PANDANGAN
TRADISIONAL
ATAS
PEWAHYUAN ALLAH
DALAM BUDAYA KARO
1.
Pendahuluan
Dijelaskan bahwa
dalam ilmu teologi, wahyu dan iman itu merupakan sebuah teologi dasar. Disini
mau mengatakan, jika ada sebuah masyarakat atau kelompok yang percaya kepada
sesuatu pasti ada sebab atau bisa dikatakan dasar yang kuat yang membantu
mereka dalam kepercayaan mereka, dan dasar itu dapat dikaitkan dengan wahyu.
Wahyu dikaitkan selalu dengan inisiatif Allah sendiri yang menghendaki dirinya
untuk manusia. Karena wahyu itu merupakan suatu kebenaran yang selalu ingin
digapai oleh makhluk yang berakal budi. Disini bisa diartikan juga, bahwa wahyu
merupakan pengalaman rohani yang dirasakan dan dialami oleh manusia. Pengalaman
rohani ini menjadi dasar bagi manusia untuk lebih mengenal Allah. Disini akan
diterangkan bagaimana budaya Karo atau orang-orang Karo merasakan pewahyuan
Allah (Dibata) itu lewat berbagai
pengalaman, fenomen yang mereka rasakan dalam hidupnya pada zaman dahulu.
2.
Sistem Religi Suku Karo
Kepercayaan
kepada Allah di Karo sebagai Pencipta dan Maha Kuasa yang disebut “Dibata Kaci-kaci” Dia mempunyai beberapa
nama untuk mengungkapkan kehadirannya. Menurut kosmologi dalam Budaya Karo, ada
dunia atas, tengah dan bawah, dan ketiga bagian dunia ini menjadi tempat
kedudukan Dewata atau “Dibata Kaci-kaci”.
Orang Karo sejak zaman prahistoris percaya adanya “Dibata” (Tuhan, Dewa) yakni “Dibata
Kaci-kaci”, yang menciptakan segala pengada di bumi dan jagat raya. Dalam
masyarakat Karo secara tradisional terdapat religi yang telah memadukan ke
serba-roh-an dengan system kedewataan secara serasi, saling melengkapi tanpa
ada yang mau menang atau kalah. Kepercayaan yang paling tua di Karo adalah
Dinamisme dan Animisme (serba roh). Dalam tingkat kepercayaan ini dilakukan
pemujaan yakni penyembahan kepada yang dianggap suci dan berkuasa, dan pemujaan
tersebut dilakukan dimana saja dan kapan saja. Dalam Dinamisme dan Animisme,
orang Karo berpikir secara mitis,
hidupnya dikelilingi oleh kekuatan-kekuatan kosmis, ia memakai mitos-mitos
untuk memahami hidupnya dan lingkungannya. Mitos sebagai arche-type, yang mengatur
dan mengarahkan hidupnya. Pada tingkat yang lebih tinggi, muncul konsep “Guru Sibaso” yang menjadi pengantara
orang yang hidup dan mati, dan juga “Guru Sibaso” dapat melihat hal-hal ajaib
dan dunia makhluk halus (seer) atau dunia roh.[1]
Orang
Karo tradisional mengenal Allah melalui seluruh ciptaan, gejala-gejala serta
peristiwa-peristiwa yang mereka alami setiap hari. Gejala-gejala dan
peristiwa-peristiwa alam tersebut sering membawa bencana dan malapetaka bagi
hidup mereka. Mereka sadar bahwa bencana yang menimpa diri mereka itu adalah
akibat perbuatan mereka sendiri, yang tidak mentaati hukum dan peraturan yang
tertuang dalam adat. Allah dan roh-roh leluhur mereka marah karena mereka tidak
lagi hidup sesuai dengan norma-norma hukum adat; mereka merusak dan mengganggu
tempat-tempat yang dianggap suci dan keramat. Maka untuk menenteramkan kembali
situasi yang tidak beres ini dilakukan berbagai macam ritus kepercayaan atau
upacara-upacara untuk menghormati Allah dan begu-begu
(roh-roh) agar situasi kembali aman dan damai.
3.
Dibata “tuhan” suku Karo
Istilah Dibata tampaknya berasal dari bahasa
sansekerta deva, yang telah masuk
kedalam bahasa Indonesia sebagai dewa, yakni “segala sesuatu yang dipuji atau
disembah”, dan dalam bahasa Latin sebagai Deus,
atau Allah. Dalam agama India, deva
adalah Allah atau dewa-dewa utama, yakni ”dewa atau Allah yang memberikan
terang atau sinar matahari” (dewa matahari). Devata (jamak), diaplikasikan terhadap dewa-dewa khusus ishta devata “dewa-dewa pilihan yang
akan disembah, atau dewa-dewa yang lebih rendah seperti dewa kampong, roh air
dan pepohonan dan dewa-dewa yang menyebabkan penyakit.”
[2]
Kepercayaan
kepada Dewata yang disebut “Dibata Kaci-kaci”
bersifat transenden dan imanen. Ada sebutan “Dibata la idah” (Allah yang tidak
nampak) dan ada pula “Dibata ni idah”
(Allah yang nampak). “Dibata la idah”
biasanya disebut “Dibata Kaci-kaci” (Kaci adalah Dewi Wanita, dan lagi maha
pengasih) dan seterusnya dalam kosmologi batak (orang yang mempercayai Dewata)
mempunyai nama lain untuk tiga wilayah kekuasaanya (dunia atas, tengah dan
bawah). Disetiap wilayah kekuasaan “Dibata Kaci-kaci diperintah oleh seorang “Dibata” sebagai wakil “Dibata Kaci-kaci”, dan ketiga dibata
tersebut merupakan satu kesatuan yang dalam bahasa Karo disebut “Dibata Sitelu” (Allah nan tiga, Allah
Trinitas). Dibata si Telu adalah nama
lain yang disesuaikan dengan tugas dan kedudukan “Dibata Kaci-kaci” di setiap wilayah kosmologi orang Karo, yaitu “Guru Butara”, “Tuan Padukah ni Aji” dan “ Tuan
Banua Koling”.[3]
Kemahakuasaan Allah
yang transenden dari “Dibata Kaci-kaci”
menjadi lebih nyata menerobos semua bagian kosmologi sehingga dapat dirasakan
dan bermakna bagi semua pengada dunia dan alam jagat-raya. Demikian juga
transendensi Allah mengandung fenomena imanensi dalam struktur kehidupan
manusia. “Sangkep Nggeluh” yaitu “Sangkep si telu: Kalimbubu, Senina, Anak
Beru”, adalah trinitas kehidupan yang merupakan arche-type Allah sendiri. Unsur
“Kalimbubu” disebut “Dibata ni idah”
(Allah yang nampak) yang menjadi symbol kehadiran Allah sebagai sumber
kehidupan dan berkat yang nampak (imanen), merupakan arche-type “Butara Guru” (Allah di atas) yang
mewakili “ Dibata Kaci-kaci” (Allah
Pencipta) sumber segala yang baik dan berkat. Trandensi Allah, bila tidak
dibarengi imanensi akan menjadikan Allah itu menjadi jauh dari kehidupan. Oleh
karena itu transendensi dan imanensi selalu dalam hubungan dialektis dalam
kehidupan manusia yang saling mengisi.[4]
Tiga komponen
dalam allah (Allah) trinitas pada orang Karo bukan menekankan keterbagian
allah, tetapi untuk mengungkapkan kemahakuasaan dan kemaha-hadiran “Dibata Kaci-kaci” di setiap tempat dalam
konsep kosmologi. “Dibata Kaci-kaci”
menghadirkan diri-Nya menguasai segala pengada alam-jagat-raya di dunia
atas,tengah dan bawah.
-
Dibata datas (Allah di atas) disebut “Guru Butara”
Adalah yang menguasai dunia bagian atas
yang amat luas, samudera raya angkasa dan segala pengadanya. “Guru Butara”
berfungsi sebagai pemelihara tata tertib alam, sumber segala berkat dan
kebaikan.
-
Dibata tengah “Allah di dunia tengah” (Tuhan Padukah ni Aji)
Adalah penguasa dunia tengah yakni bumi
kita ini. Padukah artinya perkasa, maharaja, dan Aji artinya besar.
-
Dibata teruh “Allah yang di dunia bawah”
Adalah penguasa dunia bawah dan ia
disebut “Tuan Banua Koling”. Ia menguasai dunia makhluk halus (Banua artinya
dunia, dan Koling artinya roh-roh halus pemegang buku kematian). Di samping “Dibata si Telu” masih terdapat
dua unsure kekuatan lain yaitau “Sinar
Mata Niari” dan “Siberu Dayang”. [5]
“Sinar Mata Niari” berarti Terang mta
Hari yang memberi penerang, tempatnya di matahari terbit dan terbenam. Ia
mengikuti perjalanan matahari dan menjadi penghubung antara “Guru Butara” dan “Tuan Padukah ni Aji” dan “Tuan
Banua Koling”. “Sinar Mata Niari” berfungsi membuat keseimbangan “Dibata Sitelu”
agar tertib kosmis yang diciptakan “Dibata
Kaci-kaci” tetap langgeng. “Dibata
Sitelu: maupun “Sinar Mata Niari”
dan “Siberu Dayang” adalah
menunjukkan sifat-sifat “Dibata Kaci-kaci”.
Allah yang kekal dan Maha Kuasa, Allah tidak bisa dirubah oleh manusia. Dari
kelima nama-nama itu diperlihatkan sifat dan kehadiran “Dibata Kaci-kaci” yang tidak meninggalkan ciptaan-Nya. Nama-nama
ini merupakan simbol-simbol pemikiran mitis untuk mengungkapkan Allah yang
transenden dan imanen dalam kehidupan manusia. “Adat Asli” yang berisikan tiga hal secara kualitatif (“Kiniteken, adat, bicara”) merupakan
kristalisasi konsepsi abstrak mengenai kepercayaan kepada Allah Pencipta dalam
suku bangsa purba, seperti halnya terjadi di Karo melalui penurun-alihan dari
bapak leluhur yang membawa kebaikan dan keselamatan manusia dalam variasinya.[6]
Secara
tradisional, “Dibata Kaci-kaci”
menurut orang Karo tidak mengadakan komunikasi langsung dengan manusia. Hal ini
Nampak juga dalam peranan “Allah nan
Tiga”. “Dibata Kaci-kaci” sebagai
Maha Pencipta dilihat sebagai semacam cita-cita dan sebagai pelindung serta
penjamin ketertiban alam (sifat transenden) tapi ia menjadi imanen dalam
pelaksanaan “adat”. Kehendak Allah
telah tertuang dalam adat istiadat dan barang siapa yang mengemban adat
istiadat (berisi kiniteken, adat dan bicara) berarti telah melakukan pujaan
terhadap “Dibata Kaci-kaci”. Adat
tidak hanya dilihat sebagai kompleks institusi-sosial tetapi juga sebagai
pujaan kepada “Dibata Kaci-kaci”
dengan segala untuk manifestasinya.[7]
4.
Pewahyuan
Allah dalam Agama Pemena
Agama Pemena adalah juga disebut agama perbegu di
tengah-tengah masyarakat Karo. Latar belakang pemikiran yang hidup pada manusia
Karo sudah mengada sejak jaman pra historis. Orang Karo yang hidup dalam Agama Pemena (pagan, heiden, kafir,
perbegu) merasakan dan mengalami bahwa semua aspek kehidupannya diresapi oleh
konsep keberagamaanya. Tidak ada aspek kehidupan berada di luar pengaruh agama
atau konsep adikodrati. Setiap suku bangsa, termasuk suku bangsa Karo berusaha
menyesuaikan hidupnya dengan alam sekitarnya. Dengan penyesuaian tersebut maka
setiap keluarga mendapatkan keperluan hidupnya seperti makanan, minuman dan
perlindungan. Dalam penyesuaian diri tersebut muncul pelbagai tanggapan manusia
dan membentuk kebiasaan-kebiasaan manusia sesuai dengan lingkungannya. [8]
Disini
Allah mewahyukan dirinya lewat kuat kuasa yang dialami oleh manusia yang kadang
tidak dapat mereka mengerti dengan akal budinya, dan dalam penyesuaian diri
dengan alam sekitar, manusia merasakan bahwa ia berhadapan dengan kuasa-kuasa
yang mengatur dalam perubahan-perubahan alam. Manusia merasakan bahwa ada yang
mengatur musim-musim, keberhasilan panen, peredaran angin dan awan, hewan, dan
lainnya. Semuanya ini diluar kemampuan manusia dan merasakan kemampuan manusia
terbatas. Manusia berkumpul dalam kelompok-kelompok atau suku-suku bangsa
mempersatukan kekuatan untuk menghadapi kuat kuasa yang tidak nampak oleh mata
mereka. Karena diyakini itu adalah yang lain dari mereka yang merupakan diatas
dari segala kemampuan dan hal-hal manusia yang ada pada mereka melebihi yang
lain tersebut. Manusia memanggil atau berseru kepada kuasa-kuasa atau
kekuatan-kekuatan alam atau roh-roh. Melalui pengalamannya berhubungan dengan
kuasa-kuasa tersebut mau hadir dengan cara tertentu, tempat dan waktu tertentu.
Akhirnya kuat kuasa magis-mistis-animistis tersebut dibesarkan dan disembah
serta membuat nama-namanya. Pada saat ini jugalah tampak bahwa manusia
menanggapi pewahyuan Allah itu lewat perbuatannya, yang mungkin mereka sendiri
belum terlalu paham apa maksudnya kedatangan yang lain ini. Kuasa satu dewa misalnya
bergantung kepada apa yang diperbuatnya. Dalam Agama Pemena yang hidup dalam masyarakat Karo adalah percampuran
konsep keagamaan terhadap “Dibata
Kaci-kaci” (Allah Pencipta) sebagai sisa-sisa “Ur-Monotheism” atau bentuk “monotheisme
asali” dengan penyembahan yang sifatnya animistis yakni penyembahan atau pemujaan terhadap roh
orang mati dan juga paham dynamism yang masih hidup. Percampuran inilah yang
sering nampak didalam banyak tata cara, “bicara”,
“kiniteken” dan “adat istiadat”
Karo. Konsep agama yang sifatnya synkretisme ini benar-benar campur aduk dan
tidak terpisahkan, tidak dapat dipilah-pilah dalam praktek tahap kebudayaan dan
cara berfikir mitis serta magis mengenai dunia ini.[9]
4.1.
Kepercayaan Pada Roh-Roh Lain (tendi)
Orang-orang
Karo juga sangat dekat dengan suatu bentuk kepercayaan atau keyakinan terhadap
tendi (jiwa). Tendi dipandang sebagai sebuah kehidupan jiwa yang
keberadaannya dibayangkan sama dengan roh-roh gaib. Alam semesta dikuasai oleh
sekumpulan tendi. Setiap titik dalam alam semesta mengandung tendi. Dunia gaib
disebut juga dunia pertendin. Tendi juga adalah sebutan untuk roh manusia yang
masih hidup. Jika orang itu telah meninggal, tendinya akan berubah menjadi begu
(roh).[10]
Sebuah
ritual akan dilakukan apabila terjadi ketidakseimbangan antara tubuh-tendi
jiwa-perasaan, nafas, dan pikiran dalam diri seseorang sebagai sebuah semesta
kecil (‘mikro-kosmos’). Ketidakseimbangan ini akan menyebabkan berbagai
kerugian, seperti; bangger (sakit), mara (malapetaka) dan akhirnya kematen
(kematian). Daya pikiran manusia dianggap bertanggungjawab ‘ke luar’ guna menjaga
keseimbangan dalam diri manusia dengan keseimbangan luar sebagai ‘makro-kosmos’
(alam semesta) yang meliputi dunia gaib, kesatuan sosial, dan lingkungan alam
sekitar. Keseimbangan alam semesta ini akan terganggu jika terganggunya
beberapa inti kehidupan (beraspati) : inti kehidupan tanah, air, udara, dan
rumah. Salah satu contoh dari ketidakseimbangan dalam diri seseorang adalah
jika terjadi sebuah kemalangan (kematian) dari salah satu anggota keluarga.
Ritual perumah begu akan dilakukan untuk mengatasinya. [11]
Sebelum
upacara memasuki tahap inti, si baso meminta izin pada beberapa inti kehidupan
(nini beraspati) sebagai penguasa alam dan memanggil jenujungnya hingga ia
berhasil mencapai keadaan kesurupan. Nyanyian guru si baso memanggil jenujung
adalah memanggil raja kepultaken dan raja kesunduten (penguasa matahari terbit
dan penguasa matahari terbenam):
“Enda maka kurudangken rudang kapias, ras pe rimo malem. Kuturangken kam melias dapet ate malem. O…turang rudang kapias rudang tara tinggi, e bandu kepe rudangta. Mare nini raja keputaken berkat kam kerina raja kesunduten, maka si dungi dahinta. Adi la kam reh la aku beloh. Kuleboh kel kam kerina, masok kel kam kerina ku dagingku, adi la kem reh la aku beloh ermag-mag.”
(Ini telah kubungakan bunga kapias, juga
jeruk kesejukan. Kujadikan kamu saudara yang baik untuk mendapat perasaan
damai. O… saudara bunga kapias bunga tara tinggi kiranya itu jadi bunga kita..
Mari penguasa matahari terbit berangkatlah kamu beserta penguasa matahari
terbenam, supaya kita selesaikan pekerjaan kita. Jika kamu tidak datang tidak
mampu aku melakukannya sendiri. Kupanggil kamu semua masuklah ke dalam tubuhku,
kalau kamu tidak datang tidak mampu aku bercerita dan bernyanyi).
Kehadiran
jenujung ditandai dengan perubahan prilaku guru; memicingkan mata karena merasa
ada sinar yang sangat terang dan menyilaukan, badannya terasa panas,
seolah-olah merasa diawang-awang, tubuhnya bergetar dan tiba-tiba sangat
gembira sambil berkata “ih… kai ndai tenahndu, enda aku enggo reh” (ih…apa pesan
anda, ini aku sudah datang). Guru si baso[12]
dapat langsung menari, memakan sirih, atau meminta rokok. Jenujung ini yang
akan memanggil para roh keluarga yang telah meninggal dari dunia kematian. Roh
keluarga itu akan memasuki tubuh guru si baso kemudian berkomunikasi dengan
keluarganya yang menyelenggarakan ritual.
Ritual
ini dimulai malam hari sekitar pukul 20.00 WIB dan berakhir pukul 09.00 WIB
keesokan harinya. Selama acara berlangsung, si baso memimpinnya dengan
bernyanyi. 60 Lirik dan nada lagu sangat menyentuh dengan tone tertentu untuk
menggugah perasaan peserta ritual. Dalam proses komunikasi dengan arwah melalui
tubuh guru si baso, adakalanya juga terjadi pemeriksaan penyakit untuk keluarga
yang masih hidup ataupun ramalan akan keberhasilan, penyakit, atau malapetaka
yang akan dihadapi. Ramalan ini dilakukan oleh arwah yang memasuki tubuh si
baso dengan menggunakan media sebutir telur ayam negeri yang disebut tambul.
Si
baso juga berperan sebagai perantara antara dua kerabat yang berselisih paham.
Dalam hal ini, peran si baso sebagai perantara perdamaian untuk dua kelompok
kerabat yang berkonflik. Begu (roh) atau arwah yang memasuki tubuh si baso
bertindak sebagai juru damai dan memberi beberapa nasihat.
Sebagai seseorang yang memiliki
kekuatan supranatural, seorang guru si baso memiliki fungsi untuk pemenuhan
kebutuhan rohani bagi warganya. Sebagai penyambung rasa antara manusia dan
Dibata la idah (Tuhan penguasa alam semesta yang tidak kelihatan), seperti pada
ritual mere tembunen atau muncang.[13]
4.2.Mite
Mite adalah
konsep asali yang berkelanjutan membentuk cara kehidupan yang sekarang.
Kehidupan yang meliputi perasaan dan berupa pemikiran manusia yang dibentuk
beberapa mite pada manusia tahap kebudayaan sederhana (primitif). Bila
seseorang berfikir magic, ia merasakan dunia ini dan kehidupannya di dunia ini
dikelilingi oleh kuasa-kuasa gaib. Ia hidup didalam dunia dan dunia
dirasakannya ke dalam dirinya. Sedangkan manusia mitis merasakan ia hidu didalam
dunia dan ia mencoba membawa perasaannya dan dirinya keluar. Cara berfikir
mitis cendrung kepada perwujudan. Mite bukan sekedar dongeng atau cerita yang
pernah terjadi. Mite terjadi pada jaman asali dan menjadi dasar yang kuat untuk
kehidupan jaman sekarang. Di dalam mite kita dapat menjumpai ilmu sejarah sebab
mite bukan sejarah yang telah berhenti atau terkunci. Manusia primitif tidak
tertarik kepada ilmu sejarah sebab apa yang telah terjadi pada jaman asali
terus berulan-ulang menentukan kehidupan yang sekarang. Pengertian sejarah
muncul dan terjadi pada orang-orang Israel yakni perbuatan Allah yang bergerak
menuju ke suatu arah yang tertentu. Sejarah menuju kepada suatu tujuan
sedangkan mite menjadikan ulang sejarah asali. Bila mite (cerita asali)
dilaksanakan maka tidak terjadi malapetaka tapi bila mite tidak dilakukan maka
terjadi bencana, kelangsungan kehidupan dunia terancam. Itulah sebabnya manusia
harus melaksanakan sesuai dengan mite yang ada atau ceritra atau “orat nggeluh” yang ada. Upacara-upacara
harus senantiasa dilaksanakan agar peristiwa mitis terus berulang kembali. Mite
diulangi dengan upacara asali agar kehidupan berjalan kepada yang benar. [14]
Kesusilaan juga
pada manusia mitis atau peradaban sederhana ditentukan oleh tata tertip dunia
yang sudah ada dalam mite. Dosa adalah gangguan yang merusak tata tertip dunia
ini. Dosa disadari manusia mitis sebagai suatu bahaya atau ancaman terhadap
kelangsungan tata tertip dunia. Oleh karena itu ada banyak pantangan-pantangan
yang dalam ilmu agama disebut”tabu”. Bila
ada bencana, manusia mitis terus melihat apa penyebabnya. Ia melihat
kebelakang, apa-apa yang telah membuat tata tertip dunia tidak dilakukan
manusia berjalan menurut semestinya atau apakah ada manusia yang melanggar atau
merusaknya. Secara umum pengertian dosa benar-benar menjadi kentara di dalam
pelanggaran-pelanggaran seksual. Pelanggaran seperti itu dianggap bukan hanya
pelanggaran terhadap dewa tapi pelanggaran terhadap tata tertib yang mengganggu
keseimbangan. Hal seperti ini dahulu di Karo misalnya, orang bersangkutan harus
dihukum dengan cara dibenamkan di air dan atau diusir dari desa dan sanak
keluarganya, atau juga ada dengan upacara “nabei”
(membayar hutang) bila dianggap tidak terlalu parah.[15]
Pengertian dosa
dalam masyarakat pradaban sederhana atau manusia mitis berbeda dengan
pengertian Kristen dimana dosa itu menjadi nyata di hadapan Allah. Dalam
manusia mitis atau primitif sesuatu dosa itu dosa bila sudah menjadi terang dan
nampak (gempar). Misalnya seseorang yang menipu temannya selama penipuannya itu
belum tertangkap maka apa yang dilakukannya itu merupakan kepandaiannya saja.
Inilah sifat kekafiran yang “melawan Allah”,
yang jahat terpuji dalam “Agama pemena”
(kekafiran). Akan tetapi bila seseorang yang jahat tertangkap basah, itu
berarti bodoh, disitulah dosa itu sudah jelas dan gempar serta dianggap dosa.
banyak upacara-upacara kehidupan (ritus-ritus) yang ada mitenya sendiri dan
upacara itu seakan sebuah sandiwara tentang peristiwa asali. mite adalah
naskahnya ataupun tradisinya yaitu apa yang dituliskan atau ditradisikan itulah
selalu diulangi di dalam kehidupan yang sekarang.[16]
Dalam “Agama Pemena” atau Animisme di Karo
dijumpai susunan tertentu budi manusia Karo, suatu cara tertentu didalam
memahami atau mengalami dunia dan “Dibata Kaci-kaci” (Allah Pencipta). Ada
persepsi tertentu bagaimana manusia Karo pada jaman dahulu memahami kehidupan
dan kuasa-kuasa yang mengeliligi hidupnya dan juga memperlihatkan mentalitet
atau sikap rohani tertentu pada manusia Karo. Adapun struktur rohani manusia
Karo dalam “Agama Pemena” adalah:[17]
1)
Nisbah
Antara Subyek Dan Obyek Masih Kabur
2)
Kesadaran
Atau Pengalaman Totalitas Terhadap Dunia
3)
Ada
Semacam Paham Partisipasi Yaitu Perasaan Ikut Serta Mengambil Bagian Di Dalam
Sesuatu Hal
4)
Konsep
Tentang Dunia Secara Magic
5)
Konsep
Mite Dalam Cara Berpikir Mitis
6)
Dosa
7)
Kehidupan
Tidak Berakhir Setelah Kematian
5.
Kesimpulan
Orang Karo
tradisional dalam pengalamannya setiap hari sering berhadapan dengan
gejala-gejala dan peristiewa-peristiwa lain yang kadang kala di luar dari
pengetahuan dan daya kemampuannya. Dalam pengalaman ini mereka merasa disentuh,
gembira, bahagia, tentram, dan merasa aman. Pengalaman ini menimbulkan adanya
ide tentang Allah dan mendorong mereka pada suatu kepercayaan yang disebut
dengan erkiniteken. Kepercayaan terhadap adanya
Allah pencipta alam semesta beserta dengan segala isinya. Allah yang dikenal
orang Karo itu disebut Dibata (Allah).
Dia begitu besar dan Mahakuasa, kemahakuasaan Allah itu sedemikian besar dan
agung, sehingga manusia tak mungkin menghampiri-Nya. Hal ini menimbulkan suatu
ide kepada kekuatan lain yang dapat dihampiri dan didekati, yakni kepercayaan
terhadap kekuatan alam dan roh-roh orang yang sudah meninggal dunia.
Kepercayaan ini disebut dengan kepercayaan perbegu. (per artinya yakin akan,
yang mempunyai, begu artinya roh, mahluk halus, roh orang yang
sudah meninggal). Menurut kepercayaan perbegu ini, selain adanya kebesaran
Allah Yang Maha Pencipta segala yang ada, mereka masih percaya pada
kekuatan-kekuatan lain yang sangat ditakuti dan dihormati manusia, yakni
kepercayaan terhadap kekuatan-kekuatan dan kuasa-kuasa roh (begu). Disini
terlihat jelas, bahwa Allah mewahyukan diri-Nya dengan berbagai fenomen atau
gejala-gejala yang terjadi dalam kehidupan yang dijalani oleh masyarakat Karo
pada zaman dulu, meskipun pada saat itu mereka belum mengerti dan memahami
bahwa kekuatan yang lain itu adalah Allah sendiri yang mewahyukan diri-Nya bagi
mereka, tetapi mereka yakin bahwa kekuatan-kekuatan besar itu adalah datang
dari yang Mahabesar yang menciptakan alam ini dengan segala isinya. Disamping
itu mereka mungkin tidak mengerti bahwa dengan tindakan-tindakan yang baik yang
sering mereka buat adalah merupakan tanggapan mereka atas wahyu Allah itu
sendiri.
Daftar Pustaka
1. Gintings, E.P. Relegi Karo, Membaca Relegi Karo dengan Mata
yang Baru. Kabanjahe: Abdi
Karya, 2002.
2. Bangun, Teridah. Penelitian
Dan Pencatatan Adat Istiadat Karo. Jakarta : Yayasan Merga Silima, 1990.
3.
Ginting,
Leo Joosten dan Ginting, Kriswanto. Tanah
Karo Selayang Pandang. Medan: Bina Media Perintis, 2014.
4.
Sembiring,
Nongo. Ide-ide Allah Dalam Pandangan
Orang Karo. Pematangsiantar: STFT St. Yohanes, 1996.
[1] E.P.Gintings, Relegi Karo, Membaca Relegi
Karo dengan Mata yang Baru(Kabanjahe:
Abdi Karya, 2002), hlm. 1.
[2] Leo
Joosten Ginting dan Kriswanto Ginting, Tanah
Karo Selayang Pandang (Medan: Bina Media Perintis, 2014), hlm. 12.
[10] Nongo Sembiring ,Ide-ide Allah Dalam Pandangan Orang Karo(Pematangsiantar:
STFT St. Yohanes,1996) ,hlm. 46-50.
[11] Tridah Bangun ,Adat Istiadat Karo, (Jakarta: Yayasan
Marga Silima,1990), hlm. 32-35.
[12] Guru Sibaso adalah yang menjadi pengantara orang yang hidup dan
mati, dan juga dapat melihat hal-hal ajaib dan dunia makhluk halus (seer) atau
dunia roh.
[13] Nongo Sembiring ,Ide-ide..., hlm. 46-50.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar