan pendidikan anak.
4)      Keluarga memiliki banyak tantangan dalam mendidik anak mereka, yang harus mengerti dan berkemampuan untuk mendidik.
5)      Keluarga atau orang tua  sangat berperan dalam pembentukan sikap anak yang menghantar mereka kepada kedewasaan penuh, serta mewariskan nilai-nilai didalamnya.



BAB III

LAMPIRAN

3.1 Kuesioner

KUESIONER PENELITIAN
Data Responden:
Nama

Umur

Pekerjaan

Jenis Kelamin


Petunjuk!
Berilah tanda centang () pada jawaban yang sesuai dengan pengalaman pribadi pada kolom yang sudah disediakan.
Misalnya:
v Pendidikan nilai baik untuk diterapkan dimana-mana.
5
Sangat baik

4
Baik
 3
Cukup baik

2
Kurang baik

1
Sama sekali tidak baik




I.          Pengetahuan tentang pendidikan nilai.
1.    Saya mengerti apa itu Pendidikan nilai.
5
Sangat mengerti

4
Mengerti

3
Cukup mengerti

2
Kurang mengerti

1
Sama sekali tidak mengerti


2.    Dengan sikap dan tindakan yang tidak langsung merupakan bagian dari pendidikan nilai. Pengetahuan saya tentang pernyataan ini.
5
Sangat tahu

4
Tahu

3
Cukup tahu

2
Kurang tahu

1
Sama sekali tidak tahu


3. Pendidikan nilai merupakan bagian dari pengajaran yang praktis tanpa kata-kata dapat dilakukan. Pengetahuan saya tentang ini.
5
Sangat tahu

4
Tahu

3
Cukup tahu

2
Kurang tahu

1
Sama sekali tidak tahu

    
4. Pendidikan nilai adalah penanaman dan pengembangan nilai-nilai dalam diri seseorang. Pengetahuan saya tentang Pendidikan Nilai.
5
Sangat tahu

4
Tahu

3
Cukup tahu

2
Kurang kurang

1
Sama sekali tidak tahu


5. Pendidikan nilai merupakan sikap yang tidak dapat di abaikan dalam setiap keluarga .
5
Sangat tahu

4
Tahu

3
Cukup tahu

 2
Kurang tahu

1
Sama sekali tidak tahu


II.          Pengertian tentang nilai.
1.    Saya mengerti bahwa nilai sangat penting dalam perkembangan kepribadian anak.

5
Sangat mengerti

4
Mengerti

3
Cukup mengerti

2
Kurang mengerti

1
Sangat tidak mengerti


2.    Saya sangat paham apa itu nilai.
5
Sangat paham

4
Paham

3
Cukup paham

2
Kurang paham

1
Sangat tidak paham


3.    Tindakan sehari-hari dalam keluarga adalah nilai yang terwujud. Pengetahuan saya tentang ini.
5
Sangat tahu

4
Tahu

3
Cukup Tahu

2
Kurang Tahu

1
Sangat tidak tahu



4.    Nilai terlihat jelas di dalam perilaku atau sikap di keluarga saya.
5
Sangat jelas

4
Jelas

3
Cukup jelas

2
Kurang jelas

1
Sangat tidak jelas


5.    Kehadiran saya di rumah sangat berpengaruh mendorong saya untuk menunjukkan nilai-nilai yang baik.
5
Sangat berpengaruh

4
Berpengaruh

3
Cukup berpengaruh

2
Kurang berpengaruh

1
Sangat tidak berpengaruh


III.          Strategi orang tua dalam menyelaraskan kebutuhan pendidikan anak.

1.    Strategi yang saya buat sangat berpengaruh bagi hidup saya dan  perkembangan sikap anak .
5
Sangat berpengaruh

4
Berpengaruh

3
Cukup berpengaruh

2
Kurang berpengaruh

1
Sangat tidak berpengaruh


2.    Saya mengerti strategi apa yang hendak saya ajarkan kepada anak demi perkembangan kepribadian dalam hidupnya. 
5
Sangat mengerti

4
Mengerti

3
Cukup mengerti

2
Tidak mengerti

1
Sangat tidak mengerti

3.    Saya sering mencari tahu strategi atau cara yang tepat untuk mendidik anak-anak demi perkembangn pendidikannya.
5
Selalu mencari

4
Mencari

3
Sering mencari

2
Jarang mencari

1
Tidak pernah mencari


4.    Kecenderungan pikiran saya untuk bersantai daripada memikirkan cara untuk mendidik anak.
5
Selalu cenderung

4
Cenderung

3
Cukup cenderung

2
Kadang-kadang cenderung

1
Tidak pernah cenderung


5.    Membaca banyak buku pendidikan mempengaruhi niat saya untuk meluangkan waktu untuk anak.
5
Sangat berpengaruh

4
Berpengaruh

3
Cukup berpengaruh

2
Kurang berpengaruh

1
Sangat tidak berpengaruh


IV.          Tantangan keluarga dalam mendidik anak.
1.    Terkadang saya sering melalaikan waktu saya untuk hal lain daripada besama dengan anak-anak.
5
Sangat sering

4
Sering

3
Cukup sering

2
Tidak sering

1
Sangat tidak sering


2.    Karena sibuk bekerja, saya sering tidak di rumah dan membiarkan anak belajar begitu saja tanpa ada yang membimbing dan mengajari mereka.
5
Sangat sering

4
Sering

3
Cukup sering

2
Tidak sering

1
Sangat tidak sering


3.    Saya kadang tidak memiliki waktu khusus untuk ngobrol bersama dengan anak-anak membahas pelajaran atau bercerita bersama.
5
Sangat memiliki

4
Memiliki

3
Cukup memiliki

2
Tidak memiliki

1
Sangat tidak memiliki


4.    Sedikit kesempatan saya luangkan bersama anak sangat mempengaruhi pertumbuhannya hidupnya.
5
Sangat berpengaruh

4
Berpengaruh

3
Cukup berpengaruh

2
Kurang berpengaruh

1
Sangat tidak berpengaruh


5.    Mungkinkah setiap ada kesempatan saya bersama anak mempengaruhi kehidupan mereka menjadi lebih baik.
5
Sangat mungkin

4
Mungkin

3
Cukup mungkin

2
Sedikit ada kemungkinan

1
Sama sekali tidak mungkin

V.          Peran keluarga dalam mendidik.
1.    Saya selalu bertanggung jawab atas perkembangan hidup anak saat kapanpun dan sesibuk apapun.
5
Sangat bertanggung jawab

4
Bertanggung jawab

3
Cukup bertanggung jawab

2
Kurang bertanggung jawab

1
Sangat tidak bertanggung jawab


2.    Saya mengetahui apa kekurangan yang di emban oleh anak dalam mewujudkan kematangan hidupnya seterusnya.
5
Sangat tahu

4
Tahu

3
Cukup tahu

2
Kurang tahu

1
Sama sekali tidak tahu


3.    Saya sungguh memahami apa yang harus saya lakukan untuk keperluan anak di dalam keluarga.
5
Sangat berpengaruh

4
Berpengaruh

3
Cukup berpengaruh

2
Kurang berpengaruh

1
Sangat tidak berpengaruh


4.    Nilai-nilai selalu saya perjuangkan demi kebutuhan keluarga dan untuk modal anak dalam belajar pada tingkat yang lebih dewasa demi kematangan hidupnya.
5
Sangat diperjuangkan

4
Diperjuangkan

3
Cukup diperjuangkan

2
Tidak diperjuangkan

1
Sangat tidak diperjuangkan


5.    Saya sering belajar terlebih dahulu sebelum mendampingi atau bergabung bersama anak demi perkembangan pendidikannya.
5
Sangat sering

4
Sering

3
Cukup sering

2
Tidak sering

1
Sangat tidak sering






Daftar Pustaka

Aoer Cyprianus. Masa Depan Pendidikan Nasional (tanpa tempat, dan penerbit), 2005 .
Driyarkara, Nicolaus. Percikan  Filsafat.Jakarta: Pembangunan, 1978.
Sindhunata. (ed.) Membuka Masa Depan Anak-Anak Kita: Mencari Kurikulum Pendidikan Abad XXI.Yogyakarta: Kanisius, 2000.
Supratiknya, A.  Menggugat Sekolah: Kumpulan Esai Tentang Psikologi dan Pendidikan. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma, 2011.
Seri Dokumen Gerejawi No.34. Surat Kepada Keluarga-Keluarga Dari Paus Yohanes Paulus II . Departemen Dokumentasi Dan Penerangan KWI. Jakarta: 1994.
Sinode VI Keuskupan Agung Medan. Keluarga Katolik sebagai gereja Kecil. Pematangsiantar:Sekretariat Sinode VI, 2016.
Seri Dokumen Gerejawi no. 33. Kedamaian Dan Keluarga.  Departemen Dokumentasi Dan Penerangan KWI. Jakarta: 1994.
Sardy, Martin. Mencari Identitas Pendidikan. Bandung: Alumni,1981.
Mangunwijaya,Y.B.  Mendidik Manusia Merdeka.Yogyakarta: Interfidei,1995.
B.W. Johnson, Susan dan Anderson, Herbert.  Regarding Children.Medan: Bina Media,2003.


[1] Cyprianus Aoer, Masa Depan Pendidikan Nasional ([tanpa tempat, dan penerbit],2005 ), hlm. xxxix-xI.
[2] Cyprianus Aoer, Masa ..., hlm. xI.
[3] Cyprianus Aoer, Masa ..., hlm. xIi.
[4] Cyprianus Aoer, Masa ..., hlm. xIi.

[5] Cyprianus Aoer, Masa ..., hlm. xIi.
[6] Sindhunata (ed.), Membuka Masa Depan Anak-Anak Kita: Mencari Kurikulum Pendidikan Abad XXI (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hlm. 116. 
[7] Sindhunata (ed.), Membuka ..., hlm. 116.
[8] Surat Kepada Keluarga-Keluarga Dari Paus Yohanes Paulus II ( Jakarta: Departemen Dokumentasi Dan Penerangan KWI, 1994), no.16. hlm. 55.
[9]  Surat Kepada ..., hlm. 58.
[10] Seksualitas adalah ada dan cara berada manusia  secara menyeluruh yang ada padanya.
[11] A.Supratiknya, Menggugat Sekolah: Kumpulan Esai Tentang Psikologi dan Pendidikan (Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma, 2011), hlm. 25-26.
[12] Nicolaus Driyarkara, Percikan Filsafat (Jakarta: Pembangunan, 1978), hlm. 104.
[13] Cyprianus Aoer, Masa ..., hlm. xIi-xIii.
[14] Cyprianus Aoer, Masa ..., hlm. xIii.
[15] A.Supratiknya, Menggugat Sekolah..., hlm. 6.
[16] A.Supratiknya, Menggugat Sekolah..., hlm. 7.
[17] A.Supratiknya, Menggugat Sekolah..., hlm. 7.
[18] A.Supratiknya, Menggugat Sekolah..., hlm. 3.
[19] A.Supratiknya, Menggugat Sekolah..., hlm. 4.
[20] A.Supratiknya, Menggugat Sekolah..., hlm. 5.
[21] A.Supratiknya, Menggugat Sekolah..., hlm. 32.
[22] A.Supratiknya, Menggugat Sekolah..., hlm. 34-35.
[23] A.Supratiknya, Menggugat Sekolah..., hlm. 35.
[24] A.Supratiknya, Menggugat Sekolah..., hlm. 13-14.
[25] A.Supratiknya, Menggugat Sekolah..., hlm. 14-15.
[26] A.Supratiknya, Menggugat Sekolah..., hlm. 28-30.
[27]  Herbert  Anderson dan Susan B.W. Johnson, Regarding Children(Medan: Bina Media,2003), hlm. 84.
[28] A.Supratiknya, Menggugat Sekolah..., hlm. 13.
[29] A.Supratiknya, Menggugat Sekolah..., hlm. 13.
[30] Sinode VI Keuskupan Agung Medan, Keluarga Katolik sebagai gereja Kecil (Pematangsiantar:Sekretariat Sinode VI, 2016), hlm. 229.
[31] Seri Dokumen Gerejawi no. 33, Kedamaian Dan Keluarga ( Jakarta: Departemen Dokumentasi Dan Penerangan KWI, 1994), no. 2. hlm. 9.
[32] Seri Dokumen Gerejawi No. 34, Surat Kepada Keluarga-Keluarga Dari Paus Yohanes Paulus Ke II (Jakarta: Departemen Dokumentasi Dan Penerangan KWI, 1994), No. 17. Hlm. 61.
[33] Martin Sardy, Mencari Identitas Pendidikan(Bandung: Alumni,1981), hlm. 23.
[34] Y.B. Mangunwijaya, Mendidik Manusia Merdeka(Yogyakarta: Interfidei,1995), hlm. 268.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar