Translate

Minggu, 07 Oktober 2018

Pewahyuan Allah dalam Budaya Karo


PANDANGAN TRADISIONAL
ATAS
PEWAHYUAN ALLAH DALAM BUDAYA KARO

1.      Pendahuluan
Dijelaskan bahwa dalam ilmu teologi, wahyu dan iman itu merupakan sebuah teologi dasar. Disini mau mengatakan, jika ada sebuah masyarakat atau kelompok yang percaya kepada sesuatu pasti ada sebab atau bisa dikatakan dasar yang kuat yang membantu mereka dalam kepercayaan mereka, dan dasar itu dapat dikaitkan dengan wahyu. Wahyu dikaitkan selalu dengan inisiatif Allah sendiri yang menghendaki dirinya untuk manusia. Karena wahyu itu merupakan suatu kebenaran yang selalu ingin digapai oleh makhluk yang berakal budi. Disini bisa diartikan juga, bahwa wahyu merupakan pengalaman rohani yang dirasakan dan dialami oleh manusia. Pengalaman rohani ini menjadi dasar bagi manusia untuk lebih mengenal Allah. Disini akan diterangkan bagaimana budaya Karo atau orang-orang Karo merasakan pewahyuan Allah (Dibata) itu lewat berbagai pengalaman, fenomen yang mereka rasakan dalam hidupnya pada zaman dahulu.

2.      Sistem Religi Suku Karo
Kepercayaan kepada Allah di Karo sebagai Pencipta dan Maha Kuasa yang disebut “Dibata Kaci-kaci” Dia mempunyai beberapa nama untuk mengungkapkan kehadirannya. Menurut kosmologi dalam Budaya Karo, ada dunia atas, tengah dan bawah, dan ketiga bagian dunia ini menjadi tempat kedudukan Dewata atau “Dibata Kaci-kaci”. Orang Karo sejak zaman prahistoris percaya adanya “Dibata” (Tuhan, Dewa) yakni “Dibata Kaci-kaci”, yang menciptakan segala pengada di bumi dan jagat raya. Dalam masyarakat Karo secara tradisional terdapat religi yang telah memadukan ke serba-roh-an dengan system kedewataan secara serasi, saling melengkapi tanpa ada yang mau menang atau kalah. Kepercayaan yang paling tua di Karo adalah Dinamisme dan Animisme (serba roh). Dalam tingkat kepercayaan ini dilakukan pemujaan yakni penyembahan kepada yang dianggap suci dan berkuasa, dan pemujaan tersebut dilakukan dimana saja dan kapan saja. Dalam Dinamisme dan Animisme, orang Karo berpikir  secara mitis, hidupnya dikelilingi oleh kekuatan-kekuatan kosmis, ia memakai mitos-mitos untuk memahami hidupnya dan lingkungannya. Mitos sebagai arche-type, yang mengatur dan mengarahkan hidupnya. Pada tingkat yang lebih tinggi, muncul konsep “Guru Sibaso” yang menjadi pengantara orang yang hidup dan mati, dan juga “Guru Sibaso” dapat melihat hal-hal ajaib dan dunia makhluk halus (seer) atau dunia roh.[1]
Orang Karo tradisional mengenal Allah melalui seluruh ciptaan, gejala-gejala serta peristiwa-peristiwa yang mereka alami setiap hari. Gejala-gejala dan peristiwa-peristiwa alam tersebut sering membawa bencana dan malapetaka bagi hidup mereka. Mereka sadar bahwa bencana yang menimpa diri mereka itu adalah akibat perbuatan mereka sendiri, yang tidak mentaati hukum dan peraturan yang tertuang dalam adat. Allah dan roh-roh leluhur mereka marah karena mereka tidak lagi hidup sesuai dengan norma-norma hukum adat; mereka merusak dan mengganggu tempat-tempat yang dianggap suci dan keramat. Maka untuk menenteramkan kembali situasi yang tidak beres ini dilakukan berbagai macam ritus kepercayaan atau upacara-upacara untuk menghormati Allah dan begu-begu (roh-roh) agar situasi kembali aman dan damai.  

3.      Dibata “tuhan” suku Karo
Istilah Dibata tampaknya berasal dari bahasa sansekerta deva, yang telah masuk kedalam bahasa Indonesia sebagai dewa, yakni “segala sesuatu yang dipuji atau disembah”, dan dalam bahasa Latin sebagai Deus, atau Allah. Dalam agama India, deva adalah Allah atau dewa-dewa utama, yakni ”dewa atau Allah yang memberikan terang atau sinar matahari”  (dewa matahari). Devata (jamak), diaplikasikan terhadap dewa-dewa khusus ishta devata “dewa-dewa pilihan yang akan disembah, atau dewa-dewa yang lebih rendah seperti dewa kampong, roh air dan pepohonan dan dewa-dewa yang menyebabkan penyakit.” [2]
Kepercayaan kepada Dewata yang disebut “Dibata Kaci-kaci” bersifat transenden dan imanen. Ada sebutan “Dibata la idah” (Allah yang tidak nampak) dan ada pula “Dibata ni idah” (Allah yang nampak). “Dibata la idah” biasanya disebut “Dibata Kaci-kaci” (Kaci adalah Dewi Wanita, dan lagi maha pengasih) dan seterusnya dalam kosmologi batak (orang yang mempercayai Dewata) mempunyai nama lain untuk tiga wilayah kekuasaanya (dunia atas, tengah dan bawah). Disetiap wilayah kekuasaan “Dibata Kaci-kaci diperintah oleh seorang “Dibata” sebagai wakil “Dibata Kaci-kaci”, dan ketiga dibata tersebut merupakan satu kesatuan yang dalam bahasa Karo disebut “Dibata Sitelu” (Allah nan tiga, Allah Trinitas). Dibata si Telu adalah nama lain yang disesuaikan dengan tugas dan kedudukan “Dibata Kaci-kaci” di setiap wilayah kosmologi orang Karo, yaitu “Guru Butara”, “Tuan Padukah ni Aji” dan “ Tuan Banua Koling”.[3]
Kemahakuasaan Allah yang transenden dari “Dibata Kaci-kaci” menjadi lebih nyata menerobos semua bagian kosmologi sehingga dapat dirasakan dan bermakna bagi semua pengada dunia dan alam jagat-raya. Demikian juga transendensi Allah mengandung fenomena imanensi dalam struktur kehidupan manusia. “Sangkep Nggeluh” yaitu “Sangkep si telu: Kalimbubu, Senina, Anak Beru”, adalah trinitas kehidupan yang merupakan arche-type Allah sendiri. Unsur “Kalimbubu” disebut “Dibata ni idah” (Allah yang nampak) yang menjadi symbol kehadiran Allah sebagai sumber kehidupan dan berkat yang nampak (imanen), merupakan arche-type “Butara Guru” (Allah di atas) yang mewakili “ Dibata Kaci-kaci” (Allah Pencipta) sumber segala yang baik dan berkat. Trandensi Allah, bila tidak dibarengi imanensi akan menjadikan Allah itu menjadi jauh dari kehidupan. Oleh karena itu transendensi dan imanensi selalu dalam hubungan dialektis dalam kehidupan manusia yang saling mengisi.[4]
Tiga komponen dalam allah (Allah) trinitas pada orang Karo bukan menekankan keterbagian allah, tetapi untuk mengungkapkan kemahakuasaan dan kemaha-hadiran “Dibata Kaci-kaci” di setiap tempat dalam konsep kosmologi. “Dibata Kaci-kaci” menghadirkan diri-Nya menguasai segala pengada alam-jagat-raya di dunia atas,tengah dan bawah.
-        Dibata datas (Allah di atas)  disebut “Guru Butara”
Adalah yang menguasai dunia bagian atas yang amat luas, samudera raya angkasa dan segala pengadanya. “Guru Butara” berfungsi sebagai pemelihara tata tertib alam, sumber segala berkat dan kebaikan.
-        Dibata tengah “Allah di dunia tengah” (Tuhan Padukah ni Aji)
Adalah penguasa dunia tengah yakni bumi kita ini. Padukah artinya perkasa, maharaja, dan Aji artinya besar.
-        Dibata teruh “Allah yang di dunia bawah”
Adalah penguasa dunia bawah dan ia disebut “Tuan Banua Koling”. Ia menguasai dunia makhluk halus (Banua artinya dunia, dan Koling artinya roh-roh halus pemegang buku kematian).  Di samping “Dibata si Telu” masih terdapat dua unsure kekuatan lain yaitau “Sinar Mata Niari” dan “Siberu Dayang”. [5]
Sinar Mata Niari” berarti Terang mta Hari yang memberi penerang, tempatnya di matahari terbit dan terbenam. Ia mengikuti perjalanan matahari dan menjadi penghubung antara “Guru Butara” dan “Tuan Padukah ni Aji” dan “Tuan Banua Koling”.  Sinar Mata Niari” berfungsi membuat keseimbangan “Dibata Sitelu” agar tertib kosmis yang diciptakan “Dibata Kaci-kaci” tetap langgeng. “Dibata Sitelu: maupun “Sinar Mata Niari” dan “Siberu Dayang” adalah menunjukkan sifat-sifat “Dibata Kaci-kaci”. Allah yang kekal dan Maha Kuasa, Allah tidak bisa dirubah oleh manusia. Dari kelima nama-nama itu diperlihatkan sifat dan kehadiran “Dibata Kaci-kaci” yang tidak meninggalkan ciptaan-Nya. Nama-nama ini merupakan simbol-simbol pemikiran mitis untuk mengungkapkan Allah yang transenden dan imanen dalam kehidupan manusia. “Adat Asli” yang berisikan tiga hal secara kualitatif (“Kiniteken, adat, bicara”) merupakan kristalisasi konsepsi abstrak mengenai kepercayaan kepada Allah Pencipta dalam suku bangsa purba, seperti halnya terjadi di Karo melalui penurun-alihan dari bapak leluhur yang membawa kebaikan dan keselamatan manusia dalam variasinya.[6]
Secara tradisional, “Dibata Kaci-kaci” menurut orang Karo tidak mengadakan komunikasi langsung dengan manusia. Hal ini Nampak juga dalam peranan “Allah nan Tiga”. Dibata Kaci-kaci” sebagai Maha Pencipta dilihat sebagai semacam cita-cita dan sebagai pelindung serta penjamin ketertiban alam (sifat transenden) tapi ia menjadi imanen dalam pelaksanaan “adat”. Kehendak Allah telah tertuang dalam adat istiadat dan barang siapa yang mengemban adat istiadat (berisi kiniteken, adat dan bicara) berarti telah melakukan pujaan terhadap “Dibata Kaci-kaci”. Adat tidak hanya dilihat sebagai kompleks institusi-sosial tetapi juga sebagai pujaan kepada “Dibata Kaci-kaci” dengan segala untuk manifestasinya.[7]

4.      Pewahyuan Allah dalam  Agama Pemena
Agama Pemena adalah juga disebut agama perbegu di tengah-tengah masyarakat Karo. Latar belakang pemikiran yang hidup pada manusia Karo sudah mengada sejak jaman pra historis. Orang Karo yang hidup dalam Agama Pemena (pagan, heiden, kafir, perbegu) merasakan dan mengalami bahwa semua aspek kehidupannya diresapi oleh konsep keberagamaanya. Tidak ada aspek kehidupan berada di luar pengaruh agama atau konsep adikodrati. Setiap suku bangsa, termasuk suku bangsa Karo berusaha menyesuaikan hidupnya dengan alam sekitarnya. Dengan penyesuaian tersebut maka setiap keluarga mendapatkan keperluan hidupnya seperti makanan, minuman dan perlindungan. Dalam penyesuaian diri tersebut muncul pelbagai tanggapan manusia dan membentuk kebiasaan-kebiasaan manusia sesuai dengan lingkungannya. [8]
Disini Allah mewahyukan dirinya lewat kuat kuasa yang dialami oleh manusia yang kadang tidak dapat mereka mengerti dengan akal budinya, dan dalam penyesuaian diri dengan alam sekitar, manusia merasakan bahwa ia berhadapan dengan kuasa-kuasa yang mengatur dalam perubahan-perubahan alam. Manusia merasakan bahwa ada yang mengatur musim-musim, keberhasilan panen, peredaran angin dan awan, hewan, dan lainnya. Semuanya ini diluar kemampuan manusia dan merasakan kemampuan manusia terbatas. Manusia berkumpul dalam kelompok-kelompok atau suku-suku bangsa mempersatukan kekuatan untuk menghadapi kuat kuasa yang tidak nampak oleh mata mereka. Karena diyakini itu adalah yang lain dari mereka yang merupakan diatas dari segala kemampuan dan hal-hal manusia yang ada pada mereka melebihi yang lain tersebut. Manusia memanggil atau berseru kepada kuasa-kuasa atau kekuatan-kekuatan alam atau roh-roh. Melalui pengalamannya berhubungan dengan kuasa-kuasa tersebut mau hadir dengan cara tertentu, tempat dan waktu tertentu. Akhirnya kuat kuasa magis-mistis-animistis tersebut dibesarkan dan disembah serta membuat nama-namanya. Pada saat ini jugalah tampak bahwa manusia menanggapi pewahyuan Allah itu lewat perbuatannya, yang mungkin mereka sendiri belum terlalu paham apa maksudnya kedatangan yang lain ini. Kuasa satu dewa misalnya bergantung kepada apa yang diperbuatnya. Dalam Agama Pemena yang hidup dalam masyarakat Karo adalah percampuran konsep keagamaan terhadap “Dibata Kaci-kaci” (Allah Pencipta) sebagai sisa-sisa “Ur-Monotheism” atau bentuk “monotheisme asali” dengan penyembahan yang sifatnya animistis  yakni penyembahan atau pemujaan terhadap roh orang mati dan juga paham dynamism yang masih hidup. Percampuran inilah yang sering nampak didalam banyak tata cara, “bicara”, “kiniteken” dan “adat istiadat” Karo. Konsep agama yang sifatnya synkretisme ini benar-benar campur aduk dan tidak terpisahkan, tidak dapat dipilah-pilah dalam praktek tahap kebudayaan dan cara berfikir mitis serta magis mengenai dunia ini.[9]

4.1. Kepercayaan Pada Roh-Roh Lain (tendi)
Orang-orang Karo juga sangat dekat dengan suatu bentuk kepercayaan atau keyakinan terhadap tendi (jiwa). Tendi dipandang sebagai sebuah kehidupan jiwa yang keberadaannya dibayangkan sama dengan roh-roh gaib. Alam semesta dikuasai oleh sekumpulan tendi. Setiap titik dalam alam semesta mengandung tendi. Dunia gaib disebut juga dunia pertendin. Tendi juga adalah sebutan untuk roh manusia yang masih hidup. Jika orang itu telah meninggal, tendinya akan berubah menjadi begu (roh).[10]
Sebuah ritual akan dilakukan apabila terjadi ketidakseimbangan antara tubuh-tendi jiwa-perasaan, nafas, dan pikiran dalam diri seseorang sebagai sebuah semesta kecil (‘mikro-kosmos’). Ketidakseimbangan ini akan menyebabkan berbagai kerugian, seperti; bangger (sakit), mara (malapetaka) dan akhirnya kematen (kematian). Daya pikiran manusia dianggap bertanggungjawab ‘ke luar’ guna menjaga keseimbangan dalam diri manusia dengan keseimbangan luar sebagai ‘makro-kosmos’ (alam semesta) yang meliputi dunia gaib, kesatuan sosial, dan lingkungan alam sekitar. Keseimbangan alam semesta ini akan terganggu jika terganggunya beberapa inti kehidupan (beraspati) : inti kehidupan tanah, air, udara, dan rumah. Salah satu contoh dari ketidakseimbangan dalam diri seseorang adalah jika terjadi sebuah kemalangan (kematian) dari salah satu anggota keluarga. Ritual perumah begu akan dilakukan untuk mengatasinya. [11]
Sebelum upacara memasuki tahap inti, si baso meminta izin pada beberapa inti kehidupan (nini beraspati) sebagai penguasa alam dan memanggil jenujungnya hingga ia berhasil mencapai keadaan kesurupan. Nyanyian guru si baso memanggil jenujung adalah memanggil raja kepultaken dan raja kesunduten (penguasa matahari terbit dan penguasa matahari terbenam):

“Enda maka kurudangken rudang kapias, ras pe rimo malem. Kuturangken kam melias dapet ate malem. O…turang rudang kapias rudang tara tinggi, e bandu kepe rudangta. Mare nini raja keputaken berkat kam kerina raja kesunduten, maka si dungi dahinta. Adi la kam reh la aku beloh. Kuleboh kel kam kerina, masok kel kam kerina ku dagingku, adi la kem reh la aku beloh ermag-mag.”
(Ini telah kubungakan bunga kapias, juga jeruk kesejukan. Kujadikan kamu saudara yang baik untuk mendapat perasaan damai. O… saudara bunga kapias bunga tara tinggi kiranya itu jadi bunga kita.. Mari penguasa matahari terbit berangkatlah kamu beserta penguasa matahari terbenam, supaya kita selesaikan pekerjaan kita. Jika kamu tidak datang tidak mampu aku melakukannya sendiri. Kupanggil kamu semua masuklah ke dalam tubuhku, kalau kamu tidak datang tidak mampu aku bercerita dan bernyanyi).
Kehadiran jenujung ditandai dengan perubahan prilaku guru; memicingkan mata karena merasa ada sinar yang sangat terang dan menyilaukan, badannya terasa panas, seolah-olah merasa diawang-awang, tubuhnya bergetar dan tiba-tiba sangat gembira sambil berkata “ih… kai ndai tenahndu, enda aku enggo reh” (ih…apa pesan anda, ini aku sudah datang). Guru si baso[12] dapat langsung menari, memakan sirih, atau meminta rokok. Jenujung ini yang akan memanggil para roh keluarga yang telah meninggal dari dunia kematian. Roh keluarga itu akan memasuki tubuh guru si baso kemudian berkomunikasi dengan keluarganya yang menyelenggarakan ritual.
Ritual ini dimulai malam hari sekitar pukul 20.00 WIB dan berakhir pukul 09.00 WIB keesokan harinya. Selama acara berlangsung, si baso memimpinnya dengan bernyanyi. 60 Lirik dan nada lagu sangat menyentuh dengan tone tertentu untuk menggugah perasaan peserta ritual. Dalam proses komunikasi dengan arwah melalui tubuh guru si baso, adakalanya juga terjadi pemeriksaan penyakit untuk keluarga yang masih hidup ataupun ramalan akan keberhasilan, penyakit, atau malapetaka yang akan dihadapi. Ramalan ini dilakukan oleh arwah yang memasuki tubuh si baso dengan menggunakan media sebutir telur ayam negeri yang disebut tambul.
Si baso juga berperan sebagai perantara antara dua kerabat yang berselisih paham. Dalam hal ini, peran si baso sebagai perantara perdamaian untuk dua kelompok kerabat yang berkonflik. Begu (roh) atau arwah yang memasuki tubuh si baso bertindak sebagai juru damai dan memberi beberapa nasihat. Sebagai seseorang yang memiliki kekuatan supranatural, seorang guru si baso memiliki fungsi untuk pemenuhan kebutuhan rohani bagi warganya. Sebagai penyambung rasa antara manusia dan Dibata la idah (Tuhan penguasa alam semesta yang tidak kelihatan), seperti pada ritual mere tembunen atau muncang.[13]

4.2.Mite
Mite adalah konsep asali yang berkelanjutan membentuk cara kehidupan yang sekarang. Kehidupan yang meliputi perasaan dan berupa pemikiran manusia yang dibentuk beberapa mite pada manusia tahap kebudayaan sederhana (primitif). Bila seseorang berfikir magic, ia merasakan dunia ini dan kehidupannya di dunia ini dikelilingi oleh kuasa-kuasa gaib. Ia hidup didalam dunia dan dunia dirasakannya ke dalam dirinya. Sedangkan manusia mitis merasakan ia hidu didalam dunia dan ia mencoba membawa perasaannya dan dirinya keluar. Cara berfikir mitis cendrung kepada perwujudan. Mite bukan sekedar dongeng atau cerita yang pernah terjadi. Mite terjadi pada jaman asali dan menjadi dasar yang kuat untuk kehidupan jaman sekarang. Di dalam mite kita dapat menjumpai ilmu sejarah sebab mite bukan sejarah yang telah berhenti atau terkunci. Manusia primitif tidak tertarik kepada ilmu sejarah sebab apa yang telah terjadi pada jaman asali terus berulan-ulang menentukan kehidupan yang sekarang. Pengertian sejarah muncul dan terjadi pada orang-orang Israel yakni perbuatan Allah yang bergerak menuju ke suatu arah yang tertentu. Sejarah menuju kepada suatu tujuan sedangkan mite menjadikan ulang sejarah asali. Bila mite (cerita asali) dilaksanakan maka tidak terjadi malapetaka tapi bila mite tidak dilakukan maka terjadi bencana, kelangsungan kehidupan dunia terancam. Itulah sebabnya manusia harus melaksanakan sesuai dengan mite yang ada atau ceritra atau “orat nggeluh” yang ada. Upacara-upacara harus senantiasa dilaksanakan agar peristiwa mitis terus berulang kembali. Mite diulangi dengan upacara asali agar kehidupan berjalan kepada yang benar. [14]
Kesusilaan juga pada manusia mitis atau peradaban sederhana ditentukan oleh tata tertip dunia yang sudah ada dalam mite. Dosa adalah gangguan yang merusak tata tertip dunia ini. Dosa disadari manusia mitis sebagai suatu bahaya atau ancaman terhadap kelangsungan tata tertip dunia. Oleh karena itu ada banyak pantangan-pantangan yang dalam ilmu agama disebut”tabu”. Bila ada bencana, manusia mitis terus melihat apa penyebabnya. Ia melihat kebelakang, apa-apa yang telah membuat tata tertip dunia tidak dilakukan manusia berjalan menurut semestinya atau apakah ada manusia yang melanggar atau merusaknya. Secara umum pengertian dosa benar-benar menjadi kentara di dalam pelanggaran-pelanggaran seksual. Pelanggaran seperti itu dianggap bukan hanya pelanggaran terhadap dewa tapi pelanggaran terhadap tata tertib yang mengganggu keseimbangan. Hal seperti ini dahulu di Karo misalnya, orang bersangkutan harus dihukum dengan cara dibenamkan di air dan atau diusir dari desa dan sanak keluarganya, atau juga ada dengan upacara “nabei” (membayar hutang) bila dianggap tidak terlalu parah.[15]
Pengertian dosa dalam masyarakat pradaban sederhana atau manusia mitis berbeda dengan pengertian Kristen dimana dosa itu menjadi nyata di hadapan Allah. Dalam manusia mitis atau primitif sesuatu dosa itu dosa bila sudah menjadi terang dan nampak (gempar). Misalnya seseorang yang menipu temannya selama penipuannya itu belum tertangkap maka apa yang dilakukannya itu merupakan kepandaiannya saja. Inilah sifat kekafiran yang “melawan Allah”, yang jahat terpuji dalam “Agama pemena” (kekafiran). Akan tetapi bila seseorang yang jahat tertangkap basah, itu berarti bodoh, disitulah dosa itu sudah jelas dan gempar serta dianggap dosa. banyak upacara-upacara kehidupan (ritus-ritus) yang ada mitenya sendiri dan upacara itu seakan sebuah sandiwara tentang peristiwa asali. mite adalah naskahnya ataupun tradisinya yaitu apa yang dituliskan atau ditradisikan itulah selalu diulangi di dalam kehidupan yang sekarang.[16]
Dalam “Agama Pemena” atau Animisme di Karo dijumpai susunan tertentu budi manusia Karo, suatu cara tertentu didalam memahami atau  mengalami dunia dan “Dibata Kaci-kaci” (Allah Pencipta). Ada persepsi tertentu bagaimana manusia Karo pada jaman dahulu memahami kehidupan dan kuasa-kuasa yang mengeliligi hidupnya dan juga memperlihatkan mentalitet atau sikap rohani tertentu pada manusia Karo. Adapun struktur rohani manusia Karo dalam “Agama Pemena” adalah:[17]
1)      Nisbah Antara Subyek Dan Obyek Masih Kabur
2)      Kesadaran Atau Pengalaman Totalitas Terhadap Dunia
3)      Ada Semacam Paham Partisipasi Yaitu Perasaan Ikut Serta Mengambil Bagian Di Dalam Sesuatu Hal
4)      Konsep Tentang Dunia Secara Magic
5)      Konsep Mite Dalam Cara Berpikir Mitis
6)      Dosa
7)      Kehidupan Tidak Berakhir Setelah Kematian

5.      Kesimpulan
Orang Karo tradisional dalam pengalamannya setiap hari sering berhadapan dengan gejala-gejala dan peristiewa-peristiwa lain yang kadang kala di luar dari pengetahuan dan daya kemampuannya. Dalam pengalaman ini mereka merasa disentuh, gembira, bahagia, tentram, dan merasa aman. Pengalaman ini menimbulkan adanya ide tentang Allah dan mendorong mereka pada suatu kepercayaan yang disebut dengan  erkiniteken. Kepercayaan terhadap adanya Allah pencipta alam semesta beserta dengan segala isinya. Allah yang dikenal orang Karo itu disebut Dibata (Allah). Dia begitu besar dan Mahakuasa, kemahakuasaan Allah itu sedemikian besar dan agung, sehingga manusia tak mungkin menghampiri-Nya. Hal ini menimbulkan suatu ide kepada kekuatan lain yang dapat dihampiri dan didekati, yakni kepercayaan terhadap kekuatan alam dan roh-roh orang yang sudah meninggal dunia. Kepercayaan ini disebut dengan kepercayaan perbegu. (per artinya yakin akan, yang mempunyai, begu artinya roh, mahluk halus, roh orang yang sudah meninggal). Menurut kepercayaan perbegu ini, selain adanya kebesaran Allah Yang Maha Pencipta segala yang ada, mereka masih percaya pada kekuatan-kekuatan lain yang sangat ditakuti dan dihormati manusia, yakni kepercayaan terhadap kekuatan-kekuatan dan kuasa-kuasa roh (begu). Disini terlihat jelas, bahwa Allah mewahyukan diri-Nya dengan berbagai fenomen atau gejala-gejala yang terjadi dalam kehidupan yang dijalani oleh masyarakat Karo pada zaman dulu, meskipun pada saat itu mereka belum mengerti dan memahami bahwa kekuatan yang lain itu adalah Allah sendiri yang mewahyukan diri-Nya bagi mereka, tetapi mereka yakin bahwa kekuatan-kekuatan besar itu adalah datang dari yang Mahabesar yang menciptakan alam ini dengan segala isinya. Disamping itu mereka mungkin tidak mengerti bahwa dengan tindakan-tindakan yang baik yang sering mereka buat adalah merupakan tanggapan mereka atas wahyu Allah itu sendiri.




Daftar Pustaka
1.      Gintings, E.P. Relegi Karo, Membaca Relegi Karo dengan Mata yang Baru. Kabanjahe:  Abdi Karya,  2002.
2.      Bangun, Teridah.  Penelitian Dan Pencatatan Adat Istiadat Karo. Jakarta : Yayasan Merga Silima, 1990.
3.      Ginting, Leo Joosten dan Ginting, Kriswanto. Tanah Karo Selayang Pandang. Medan: Bina Media Perintis, 2014.  
4.      Sembiring, Nongo. Ide-ide Allah Dalam Pandangan Orang Karo. Pematangsiantar: STFT St. Yohanes, 1996.



[1] E.P.Gintings, Relegi Karo, Membaca Relegi Karo dengan Mata yang Baru(Kabanjahe: Abdi Karya, 2002), hlm. 1.
[2] Leo Joosten Ginting dan Kriswanto Ginting, Tanah Karo Selayang Pandang (Medan: Bina Media Perintis, 2014), hlm. 12.
[3] E.P.Gintings, Relegi Karo …,hlm. 3.
[4] E.P.Gintings, Relegi Karo …,hlm. 3-4.         
[5] E.P.Gintings, Relegi Karo …,hlm. 4.
[6] Leo Joosten Ginting dan Kriswanto Ginting, Tanah Karo…, hlm. 13.

[7] E.P.Gintings, Relegi Karo …,hlm. 5-6.
[8] E.P.Gintings, Relegi Karo …,hlm. 7.
[9] E.P.Gintings, Relegi Karo…, hlm. 7-8.
[10] Nongo Sembiring ,Ide-ide Allah Dalam Pandangan Orang Karo(Pematangsiantar: STFT St. Yohanes,1996)  ,hlm. 46-50.
[11] Tridah Bangun ,Adat Istiadat Karo, (Jakarta: Yayasan Marga Silima,1990),  hlm. 32-35.
[12] Guru Sibaso adalah yang menjadi pengantara orang yang hidup dan mati, dan juga dapat melihat hal-hal ajaib dan dunia makhluk halus (seer) atau dunia roh.
[13] Nongo Sembiring ,Ide-ide..., hlm. 46-50.                              
[14] E.P.Gintings, Relegi Karo…,  hlm. 9.
[15] E.P.Gintings, Relegi Karo …,hlm. 10.
[16] E.P.Gintings, Relegi Karo …,hlm. 10.
[17] E.P.Gintings, Relegi Karo …,hlm. 11-15.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar