PERAN KELUARGA DALAM PENDIDIKAN NILAI BAGI
ANAK
oleh
(Leo Dede Permana Bukit)
BAB
I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Pendidikan
nilai selalu berawal mula dari pengalaman hidup sehari-hari. Pengalaman hidup
menyentuh seluruh pribadi manusia, bukan saja otaknya. Perasaan tergugah dan
kehendak serta aspirasi diarahkan untuk melakukan sesuatu. Pengalaman nyata
dianggap dari segala segi, dianalisis dan dinilai, dikomentari sambil berpegang
kepada paham dan nilai iman, pengalaman mengajak peserta didik untuk menarik
satu kesimpulan penting, yaitu menerima dan berpihak kepada paham dan nilai
yang dianuti. Dengan kesimpulan itu peserta didik berusaha menerapkan paham dan
nilai yang telah diyakini dan diterima itu.[1]
Pendidikan
nilai menurut keyakinan agama dan budaya menjadi lebih penting lagi, karena di
dalam masyarakat beredar sekian banyak paham dan nilai yang kurang sejalan,
bahkan bertolak belakang dan bertentangan dengan paham dan nilai yang ingin
dikembangkan. Paham dan nilai itu disajikan dan dipertontonkan dengan cara yang
sangat menarik oleh prilaku kalangan tertentu, khususnya yang disebut “selebritis”,
dan oleh media massa. Adegan dan juga dialog serta kelakar yang ditayangkan di
dalam film-film dan acara TV. Para anak atau pendidik yang serius akan sangat
sedih. Paham dan nilai yang dengan susah payah dikembangkan melalui pendidikan,
dihancurkan oleh perilaku selebritis dan tayangan-tayangan TV serta sajian
media lainnya. Pengalaman paham dan nilai kemanusiaan yang luhur sudah
berkurang di dalam masyarakat luas. Karena, duniapendidikan harus lebih
bersungguh-sungguh dan mengupayakan pendidikan nilai.[2]
Melalui
pendidikan nilai daya tahan generasi muda ditingkatkan. Dengan demikian mereka
dapat menentukan sikap hidupnya sendiri, tanpa terombang-ambing oleh paham dan
nilai yang ditawarkan berbagai pihak. Melarang perilaku dan adegan yang
ditayangkan atau disajikan media massa misalnya, tidak banyak bermanfaat. Lebih
baik ditingkatkan kemampuan kritis dan ketangguhan hati nurani generasi muda
untuk menganalisis serta menilai apa yang disajikan berdasarkan paham dan nilai
keagamaan dan kebudayaan yang dianuti. Apresiasi atau tafsir budaya terhadap
hal-hal yang disajikan, berdasarkan paham dan nilai yang dianuti, akan memperkuat
keyakinan generasi muda akan paham dan nilai yang dianuti.[3]
Sehubungan
dengan pendidikan nilai sangat penting peran keluarga didalamnya. Di atas
dikatakan bahwa pendidikan nialai selalu berpangkal tolak dari pengalaman dan
mengarah kepada pengalaman. Tanpa mengucapkan banyak kata dan membeberkan seluk
beluk ajaran dan teori, di dalam keluarga terjadi secara sepontan
pengalaman-pengalaman bersama, yang menggugah bukan saja nalar, tetapi juga
imajinasi, ingatan, perasaan dan kehendak manusia. Pengalaman bersama dibagi
dan dikaji serta ditafsir bersama. Paham dan nilai yang terkandung di dalam
pengalaman, diresapi, dihayati dan diamalkan bersama.[4]
Di
dalam keluarga kesabaran, sikap ramah, tenggang-rasa, dan lain-lain tidak
diajarkan dengan kata-kata, tetapi dengan teladan, dengan pengalaman yang
diperoleh dalam pergaulan hidup keluarga sehari-hari. Pengalaman membuka mata
orang, dan pengalaman mengajak orang untuk bertindak. Dari seorang ibu yang
serba sabar, ayah dan anak-anak belajar menghargai kesabaran dan berusaha untuk
juga sabar. Dari seorang ayah yang tegas dalam pendirian tetapi supel dalam
menerapkan pendirian, anak-anak belajar memiliki pendirian, tetapi bijaksana
menerapkan pendirian tersebut. Tentu saja pengalaman dan pengamalan paham dan
nilai di dalam keluarga mengandaikan keluarga itu benar-benar memiliki, dan
berpegang teguh kepada paham dan nilai tertentu. Kecuali itu harus ada iklim
yang serasi antara anggota keluarga. Ada saling memberi dan menerima, saling
menghormati dan melayani, dan yang paling penting ada komunikasi timbal balik
yang enak di dalam suasana keakraban keluarga.[5]
Pendidikan
sebagai syarat utama bagi manusia sesungguhnya telah menjadi sarana atau alat
bagi manusia selama berabad-abad. Sejak awal keberadaannya, pendidikan telah
dijadikan sebagai alat menyalurkan ilmu pengetahuan, alat pembentuk watak, alat
pelatihan keterampilan, alat mengasah otak, alat meningkatkan proses
pengerjaan, alat investasi, alat konsumsi, alat menanamkan nilai moral dan
agama, alat pembentuk kesadaran bangsa, alat meningkatkan taraf ekonomi, alat
mengurangi kemiskinan, alat mengangkat status sosial, alat menguasai teknologi,
alat menguak rahasia alam raya dan manusia, alat menciptakan keadilan sosial,
alat pemanusiaan, alat pembebasan dan lain sebagainya.[6]
Ditilik dari hubungan tanggung jawab terhadap
anak, maka tanggung jawab pendidikan pada dasarnya tidak bisa dibebankan
seluruhnya kepada guru dan pemimpin umat. Dengan kata lain, tanggung jawab
pendidikan yang dipikul oleh para pendidik selain orang tua adalah merupakan
pelimpahan dari tangung jawab orang tua yang karena satu dan lain hal tidak
mungkin melaksanakan pendidikan anaknya secara sempurna. Pendidikan dalam
keluarga adalah pendidikan yang bermutu dalam menentukan masa depan anak. Tentu
saja dengan pengertian bahwa keluarga itu memenuhi syarat dalam membangun
pendidikan yang berkualitas. Dalam kondisi yang kurang lebih sama, tidak ada
tempat “persemaian” anak yang lebih baik selain dalam keluarga. Bahkan dalam
kondisi yang kurang ideal, keluarga masih bisa menjadi tempat pendidikan yang
lebih luhur. Dengan demikian, peran orang tua sangat berperan penting dalam,
memberikan pemahaman yang baik dan berkualitas kepada anak.
[7]
Tentang
isi pendidikan, salah satu dokumen Gerejawi mengatakan, bahwa pendidikan
merupakan suatu proses unik, untuk mana persatuan timbal balik pribadi-pribadi
sangatlah penting. Pendidik adalah seorang pribadi yang “melahirkan” dalam arti
rohani. Dari sudut pandang ini, mengasuh anak dapat dianggap sebagai suatu
kerasulan yang sejati. Mendidik anak merupakan suatu sarana komunikasi yang
hidup, yang bukan hanya menciptakan suatu hubungan yang mendalam antara
pendidik dengan orang yang dididik, tetapi juga membuat mereka berdua ikut
ambil bagian dalam kebenaran dan kasih, tujuan terakhir, ke arah mana setiap
orang dipanggil oleh Allah Bapa, Putera, dan Roh Kudus.[8]
Peroses
pendidikan pada akhirnya menuju ke tahap pendidikan diri sendiri, yang terjadi
bila seorang individu, sesudah mencapai suatu tingkat tertentu dari tingkat
tertentu dari kematangan rohaniah-jasmaniah, mulai “mendidik diri sendiri atas
kehendaknya sendiri”. pada suatu waktu, pendidikan diri sendiri akan jauh
melampauihasil-hasil terdahulu, yang telah diperoleh lewat proses pendidikan,
yang akan tetap berakar di dalamnya. Seorang anak remaja dihadapkan pada
orang-orang baru dan lingkungan baru, khususnya para guru dan teman-teman
sekelas, yang memberikan pengaruh pada kehidupannya, yang dapat membantu ataupun
merugikannya. Pada tahap ini dia akan sedikit menjauhkan diri dari pendidikan
yang diterimanya dalam keluarga, bahkan kadang-kadang mengambil suatu sikap
kritis terhadap orang tuanya. Meskipun begitu, proses pendidikan diri sendiri
mau tak mau akan ditandai oleh pengaruh pendidikan yang diberikan oleh keluarga
dan sekolah pada anak-anak dan kaum remaja. Bila mereka menjadi dewasa dan
sudah menjalani jalan hidup mereka sendiri, kaum muda tetap akan erat
berhubungan dengan akar dari keberadaan mereka.[9]
Peranan
yang tidak dapat digantikan dari pendidikan di dalam keluarga adalah memberikan
pendidikan agama kepada anak yang memungkinkan keluarga berkembang menjadi
suatu Gereja keluarga. Pendidikan agama yang dimaksud tentu saja mencakup unsur
pengetahuan iman yang bersifat objektif, meliputi pengetahuan tentang
kelembagaan kebaktian kepada Tuhan dalam aspeknya yang resmi berupa aneka
peraturan, hukum, Kitab Suci beserta tafsirnya; serta unsur-unsur yang disebut
religiositas, yaitu aspek dalam lubuk hati. Secara khusus, unsur kedua
merupakan tanggung jawab khas pendidikan di dalam keluarga. Seperti dinyatakan
dalam dokumen Gereja Katolik, orang tua harus penuh kepercayaan dan keberanian
membina anak-anak mereka mengamalkan nilai-nilai hakiki kehidupan manusiawi, menumbuhkan
kesadaran akan keadilan dan cinta kasih yang sejati, serta memberikan latihan
dalam hal keutamaan-keutamaan sosial, termasuk memberikan pendidikan seksualitas[10]
secara jelas. Bukan berarti pendidikan keluarga tidak perlu memperhatikan unsur
objektif pendidikan agama maupun
pendidikan dalam aspek-aspek kepribadian lainnya melainkan keluarga tetap
bertanggung jawab atas seluruh pendidikan anak-anaknya.[11]
1.1
Perumusan
Masalah
Pada
umumnya pendidikan dalam rumah tangga tidak bertolak dari kesadaran dan pengertian
yang lahir dari pengetahuan mendidik, melainkan karena secara kodrati, suasana
dan strukturnya memberikan kemungkinan alami membangun situasi pendidikan.
Situasi pendidikan itu terwujud berkat adanya pergaulan yang mempengaruhi
secara timbal balik antara orang tua dan anak. Orang tua berperan sebagai
pembentuk pribadi anak lewat interaksi interpersonal sehingga pola tingkah laku
anak akan ditentukan oleh bagaimana orang tua mengasuhnya. [12]
Sayang pola hidup keluarga-keluarga “modern” yang anggota-anggotanya
memiliki kesibukan dan pekerjaan masing-masing sering tidak menunjang iklim
yang dibutuhkan untuk dapat berkomunikasi dan berinteraksi. Bila ingin
memelihara suasana keakraban, di mana ada interaksi dan komunikasi,
keluarga-keluarga harus bersedia menyusun jadwal, dengan melowongkan waktu
untuk bersama-sama melakukan, menghayati, mengamalkan bahkan menikmati sesuatu.
Di dalam kebersamaan paham dan nilai dipertukarkan, dihayati dan diamalkan.[13]
Karena
kesibukan, orangtua sering menyerahkan seluruh pendidikan anak ke tangan para
pendidik dan pengasuh di sekolah. Hal ini tidak tepat. Tugas mendidik, apalagi
membina paham dan nilai menjadi sikap, kepribadian dan watak merupakan tugas
orang yang sudah melahirkan anak, dengan kata lain tugas orangtua. Memang tidak
semua tugas pendidikan dapat diemban dengan baik oleh orangtua. Untuk itu
diciptakan lembaga-lembaga pendidikan. Akan tetapi, tidak boleh orang tua
“lepas tangan” seluruhnya dalam urusan membesarkan dan mendewasakan anak. Kerja
sama dengan pihak sekolah dan lembaga pendidikan sangat baik dan dianjurkan, akan
tetapi tidak boleh seluruh tugas mendidik dilimpahkan kepada sekolah\lembaga
pendidikan.[14]
Oleh
karena itu, berdasarkan masalah di atas, penulis mempertajam masalah itu dengan
pertanyaan-pertanyaan berikut:
1.
Bagaimana pengaruh pendidikan nilai bagi
perilaku anak ?
2.
Apa yang dimaksud dengan nilai?
3.
Apa strategi orangtua dalam
menyelaraskan kebutuhan pendidikan anak?
4.
Apa tantangan keluarga dalam mendidik
anak ?
5.
Apa
peran keluarga dalam mendidik?
Berdasarkan rumusan tersebut, penulis
memberi batasan tulisan ini dalam judul: PERAN KELUARGA DALAM PENDIDIKAN NILAI BAGI
ANAK DI STASI LARAS II PAROKI BATU LIMA.
1.2 Tujuan
Penelitian
Penelitian
ini bertujuan untuk:
1) mengetahui
apakah orangtua mampu menerapkan pendidikan nilai kepada anak mereka.
2) Mengetahui,
apakah nilai sangat mempengaruhi sikap anak dalam keluarga.
3) mengetahui
apakah strategi atau cara yang dibuat oleh orangtua berpengaruh dalam
perkembangan pendidikan anak.
4) mengetahui
apakah tantangan yang dialami oleh orangtua berpengaruh dalam perkembangan
sikap anak.
5) mengetahui
apakah orangtua sungguh berperan dalam mendidik anak dalam keluarga.
1.3 Signifikansi
Penelitian
Penelitian ini mau menunjukan bahwa
pendidikan nilai merupakan suatu yang
sangat penting bagi seorang anak. Karena pendidikan nilai merupakan salah satu
proses memanusiakan manusia (humanisasi). Orang tua memiliki peran yang sangat
penting dalam hal ini, karena dalam keluargalah iman dan nilai itu berkembang,
sebab keluarga adalah tempat pendidikan awal bagi anak.
Dalam penelitian ini, penulis ingin
mengajak pembaca dan orang tua/keluarga menyadari bahwa pendidikan nilai itu
sangat penting bagi perkembangan sikap serta keperibadian anak dalam
menjungjung tinggi nilai-nilai yang ada dalam diri anak yang diwariskan oleh
lingkup keluarga yaitu orang tua sendiri.
1.4
Kegunaan Penelitian
Penelitian
yang penulis lakukan ini mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi penulis sendiri,
maupun bagi para pembaca atau pihak lain yang berkepentingan.
1)
Manfaat
Akademis
Penelitian ini erat
hubungannya dengan mata kuliah Metodologi Penelitian Statistik, sehingga dengan
melakukan penelitian ini, diharapkan penulis dan semua pihak yang
berkepentingan dapat lebih memahaminya.
Dan
serta untuk lebih mengetahui secara dalam mengenai pendidikan nilai.
1.5 Sistematika Penulisan
Penelitian ini terdiri atas tiga bab,
yakni bab I sebagai pendahuluan yang berisikan latar belakang masalah, perumusan
masalah, tujuan penelitian, signifikansi penelitian, kegunaan penelitian dan
sistematika penulisan.
Dalam bab II penulis akan menguraikan secara
kepustakaan tentang pendidikan nilai, nilai, strategi keluarga dalam mendidik, tantangan
keluarga dalam mendidik anak, peran keluarga dalam mendidik anak, definisi
oprasional dan hipotesis. Tujuannya ialah untuk memahami makna dari pendidikan
nilai serta pemahaman dasar dari pendidikan.
Dalam bab III penulis memaparkan lampiran
yang berisi data responden dan kuesioner penelitian.
BAB
II
1.
Tinjauan
Pustaka
1.1 Pendidikan Nilai
Penulis
mengutip dari buku Menggugat Sekolah oleh A. Supratiknya, yang menguraikan
bahwa, pendidikan nilai adalah penanaman dan pengembangan nilai-nilai dalam
diri seseorang, khususnya anak-anak dan kaum muda. Pendidikan nilai juga
mencakup usaha menyandarkan anak-anak dan kaum muda tentang nilai-nilai yang
terkandung dalam situasi dan hal-hal nyata yang mereka hadapi, menjelaskan arti
konkret dari nilai-nilai itu, serta memahami implikasi dari pembatinan
nilai-nilai tersebut kedalam kehidupannya. Usaha ini dapat dilakukan secara
sadar terancam dalam bentuk perogram kegiatan khusus, atau lebih sebagai salah
satu dimensi dari seluruh usaha pendidikan baik di dalam keluarga, sekolah, dan
ditengah masyarakat luas lewat berbagai sumber dan sarana. Tujuan pendidikan
nilai pada akhirnya adalah menolong anak dan kaum muda agar mampu mandiri dalam
menjalani hidup secara efektif, mampu memerintah dirinya sendiri secara tepat
dan bertanggung jawab. Pendidikan nilai
sebagai suatu gerakan seperti kita kenal sekarang muncul pada awal dasawarsa
delapan puluhan, diperakarsai oleh sekelompok pemikir-praktis pendidikan di
Eropa yang memiliki kepedulian mendalam untuk mempersiapkan kaum muda memasuki
abad kedua puluh satu.[15]
Berbagai
pendekatan atau metode pendidikan nilai pada dasarnya dapat digolongkan menjadi
tiga kategori, yakni pendekatan yang bersifat indoktrinatif-koersif-heteronomik,
pendekatan yang bersifat eksperiensal-liberal-autonomik, dan kombinasi antara
keduanya. Dalam pendekatan yang bercorak indoktrinatif-koersif-heteronomik,
nilai-nilai diajarkan, ditanamkan,bahkan dipaksakan secara langsung lewat
berbagai bentuk pengulangan secara mekanistik oleh suatu agen-autoritatif
eksternal.[16]
Dalam
metode ganjaran dan hukuman, orang tua membentuk tingkah laku anak dengan cara
memberinya ganjaran atas perbuatan yang dipandang mencerminkan nilai-nilai yang
sedang diajarkan atau memberinya hukuman atas kegagalan menunjukkan perbuatan
yang diharapkan atau karena telah melakukan perbuatan yang dipandang
mencerminkan kebaikan dari nilai-nilai yang sedang diajarkan. Bahaya dari
pendekatan ini ialah bahwa anak gagal membatinkan nilai-nilai yang sedang
ditanamkan, bahkan justru bisa menjadi tergantung pada sanksi-sanksinya.
Akibatnya, anak hanya mau bertingkah laku sebagaimana diharapkan jika diberi
hadiah serta akan segera melupakannya apabila harapan mendapatkan hadiah atau
ancaman mendapatkan hukuman tidak ada lagi.[17]
1.2 Nilai
Nilai
merupakan suatu kepercayaan yang bersifat preskriptif atau sebaliknya
proskriptif. Artinya, kepercayaan bahwa sesuatu hal adalah benar atau
seyogyanya dilakukan, dikejar, atau dimiliki. Bisa pula, kepercayaan bahwa
sesuatu hal adalah tidak benar atau seyogyanya tidak dilakukan, tidak dikejar
atau tidak dimiliki. Sebagai kepercayaan, nilai meliputi komponen-komponen
kognitif, afektif, dan psikomotor atau behavioural. Komponen kognitif berupa
konsepsi atau pengertian seseorang tentang hal yang dipandangnya benar atau
pantas dilakukan sehingga dengan bebas dia memilihnya dari berbagai alternatif
dan telah menyadari serta mempertimbangkan berbagai konsekuensinya. Komponen
afektif adalah perasaan menghargai pilihannya, yaitu merasa senang dengan
pilihannya itu sehingga mau menegaskan atau mengakuinya di muka umum.[18]
Komponen
psikomotor atau behavioral adalah kerelaan seseorang untuk bertindak demi apa
yang telah dipilihnya dan tindakan itu akan diulang-ulang sehingga membentuk
pola tingkah laku. Apa yang dipercaya sebagai yang benar atau pantas di kejar
tersebut bisa berupa hal-hal konkret yang secara objektif-kontekstual bernilai,
diberi nilai, atau dipandang bernilai. Hal-hal konkret tersebut bisa berupa
barang, bisa berupa pengalaman atau perasaan.[19]
Nilai-nilai
tertanam, terbatinkan, atau berkembang dalam diri seseorang lewat proses
belajar yang disebut sosialisasi, khususnya selama masa kanak-kanak di dalam
keluarga. Sesudah dipelajari, nilai-nilai akan diintegrasikan ke dalam suatu
tata atau sistem nilai bersama nilai-nilai lainnya, masing-masing nilai disusun
atau diurutkan dalam sejenis hirarki atau skala prioritas tertentu.[20]
1.3 Strategi Keluarga dalam Mendidik
Tentu
ada banyak strategi yang perlu dan bisa ditempuh oleh orang tua, para pendidik
di dalam keluarga, untuk menumbuhkan aneka modal atau kemampuan baru dalam diri
putera-puteri mereka, dalam rangka mendampingi mereka menjadi manusia sekaligus
orang kristen yang urtuh dan seimbang. Strategi yang dimaksud juga perlu
ditempuh oleh putera-puteri sendiri, khususnya mereka yang sudah menginjak usia
remaja-dewasa-muda. Semua harus dimulai dari diri sendiri.[21]
Adapun
strategi itu adalah, komunikasi, solidaritas danlainya. Komunikasi , usaha ini
bisa dimulai dengan menunjukkan dan menumbuhkan sikap saling menghormati dan
saling mempercayai. Langkah selanjutnya adalah mengembangkan kebiasaan dan
keterampilan dialog, baik dialog secara eksplisit dengan bertukar
pikiran-perasaan tentang diri masing-masing lewat kata-kata, maupun secara
implisit lewat pemberian contoh teladan orang tua menyangkut pelaksanaan aneka
nilai dan keutamaan seperti kejujuran, keadilan, sikap menghormati perbedaan, dan
sebagainya. Salah satu bentuk keterampilan komunikasi lain yang juga perlu
dikembangkan adalah kemampuan mendengar secara aktif, yaitu memahami arti
ungkapan pikiran-perasaan sebagaimana dimaksud oleh pengirim pesan dan
menanggapinya berdasarkan pemahaman tersebut, bukan menanggapi berdasarkan
reaksi pikiran dan perasaan kita sendiri. suasana komunikasi yang terbuka di
dalam keluarga juga dapat menjadi sarana yang baik bagi pendidikan seksualitas.
Baik lewat penmberian informasi yang benar maupun lewat teladan pelaksanaan
peran sebagai lelaki-ayah atau perempuan-ibu anak-generasi muda dapat belajar
mengembangkan pengertian yang benar dan apresiasi terhadap peran laki-laki dan
perempuan, proses reproduksi, serta nilai-nilai perkawinan dan keluarga.[22]
Lewat
solidaritas, sikap solider ini dapat ditumbuhkan lewat pemberian tanggung jawab
atau berbagai tugas pekerjaan bersama sehari-hari di rumah kepada setiap
anggota keluarga sesuai kemampuan masing-masing. Kehadiran mesin peralatan dan
pembantu rumah tangga tidak boleh menutup kesempatan untuk melatih setiap
anggota keluarga khususnya anak-anak belajar bertanggung jawab dan terampil
melaksanakan aneka tugas bersama betapa pun kecil atau sederhana. Kemampuan
menghargai perbedaan menyangkut sifat dan bakat serta kesediaan menolong dan
mengatasi berbagai kesulitan, khususnya terhadap anggota keluarga yang paling
lemah, juga perlu ditumbuhkan.[23]
1.4
Tantangan
Keluarga Dalam Mendidik Anak
Banyak
pengamat menyatakan bahwa salah satu masalah serius yang sedang dialami oleh
banyak keluarga modern adalah berkurangnya kesempatan keluarga, yaitu ayah ibu
dan anak, untuk berkumpul, berkomunikasi bersama. Dari pihak orang tua
penyebabnya adalah kesibukan bekerja. Karena tuntutan kebutuhan ekonomi
keluarga atau kebutuhan akan aktualisasi-diri bagi ayah ibu sendiri atau
lebih-lebih karena mencuatnya nilai-nilai materialistik-pekuniarik (dari kata
Latin pecunia, berarti uang) di
tengah masyarakat, ayah ibu cenderung menghabiskan lebih banyak waktu diluar
maupun di dalam rumah untuk bekerja atau melakukan aktivitas lain yang
bertujuan menghasilkan uang. Akibatnya, khususnya bagi anak-anak usia balita
sampai menjelang remaja, pembantu rumah tangga, televisi, dan bentuk-bentuk
media komunikasi hiburan lain baik cetak maupun elektronik telah menggeser
kedudukan ayah ibu sebagai agen sosialisasi yang lebih penting di lingkungan
rumah pada banyak keluarga modern.[24]
Dalam
banyak keluarga yang ayah ibunya bekerja, anak-anak usia balita cenderung lebih
fasih dengan ungkapan-ungkapan yang berasal dari budaya asal pembantu ketimbang
yang diajarkan oleh kedua orang tua mereka. Contoh lain adalah betapa anak-anak
sekarang lebih akrab dengan tokoh-tokoh heroik yang ditampilkan dalam serial
film di televisi atau dalam cerita-cerita bergambar popular impor yang sebagian
sesungguhnya merupakan iklan terselubung. Sebagian karena banyak orang tua
agaknya memang tidak lagi punya stok cerita maupun keterampilan dan waktu untuk
bercerita kepada anak-anaknya. Bagi anak-anak yang sudah menginjak remaja,
daftar agen sosialisasi pengganti itu masih ditambah dengan pusat-pusat
perbelanjaan modern dan produk-produk industri hiburan seperti diskotek, bar,
kafe, dugem yang memiliki daya pikat dan pengaruh yang diduga lebih besar
dibandingkan lembaga-lembaga tradisional yang biasa berfungsi sebagai agen
sosialisasi si luar rumah, seperti sekolah. Semua itu menjadikan tugas orang
tua dalam memberikan pendidikan nilai bagi anak menjadi terbengkalai dan berat.
Maka, hal yang perlu diusahakan oleh orang tua (dan anak-anak juga, khususnya
yang sudah menginjak remaja) adalah menyediakan lebih banyak waktu untuk
berkumpul bersama keluarga.[25]
Keluarga
inti sebagai persekutuan pribadi-pribadi yang saling mengingatkan diri dalam
perkawinan yang bersifat stabil atau
abadi mendapatkan tantangan hebat dari konsep keluarga longgar, yang didorong
oleh kemajuan di bidang teknologi komunikasi juga menimbulkan gejala yang
disebut urbanitas atau kelenturan-keluwesan dalam kehidupan keluarga. Menghadapi
semua perkembangan-kemajuan beserta aneka akibat buruk yang ditimbulkan
sebagaimana diuraikan di atas, maka pendidikan pada umumnya dan pendidikan anak
dalam keluarga khususnya dituntut mampu menumbuhkan sejumlah kemampuan baru.[26]
Keluarga
juga menjadi ajang pernyataan bahwa keamanan sebagai pertanda bahwa tempat
bernaung adalah dimungkinkan, untuk menanamkan tekad keberanian bahwa anak-anak
dan kaum dewasa dapat bertahan dari lingkungan yang tidak ramah dan bersahabat.
Sulit bagi keluarga untuk menjadi suatu tempat perlindungan bagi anak saat
dunia sedang dipenuhi kekerasan. Terlebih pula, kita hidup di dalam suatu
komunitas masyarakat yang menerima tingkat kekerasan yang tinggi sebagai ssuatu
yang normal. Penganiayaan fisik dan seksual terhadap anak-anak serta kekerasan
terhadap kaum perempuan merupakan sisa-sisa budaya patrialis. Rasa takut dan
curiga serta persepsi akan bahaya yang tak berkesudahan memberikan dampak yang
buruk bagi anak-anak. Inilah yang menjadi tantangan keluarga, yang sebetulnya
kegagalan keluarga menjadi tempat berlindung kadang-kadang mencerminkan
kegagalan komunitas masyarakat luas. Namun demikian kita tetap harus mengakui
bahwa keluarga telah menemui kegagalan saat anak-anak merasa takut untuk
menjadi dewasa.[27]
1.5
Peran
Keluarga Dalam mendidik Anak
Menurut
A. Supratiknya dalam bukunya yang berjudul Menggugat Sekolah, keluarga harus
tetap bertanggunga jawab atas seluruh pendidikan anak-anaknya, yang menghantar
mereka untuk mencapai kedewasaan penuh, mendampingi dalam pertumbuhan mereka
sebagai manusia secara utuh dan seimbang. Dan untuk bisa mengajarkan
nilai-nilai tersebut, orang tua sebagai pihak pengajar terlebih dahulu perlu
memahami, menyakini, dan menjalankan sendiri nilai-nilai yang hendak
diajarkannya itu. Dalam masyarakat kita yang cenderung mengagungkan pangkat dan
kekayaan, keseragaman, dan aneka bentuk primordialisme lain, serta penampilan
lahiriah, maka nilai-nilai seperti hormat kepada sesama, kemandirian,
kesetiakawanan,tulus, dan interioritas kiranya sungguh-sungguh terancam menjadi
“mutiara yang hilang”.[28]
Pendidikan
nilai dari orangtua kepada anak praktis tidak pernah atau sangat jarang
berlangsung secara khusus-sadar-formal, namun terintegrasikan serta meresap
secara tak sadar informal, langsung maupun tak langsung, seluruh bentuk wujud
interaksi antara orang tua dan anak dalam menjalankan tugas dan kewajiban hidup
sehari-hari. Hal ini mensyaratkan banyaknya waktu yang dipakai oleh orang tua
dan anak untuk berkumpul, berinteraksi, dan berkomunikasi untuk mempengaruhi
berlangsungnya pendidikan nilai bagi anak dalam keluarga.[29]
Menurut
Instrumentum Laboris Sinode ke enam KAM mengatakan bahwa, keluarga mempunyai
peran pertama dan utama dalam pengembangan masyarakat melalui kelahiran dan
pendidikan anak-anak. Keluarga adalah sel pertama dan vital bagi masyarakat.
Dalam keluarga anak diajari “memberi secara sukarela”, dalam keluarga anak
“dimanusiakan” dan “dibuat jadi seorang peribadi”, dalam keluarga nilai-nilai
dijaga dan disalurkan.[30]
Dokumen
gerejawi mengatakan, keluarga sebagai persekutuan pendidikan yang fundamental
dan esensial, yang merupakan sarana yang pertama dan paling istimewa untuk
mewariskan nilai-nilai agama dan budaya yang membantu manusia memperoleh
indentitasnya sendiri.[31]
Surat
kepada keluarga-keluarga dari Paus Yohanes Paulus ke dua mengatakan, keluarga
adalah suatu komunitas pribadi-pribadi
dan merupakan unit sosial yang paling kecil. Keluarga merupakan suatu lembaga
yang fundamental atau mendasar bagi setiap masyarakat.[32]
Dalam
buku Martin Sardy, Mencari Identitas Pendidikan, mengatakan bahwa keluarga
adalah pendidik pertama dan utama yang meletakkan dasar-dasar nilai moral dan
budaya kepada generasi mendatang. Keluarga sebagai dasar untuk mewujudkan nilai
itu dalam diri pribadi maupun kepada kelompok yang luas dalam masyarakat.[33]
Mendidik
manusia merdeka karya Romo Y.B. Mangunwijaya mengatakan bahwa keluarga
merupakan instansi utama dalam pembentukan anak-anak terutama dalam memperkuat
karakternya. Dengan memperhatikan sumbangan pemikiran dari ahli psikologi
persepsi kita tentang peroses perkembangan diri anak semakin meyakinkan.
Pertumbuhan anak secara badaniah maupun mental sangat membutuhkan atensi,
sentuhan langsung dari ibu dan bapaknya serta lingkungan orang-orang
pergaulannya yang memberikan kepastian yang serba menjamin dan suasana
dialogal, disinilah peran orang tua yang seharusnya perlu diperhatikan oleh
keluarga-keluarga yang ada. Bakat-bakat alam memang ada dalam diri anak,
termasuk alam keseluruhan manusia, kesempatan, pacuan, imbauan, suasana
bersemi, penderitaan, sakit, kekecewaan, kematian dan lain-lain yang melihat
kondisi hidupnya.[34]
2. Definisi Oprasional
1) Pendidikan nilai adalah penanaman nilai-nilai kepada
anak didik serta menunjukkan sikap yang secara langsung tidak diajarkan tetapi
dalam perakteknya sehari-hari orang tua atau keluarga sudah menunjukkan nilai
itu melalui sikap dan perbuatan yang dibuat dan dilakukan oleh oran tua dalam
dirinya yang dilihat oleh anak mereka. Dan dengan itu anak mampu menangkap
nilai yang diberikan atau ditawarkan oleh orang tua mereka masing-masing.
2) Nilai
adalah suatu sikap atau kepercayaan yang dimiliki oleh anak yang didalamnya
terdapat unsur kejujuran, keadilan, kesetiaan atau pun yang lainnya, yang
merupakan buah dari didikan orang tua bagi anak mereka. Sehingga nilai itu
sudah meresap kedalam diri anak secara tidak sadar anak sudah memiliki sikap
itu dalam dirinya melalui orang tua mereka.
3) Strategi
mendidik adalah tindakan atau usaha orang tua dalam mendidik anak-anak mereka
menuju kepada kematangan keperibadian anak yang lebih kepada sikap dan nilai
yang mau dituju oleh orang tua bagi anak. Hal ini merupakan menjadi tanggung
jawab orang tua demi perkembangan diri anak selanjutnya.
4) Tantangan
keluarga dalam mendidik anak adalah berupa kesibukan atau hal yang lebih diutamakan oleh kebanyakan orang tua,
yang mungkin secara ketidak tahuan orang tua, bahwa yang dilakukan itu tidaklah
tepat. Demi perkembangan ekonomi dalam rumah, banyak orang tua melalaikan
anaknya demi mendapatkan uang yang menjadi “perioritas utama”. Dengan demikian, tantangan
yang paling besar yang dihadapi oleh banyak keluarga atau orang tua adalah
kesibukan, yang dapat memperlambat perkembangan pendidikan anak secara tidak
langsung atau secara lambat.
5) Peran
keluarga dalam mendidik anak adalah sebagai yang pertama dalam mewujudkan sikap
serta perilaku baik bagi anak dan bertanggung jawab penuh atas anak yang mereka
lahirkan. Keluarga sebagai komunitas kecil yang merupakan alat untuk anak dalam menemukan jati
dirinya melalui teladan dan nilai-nilai yang ditunjukkan oleh orang tua kepada
anak. Dengan kata lain, keluarga merupakan dasar bagi pembentukan karakter anak
yang di dalamnya sudah termuat nilai, moral budaya dan hal lainnya, yang
membantu anak untuk berkembang lebih lanjut.
3. Hipotesis
Berdasarkan
tinjauan pustaka diatas, maka penulis mencoba untuk merumuskan hipotesis yang
akan diuji kebenarannya, apakah hasil penelitian akan menerima atau menolak
hipotesis tersebut, sebagai berikut:
1) Pendidikan
nilai sangat berpengaruh bagi perkembangan kepribadian anak untuk menghantarnya
kepada nilai-nilai kedewasaan dalam hidupnya.
2) Nilai
sangat mempengaruhi sikap anak dalam keluarga.
3) Strategi
yang dibuat oleh oran tua sangat mempengaruhi perkembangan pendidikan anak.
4) Keluarga
memiliki banyak tantangan dalam mendidik anak mereka, yang harus mengerti dan
berkemampuan untuk mendidik.
5) Keluarga
atau orang tua sangat berperan dalam
pembentukan sikap anak yang menghantar mereka kepada kedewasaan penuh, serta
mewariskan nilai-nilai didalamnya.
BAB III
LAMPIRAN
3.1 Kuesioner
KUESIONER
PENELITIAN
Data Responden:
Nama
|
|
Umur
|
|
Pekerjaan
|
|
Jenis Kelamin
|
Petunjuk!
Berilah tanda centang (√)
pada jawaban yang sesuai dengan pengalaman pribadi pada kolom yang sudah disediakan.
Misalnya:
v Pendidikan
nilai baik untuk diterapkan dimana-mana.
5
|
Sangat baik
|
|
4
|
Baik
|
√
|
3
|
Cukup baik
|
|
2
|
Kurang baik
|
|
1
|
Sama sekali tidak baik
|
I.
Pengetahuan
tentang pendidikan nilai.
1.
Saya mengerti apa itu Pendidikan nilai.
5
|
Sangat mengerti
|
|
4
|
Mengerti
|
|
3
|
Cukup mengerti
|
|
2
|
Kurang mengerti
|
|
1
|
Sama sekali tidak mengerti
|
2.
Dengan sikap dan tindakan yang tidak
langsung merupakan bagian dari pendidikan nilai. Pengetahuan saya tentang pernyataan
ini.
5
|
Sangat tahu
|
|
4
|
Tahu
|
|
3
|
Cukup tahu
|
|
2
|
Kurang tahu
|
|
1
|
Sama sekali tidak tahu
|
3.
Pendidikan nilai merupakan bagian dari pengajaran yang praktis tanpa kata-kata
dapat dilakukan. Pengetahuan saya tentang ini.
5
|
Sangat tahu
|
|
4
|
Tahu
|
|
3
|
Cukup tahu
|
|
2
|
Kurang tahu
|
|
1
|
Sama sekali tidak tahu
|
4. Pendidikan
nilai adalah penanaman dan pengembangan nilai-nilai dalam diri seseorang.
Pengetahuan saya tentang Pendidikan Nilai.
5
|
Sangat tahu
|
|
4
|
Tahu
|
|
3
|
Cukup tahu
|
|
2
|
Kurang kurang
|
|
1
|
Sama sekali tidak tahu
|
5. Pendidikan nilai merupakan sikap
yang tidak dapat di abaikan dalam setiap keluarga .
5
|
Sangat tahu
|
|
4
|
Tahu
|
|
3
|
Cukup tahu
|
|
2
|
Kurang tahu
|
|
1
|
Sama sekali tidak tahu
|
II.
Pengertian
tentang nilai.
1.
Saya mengerti bahwa nilai sangat penting
dalam perkembangan kepribadian anak.
5
|
Sangat mengerti
|
|
4
|
Mengerti
|
|
3
|
Cukup mengerti
|
|
2
|
Kurang mengerti
|
|
1
|
Sangat tidak mengerti
|
2. Saya
sangat paham apa itu nilai.
5
|
Sangat paham
|
|
4
|
Paham
|
|
3
|
Cukup paham
|
|
2
|
Kurang paham
|
|
1
|
Sangat tidak paham
|
3.
Tindakan sehari-hari dalam keluarga
adalah nilai yang terwujud. Pengetahuan saya tentang ini.
5
|
Sangat tahu
|
|
4
|
Tahu
|
|
3
|
Cukup Tahu
|
|
2
|
Kurang Tahu
|
|
1
|
Sangat tidak tahu
|
4.
Nilai terlihat jelas di dalam perilaku
atau sikap di keluarga saya.
5
|
Sangat jelas
|
|
4
|
Jelas
|
|
3
|
Cukup jelas
|
|
2
|
Kurang jelas
|
|
1
|
Sangat tidak jelas
|
5.
Kehadiran saya di rumah sangat
berpengaruh mendorong saya untuk menunjukkan nilai-nilai yang baik.
5
|
Sangat berpengaruh
|
|
4
|
Berpengaruh
|
|
3
|
Cukup berpengaruh
|
|
2
|
Kurang berpengaruh
|
|
1
|
Sangat tidak berpengaruh
|
III.
Strategi
orang tua dalam menyelaraskan kebutuhan pendidikan anak.
1.
Strategi yang saya buat sangat
berpengaruh bagi hidup saya dan perkembangan sikap anak .
5
|
Sangat berpengaruh
|
|
4
|
Berpengaruh
|
|
3
|
Cukup berpengaruh
|
|
2
|
Kurang berpengaruh
|
|
1
|
Sangat tidak berpengaruh
|
2.
Saya mengerti strategi apa yang hendak
saya ajarkan kepada anak demi perkembangan kepribadian dalam hidupnya.
5
|
Sangat mengerti
|
|
4
|
Mengerti
|
|
3
|
Cukup mengerti
|
|
2
|
Tidak mengerti
|
|
1
|
Sangat tidak mengerti
|
3.
Saya sering mencari tahu strategi atau
cara yang tepat untuk mendidik anak-anak demi perkembangn pendidikannya.
5
|
Selalu mencari
|
|
4
|
Mencari
|
|
3
|
Sering mencari
|
|
2
|
Jarang mencari
|
|
1
|
Tidak pernah mencari
|
4.
Kecenderungan pikiran saya untuk bersantai
daripada memikirkan cara untuk mendidik anak.
5
|
Selalu cenderung
|
|
4
|
Cenderung
|
|
3
|
Cukup cenderung
|
|
2
|
Kadang-kadang cenderung
|
|
1
|
Tidak pernah cenderung
|
5.
Membaca banyak buku pendidikan
mempengaruhi niat saya untuk meluangkan waktu untuk anak.
5
|
Sangat berpengaruh
|
|
4
|
Berpengaruh
|
|
3
|
Cukup berpengaruh
|
|
2
|
Kurang berpengaruh
|
|
1
|
Sangat tidak berpengaruh
|
IV.
Tantangan
keluarga dalam mendidik anak.
1.
Terkadang saya sering melalaikan waktu
saya untuk hal lain daripada besama dengan anak-anak.
5
|
Sangat sering
|
|
4
|
Sering
|
|
3
|
Cukup sering
|
|
2
|
Tidak sering
|
|
1
|
Sangat tidak sering
|
2.
Karena sibuk bekerja, saya sering tidak
di rumah dan membiarkan anak belajar begitu saja tanpa ada yang membimbing dan
mengajari mereka.
5
|
Sangat sering
|
|
4
|
Sering
|
|
3
|
Cukup sering
|
|
2
|
Tidak sering
|
|
1
|
Sangat tidak sering
|
3.
Saya kadang tidak memiliki waktu khusus
untuk ngobrol bersama dengan anak-anak membahas pelajaran atau bercerita bersama.
5
|
Sangat memiliki
|
|
4
|
Memiliki
|
|
3
|
Cukup memiliki
|
|
2
|
Tidak memiliki
|
|
1
|
Sangat tidak memiliki
|
4.
Sedikit kesempatan saya luangkan bersama
anak sangat mempengaruhi pertumbuhannya hidupnya.
5
|
Sangat berpengaruh
|
|
4
|
Berpengaruh
|
|
3
|
Cukup berpengaruh
|
|
2
|
Kurang berpengaruh
|
|
1
|
Sangat tidak berpengaruh
|
5.
Mungkinkah setiap ada kesempatan saya
bersama anak mempengaruhi kehidupan mereka menjadi lebih baik.
5
|
Sangat mungkin
|
|
4
|
Mungkin
|
|
3
|
Cukup mungkin
|
|
2
|
Sedikit ada kemungkinan
|
|
1
|
Sama sekali tidak mungkin
|
V.
Peran
keluarga dalam mendidik.
1.
Saya selalu bertanggung jawab atas
perkembangan hidup anak saat kapanpun dan sesibuk apapun.
5
|
Sangat bertanggung jawab
|
|
4
|
Bertanggung jawab
|
|
3
|
Cukup bertanggung jawab
|
|
2
|
Kurang bertanggung jawab
|
|
1
|
Sangat tidak bertanggung jawab
|
2.
Saya mengetahui apa kekurangan yang di
emban oleh anak dalam mewujudkan kematangan hidupnya seterusnya.
5
|
Sangat tahu
|
|
4
|
Tahu
|
|
3
|
Cukup tahu
|
|
2
|
Kurang tahu
|
|
1
|
Sama sekali tidak tahu
|
3.
Saya sungguh memahami apa yang harus
saya lakukan untuk keperluan anak di dalam keluarga.
5
|
Sangat berpengaruh
|
|
4
|
Berpengaruh
|
|
3
|
Cukup berpengaruh
|
|
2
|
Kurang berpengaruh
|
|
1
|
Sangat tidak berpengaruh
|
4.
Nilai-nilai selalu saya perjuangkan demi
kebutuhan keluarga dan untuk modal anak dalam belajar pada tingkat yang lebih
dewasa demi kematangan hidupnya.
5
|
Sangat diperjuangkan
|
|
4
|
Diperjuangkan
|
|
3
|
Cukup diperjuangkan
|
|
2
|
Tidak diperjuangkan
|
|
1
|
Sangat tidak diperjuangkan
|
5.
Saya sering belajar terlebih dahulu
sebelum mendampingi atau bergabung bersama anak demi perkembangan pendidikannya.
5
|
Sangat sering
|
|
4
|
Sering
|
|
3
|
Cukup sering
|
|
2
|
Tidak sering
|
|
1
|
Sangat tidak sering
|
Daftar
Pustaka
Aoer Cyprianus. Masa Depan Pendidikan Nasional (tanpa
tempat, dan penerbit), 2005 .
Driyarkara, Nicolaus. Percikan Filsafat.Jakarta:
Pembangunan, 1978.
Sindhunata. (ed.) Membuka Masa Depan Anak-Anak Kita: Mencari Kurikulum Pendidikan Abad XXI.Yogyakarta:
Kanisius, 2000.
Supratiknya,
A. Menggugat
Sekolah: Kumpulan Esai Tentang Psikologi dan Pendidikan. Yogyakarta:
Universitas Sanata Dharma, 2011.
Seri Dokumen Gerejawi No.34. Surat Kepada Keluarga-Keluarga Dari Paus
Yohanes Paulus II . Departemen Dokumentasi Dan Penerangan KWI. Jakarta:
1994.
Sinode VI Keuskupan Agung Medan. Keluarga Katolik sebagai gereja Kecil.
Pematangsiantar:Sekretariat Sinode VI, 2016.
Seri Dokumen Gerejawi no. 33. Kedamaian Dan Keluarga. Departemen Dokumentasi Dan Penerangan KWI.
Jakarta: 1994.
Sardy,
Martin. Mencari Identitas Pendidikan.
Bandung: Alumni,1981.
Mangunwijaya,Y.B. Mendidik
Manusia Merdeka.Yogyakarta: Interfidei,1995.
B.W. Johnson, Susan dan
Anderson, Herbert. Regarding
Children.Medan: Bina Media,2003.
[1]
Cyprianus Aoer, Masa Depan Pendidikan Nasional ([tanpa
tempat, dan penerbit],2005 ), hlm. xxxix-xI.
[2]
Cyprianus Aoer, Masa ..., hlm. xI.
[3]
Cyprianus Aoer, Masa ..., hlm. xIi.
[4]
Cyprianus Aoer, Masa ..., hlm. xIi.
[5]
Cyprianus Aoer, Masa ..., hlm. xIi.
[6] Sindhunata (ed.), Membuka Masa Depan Anak-Anak Kita: Mencari
Kurikulum Pendidikan Abad XXI (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hlm. 116.
[7] Sindhunata (ed.), Membuka ..., hlm. 116.
[8]
Surat
Kepada Keluarga-Keluarga Dari Paus Yohanes Paulus II ( Jakarta: Departemen
Dokumentasi Dan Penerangan KWI, 1994), no.16. hlm. 55.
[10] Seksualitas adalah ada dan cara
berada manusia secara menyeluruh yang
ada padanya.
[11] A.Supratiknya, Menggugat Sekolah: Kumpulan Esai Tentang
Psikologi dan Pendidikan (Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma, 2011),
hlm. 25-26.
[12]
Nicolaus Driyarkara, Percikan Filsafat (Jakarta: Pembangunan, 1978), hlm. 104.
[13]
Cyprianus Aoer, Masa ..., hlm. xIi-xIii.
[14]
Cyprianus Aoer, Masa ..., hlm. xIii.
[15]
A.Supratiknya, Menggugat Sekolah..., hlm. 6.
[16]
A.Supratiknya, Menggugat Sekolah..., hlm. 7.
[17]
A.Supratiknya, Menggugat Sekolah..., hlm. 7.
[18]
A.Supratiknya, Menggugat Sekolah..., hlm. 3.
[19]
A.Supratiknya, Menggugat Sekolah..., hlm. 4.
[20]
A.Supratiknya, Menggugat Sekolah..., hlm. 5.
[21]
A.Supratiknya, Menggugat Sekolah..., hlm. 32.
[22]
A.Supratiknya, Menggugat Sekolah..., hlm. 34-35.
[23]
A.Supratiknya, Menggugat Sekolah..., hlm. 35.
[24]
A.Supratiknya, Menggugat Sekolah..., hlm. 13-14.
[25]
A.Supratiknya, Menggugat Sekolah..., hlm. 14-15.
[26]
A.Supratiknya, Menggugat Sekolah..., hlm. 28-30.
[27]
Herbert Anderson dan Susan B.W.
Johnson, Regarding Children(Medan: Bina Media,2003), hlm. 84.
[28]
A.Supratiknya, Menggugat Sekolah..., hlm. 13.
[29]
A.Supratiknya, Menggugat Sekolah..., hlm. 13.
[30] Sinode VI Keuskupan Agung Medan, Keluarga Katolik sebagai gereja Kecil
(Pematangsiantar:Sekretariat Sinode VI, 2016), hlm. 229.
[31] Seri Dokumen Gerejawi no. 33, Kedamaian Dan Keluarga ( Jakarta:
Departemen Dokumentasi Dan Penerangan KWI, 1994), no. 2. hlm. 9.
[32]
Seri Dokumen Gerejawi No.
34, Surat Kepada Keluarga-Keluarga Dari Paus Yohanes Paulus Ke II (Jakarta:
Departemen Dokumentasi Dan Penerangan KWI, 1994), No. 17. Hlm. 61.
[33] Martin Sardy, Mencari Identitas Pendidikan(Bandung: Alumni,1981),
hlm. 23.
[34] Y.B. Mangunwijaya, Mendidik Manusia Merdeka(Yogyakarta:
Interfidei,1995), hlm. 268.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar