Agama Pemena Atau Kiniteken Si
Pemena
Dalam Budaya Karo
1.
Pengantar
Agama asli pada
masyarakat Karo sebelum diperkenalkan oleh para pedakwah Islam dan misionaris
Kristen ke Tanah Karo adalah Kiniteken
Pemena/Agama Pemena. Bagi kaum Muslim, Kiniteken
Sipemena tidak lebih dari kafir, atau orang yang tidak percaya akan Allah,
sedangkan bagi umat Kristen adalah paganis atau penyembah berhala. Para etnolog
Eropa, khususnya dari abad ke-19 dan awal abad ke-20, kebanyakan diantaranya
terdiri dari kalangan misionaris atau para peneliti yang menyimpulkan bahwa
suku Karo pada saat itu tergolong animisme atau menyembah roh-roh leluhur dan
roh yang mendiami tempat mereka tinggal.
Dalam dunia
tradisionalnya, suku Karo tidak membedakan antara kategori seperti “religion” (agama), “magic” (kekuatan sihir),
“custom” (adat istiadat), “culture” (budaya), “belief” (kepercayaan), dan “ceremony”
(perayaan) yang dinyatakan sebagai satu bentuk (sepaket) dengan perbegu. Istilah perbegu sangat erat kaitannya dengan keberadaan begu (roh-roh leluhur) dan dengan
berbagai ritual dan seremoni yang berhubungan dengan begu. Meskipun dalam bahasa Indonesia istilah perbegu memberikan konotasi negatif seperti kata primitif atau pun
sejenisnya, namun pada dasarnya tidaklah selalu demikian. Seorang penulis dan
antropolog di tahun 2013 pernah mengemukakan bahwa perbegu adalah istilah yang
dipakai para misionaris, akan tetapi istilah ini lebih sering digunakan tanpa
sedikit pun ada rasa enggan oleh suku Karo itu sendiri sampai tahun 1960-an.
Keluguan yang melekat pada suku Karo telah menimbulkan pergeseran posisi perbegu dan kafir dalam tahun-tahun terakhir dengan
istilah kiniteken si pemena atau agama pemena (kepercayaan
asli) atau dalam ungkapan bahasa Indonesia belum masuk agama.[1]
2.
Dibata “tuhan” suku Karo
Istilah Dibata tampaknya berasal dari bahasa
sansekerta deva, yang telah masuk
kedalam bahasa Indonesia sebagai dewa, yakni “segala sesuatu yang dipuji atau
disembah”, dan dalam bahasa Latin sebagai Deus,
atau Allah. Dalam agama India, deva
adalah Allah atau dewa-dewa utama, yakni ”dewa atau Allah yang memberikan
terang atau sinar matahari” (dewa matahari). Devata (jamak), diaplikasikan terhadap dewa-dewa khusus ishta devata “dewa-dewa pilihan yang
akan disembah, atau dewa-dewa yang lebih rendah seperti dewa kampong, roh air
dan pepohonan dan dewa-dewa yang menyebabkan penyakit.” J.H. Neumann mencatat
diantara orang Karo, nama dibata memiliki banyak arti. Ada tuhan dalam tiga
rupa yakni dibata si telu, manusia
disebut dibata, seperti para leluhur
yang telah lama meninggal (nini empung), jin ujung, matahari dan lain
sebagainya, semuanya disebut dibata.
Apa saja yang tidak lazim (mehantu)
yang penuh kekuatan (megegeh) atau yang dimiliki oleh
kekuasaan setan (mejin), disebut oleh
golongan perbegu sebagai Dibata.
Allah yang tiga
(dibata si telu) yang dimaksudkan
Neumann tampaknya merupakan refleksi orang Karo terhadap trimurti dalam Hindu:
Brahma sang pencipta, Vishnu sang pembela, dan Shiva sebagai perusak. Dalam
masyarakat Karo, ketiga dibata itu
adalah:
-
Dibata i atas “Allah yang di dunia atas” (dibata kaci-kaci atau Guru Butara)
-
Dibata i tengah “Allah di dunia tengah” (Tuhan Padukah ni Aji)
-
Dibata i teruh “Allah yang di dunia bawah” (Tuan Banua Koling).
Para informan
telah menjelaskan bahwa kepercayaan terhadap trinitas ilahi adalah umum
ditemukan di tengah masyarakat Karo, dan telah menjadi bagian penting sebagai
respons orang Karo terhadap agama
Kristiani sekarang ini. Di samping dibata
si telu, masih terdapat dua unsure kekuatan yaitu: Sinarmataniari dan Si Beru Dayang.
Sinarmataniari adalah yang member
penerang. Tempatnya adalah di matahari terbit dan matahari terbenam. Dia
mengikuti perjalanan matahari dan menjadi penghubung antara Guru Butara, Tuan Padukah ni Aji dan Tuan Banua Koling. Si Beru Dayang adalah sosok
wanita yang bersemayam di bulan. Tugasnya adalah membuat dunia tengah tempatnya
Tuan Padukah ni Aji tetap kuat dan
tidak dapat diterbangkan oleh angin topan. Juga Si Beru Dayang ini
seringkali menampakkan wujudnya dalam rupa pelangi. Menurut cerita kuno Karo, Si Beru Dayang ini berasal dari begu seorang wanita yang pernah berbuat
tidak senonoh dengan anak kandungnya sendiri semasa di dunia ini.[2]
Jauh sebelum
dunia ini tercipta, ketiga bagian dibata
si telu yaitu Guru Butara, Tuan Padukah ni Aji
beserta Tuan Banua Koling sudah ada. Guru
Butara dari dunia atas menurunkan
saudaranya Tuan Banua Koling ke dunia bawah untuk memerintah dan berkuasa
disana. Tuan Padukah ni Aji diutusnya ke dunia tengah, dan mengijinkannya
untuk menciptakan dunia serta menguasai dan memerintah di sana. Sesampainya di
dunia tengah, maka Tuan Padukah ni Aji menciptakan dunia ini.
Tatkala Tuan Banua Koling hendak melihat ke dunia atas, pandangannya
terhalang oleh bumi. Dia pun marah. Maka segeralah ia menciptakan angin puting
beliung untuk meniup dan merusak gugusan langit. Sinarmataniari melihat kejengkelan hati dan pikiran Tuan Banua Koling itu, maka bumi yang masih muda lagi lembek itu
menjadi kembang, sehingga terjadilah gunung-gunung dan bukit-bukit serta
lembah-lembah yang berisi air, dan terjadilah pemisahan antara darat dan
lautan.
3.
Perbegu
, Agama Pemena Atau Kiniteken Sipemena dalam
tradisi suku Karo
Agama Pemena/ Kiniteken Sipemena adalah juga disebut agama perbegu di
tengah-tengah masyarakat Karo. Latar belakang pemikiran yang hidup pada manusia
Karo sudah mengada sejak jaman pra historis. Orang Karo yang hidup dalam “Kiniteken Pemena/Agama Pemena (pagan,
heiden, kafir, perbegu) merasakan dan mengalami bahwa semua aspek kehidupannya
diresapi oleh konsep keberagamaanya. Tidak ada aspek kehidupan berada di luar
pengaruh agama atau konsep adikodrati. Setiap suku bangsa, termasuk suku bangsa
Karo berusaha menyesuaikan hidupnya dengan alam sekitarnya. Dengan penyesuaian
tersebut maka setiap keluarga mendapatkan keperluan hidupnya seperti makanan,
minuman dan perlindungan. Dalam penyesuaian diri tersebut muncul pelbagai
tanggapan manusia dan membentuk kebiasaan-kebiasaan manusia sesuai dengan
lingkungannya.
Dalam
penyesuaian diri dengan alam sekitar, manusia merasakan bahwa ia berhadapan
dengan kuasa-kuasa yang mengatur dalam perubahan-perubahan alam. Manusia
merasakan bahwa ada yang mengatur musim-musim, keberhasilan panen, peredaran
angin dan awan, hewan, dan lainnya. Semuanya ini diluar kemampuan manusia dan
merasakan kemampuan manusia terbatas. Manusia berkumpul dalam kelompok-kelompok
atau suku-suku bangsa mempersatukan kekuatan untuk menghadapi kuat kuasa yang
tidak nampak oleh mata mereka. Karena diyakini itu adalah yang lain dari mereka
yang merupakan diatas dari segala kemampuan dan hal-hal manusia yang ada pada
mereka melebihi yang lain tersebut. Manusia memanggil atau berseru kepada
kuasa-kuasa atau kekuatan-kekuatan alam atau roh-roh. Melalui pengalamannya
berhubungan dengan kuasa-kuasa tersebut mau hadir dengan cara tertentu, tempat
dan waktu tertentu. Akhirnya kuat kuasa magis-mistis-animistis tersebut
dibesarkan dan disembah serta membuat nama-namanya. Kuasa satu dewa isalnya
bergantung kepada apa yang diperbuatnya. Dalam Agama Pemena/ Kiniteken Sipemena yang hidup dalam masyarakat Karo
adalah percampuran konsep keagamaan terhadap “Dibata Kaci-kaci” (Allah Pencipta) sebagai sisa-sisa “Ur-Monotheism” atau bentuk “monotheisme asali” dengan penyembahan
yang sifatnya animistis yakni
penyembahan atau pemujaan terhadap roh orang mati dan juga paham dynamism yang
masih hidup. Percampuran inilah yang sering nampak didalam banyak tata cara, “bicara”, “kiniteken” dan “adat istiadat” Karo. Konsep agama yang
sifatnya synkretisme ini benar-benar campur aduk dan tidak terpisahkan, tidak
dapat dipilah-pilah dalam praktek tahap kebudayaan dan cara berfikir mitis
serta magis mengenai dunia ini.[3]
3.1.
Magic
Istilah
“magic”[4]
dating dari orang Persia yang berarti sihir, magic dalam tahap kebudayaan
yang sderhana adalah suatu cara hidup, cara berpikir. Pertama, dunia ini penuh
dengan daya-daya gaib atau kekuasaan-kekuasaan gaib yang luar biasa yang tidak
dapat diatasi oleh manusia. Kedua, kekuasaan gaib ini dipergunakan untuk
hal-hal yang baik dan yang buruk. Manusia magic berpikir bahwa ia dapat
mempergunakan kuasa-kuasa gaib tidak secara logis, padahal manusia modern
berusaha menguasai daya-daya alam dengan peralatan teknik atau iptek. Manusia
magic juga mencoba mengiasainya dengan teknik tapi di samping itu ia mau
melakukan lebih banyak sebab ia berpikir tehnik itu tidak cukup. Itulah
sebabnya ia memakai kuasa-kuasa gaib
untuk berproduksi, misalnya dalam berladang dan aspek-aspek kehidupan lainnya.
Ia juga memakai daya-daya yang keramat untuk menyuburkan tanahnya. Ia melakukan
pekerjaannya misalnya di ladang dengan melakukan tata cara yang bersifat magic
sebagai suatu bentuk perlawanan dari pihak manusia untuk menaklukkan
kuasa-kuasa yang dijumpainnya. Ia berusaha agar kuasa-kuasa gaib tersebut dapat
ditaklukkan. Dalam konsep seperti ini, manusia magic bukan saja menaklukkan
tanah perladangannya dengan cangkul atau bajak, tapi juga dengan tata cara
ritus-ritus tertentu. Ia memakai alat-alat yang tidak rasional untuk maksud
tersebut.
3.2.
Ritus dan Kepercayaan Pada Roh-Roh Gaib (tendi)
Orang-orang
Karo juga sangat dekat dengan suatu bentuk kepercayaan atau keyakinan terhadap
tendi (jiwa). Tendi dipandang sebagai sebuah kehidupan jiwa yang
keberadaannya dibayangkan sama dengan roh-roh gaib. Alam semesta dikuasai oleh
sekumpulan tendi. Setiap titik dalam alam semesta mengandung tendi. Dunia gaib
disebut juga dunia pertendin. Tendi juga adalah sebutan untuk roh manusia yang
masih hidup. Jika orang itu telah meninggal, tendinya akan berubah menjadi begu
(roh).[5]
Sebuah
ritual akan dilakukan apabila terjadi ketidakseimbangan antara tubuh-tendi
jiwa-perasaan, nafas, dan pikiran dalam diri seseorang sebagai sebuah semesta
kecil (‘mikro-kosmos’). Ketidakseimbangan ini akan menyebabkan berbagai
kerugian, seperti; bangger (sakit), mara (malapetaka) dan akhirnya kematen
(kematian). Daya pikiran manusia dianggap bertanggungjawab ‘ke luar’ guna
menjaga keseimbangan dalam diri manusia dengan keseimbangan luar sebagai
‘makro-kosmos’ (alam semesta) yang meliputi dunia gaib, kesatuan sosial, dan
lingkungan alam sekitar. Keseimbangan alam semesta ini akan terganggu jika
terganggunya beberapa inti kehidupan (beraspati) : inti kehidupan tanah, air,
udara, dan rumah. Salah satu contoh dari ketidakseimbangan dalam diri seseorang
adalah jika terjadi sebuah kemalangan (kematian) dari salah satu anggota
keluarga. Ritual perumah begu akan dilakukan untuk mengatasinya. [6]
Sebelum
upacara memasuki tahap inti, si baso meminta izin pada beberapa inti kehidupan
(nini beraspati) sebagai penguasa alam dan memanggil jenujungnya hingga ia
berhasil mencapai keadaan kesurupan. Nyanyian guru si baso memanggil jenujung
adalah memanggil raja kepultaken dan raja kesunduten (penguasa matahari terbit
dan penguasa matahari terbenam):
“Enda maka kurudangken rudang kapias, ras pe rimo malem. Kuturangken kam melias dapet ate malem. O…turang rudang kapias rudang tara tinggi, e bandu kepe rudangta. Mare nini raja keputaken berkat kam kerina raja kesunduten, maka si dungi dahinta. Adi la kam reh la aku beloh. Kuleboh kel kam kerina, masok kel kam kerina ku dagingku, adi la kem reh la aku beloh ermag-mag.”
(Ini telah kubungakan bunga kapias, juga
jeruk kesejukan. Kujadikan kamu saudara yang baik untuk mendapat perasaan
damai. O… saudara bunga kapias bunga tara tinggi kiranya itu jadi bunga kita..
Mari penguasa matahari terbit berangkatlah kamu beserta penguasa matahari
terbenam, supaya kita selesaikan pekerjaan kita. Jika kamu tidak datang tidak
mampu aku melakukannya sendiri. Kupanggil kamu semua masuklah ke dalam tubuhku,
kalau kamu tidak datang tidak mampu aku bercerita dan bernyanyi).
Kehadiran
jenujung ditandai dengan perubahan prilaku guru; memicingkan mata karena merasa
ada sinar yang sangat terang dan menyilaukan, badannya terasa panas,
seolah-olah merasa diawang-awang, tubuhnya bergetar dan tiba-tiba sangat
gembira sambil berkata “ih… kai ndai tenahndu, enda aku enggo reh” (ih…apa
pesan anda, ini aku sudah datang). Guru si baso[7]
dapat langsung menari, memakan sirih, atau meminta rokok. Jenujung ini yang
akan memanggil para roh keluarga yang telah meninggal dari dunia kematian. Roh
keluarga itu akan memasuki tubuh guru si baso kemudian berkomunikasi dengan
keluarganya yang menyelenggarakan ritual.
Ritual
ini dimulai malam hari sekitar pukul 20.00 WIB dan berakhir pukul 09.00 WIB
keesokan harinya. Selama acara berlangsung, si baso memimpinnya dengan
bernyanyi. 60 Lirik dan nada lagu sangat menyentuh dengan tone tertentu untuk
menggugah perasaan peserta ritual. Dalam proses komunikasi dengan arwah melalui
tubuh guru si baso, adakalanya juga terjadi pemeriksaan penyakit untuk keluarga
yang masih hidup ataupun ramalan akan keberhasilan, penyakit, atau malapetaka
yang akan dihadapi. Ramalan ini dilakukan oleh arwah yang memasuki tubuh si
baso dengan menggunakan media sebutir telur ayam negeri yang disebut tambul.
Si
baso juga berperan sebagai perantara antara dua kerabat yang berselisih paham.
Dalam hal ini, peran si baso sebagai perantara perdamaian untuk dua kelompok
kerabat yang berkonflik. Begu (roh) atau arwah yang memasuki tubuh si baso
bertindak sebagai juru damai dan memberi beberapa nasihat.
Sebagai seseorang yang memiliki
kekuatan supranatural, seorang guru si baso memiliki fungsi untuk pemenuhan
kebutuhan rohani bagi warganya. Sebagai penyambung rasa antara manusia dan
Dibata la idah (Tuhan penguasa alam semesta yang tidak kelihatan), seperti pada
ritual mere tembunen atau muncang.[8]
Sebagai
orang yang menguasai pengetahuan tentang kosmos (alam semesta), guru si baso
juga berfungsi sebagai biak penungkunen (biro konsultasi). Warga akan meminta
penjelasan mengenai mimpi mereka, peristiwa aneh yang dialami, dan mengharapkan
nasehat-nasehat sebagai tindakan lanjutan. Nasehat terutama sangat dibutuhkan
dalam kasus konflik antarwarga atau antar kerabat. Jika kasus terjadi dalam
lingkup kerabat dekat, si baso akan menyarankan diadakannya perumah dibata dan
disusul dengan perumah begu pada malam harinya dengan hanya melibatkan kerabat
terdekat yang bersengketa. Fokus dalam acara diarahkan pada penyelesaian
konflik. Dalam kasus ini, si baso juga berfungsi sebagai pengikat solidaritas
sosial.
Selain menjaga keseimbangan dalam diri manusia, secara
tidak langsung si baso juga berperan menjaga keseimbangan berjalannya norma dan
nilai adat-istiadat. Pergeseran norma dan nilai adat dapat menjadikan jalannya
adat menyimpang dan menyebabkan para leluhur marah dan mencelakakan manusia. Orang Karo dalam pengalamannya setiap
hari sering berhadapan dengan gejala-gejala dan peristiwa-peristiwa alam yang
kadang kala di luar pengetahuan dan daya kemampuannya. Dalam pengalaman ini
mereka merasa disentuh, gembira, bahagia, tenteram, dan merasa aman, namun
sekaligus menakutkan. Mereka tidak dapat mengungkapkan pengalaman ini, tetapi
dapat merasakannya. Meskipun orang-orang Karo tidak dapat melihat “Tuhan” yang
sering membantunya dalam hidupnya namun orang-orang Karo sangat merasakan
kehadirannya, dimana mereka sering mengalami peristiwa-peristiwa yang diluar
dari kesanggupan dan akal pikiran mereka, maka dari situ, mereka menyakini
bahwa itulah “tuhan” yang selalu member kehidupan kepada mereka. Kepercayaan
ini lah yang selalu dipegang oleh banyak masyarakat Karo, hingga sekarang masih
ada seperti demikian.
3.3.
Mite [9]
Mite adalah
konsep asali yang berkelanjutan membentuk cara kehidupan yang sekarang.
Kehidupan yang meliputi perasaan dan berupa pemikiran manusia yang dibentuk
beberapa mite pada manusia tahap kebudayaan sederhana (primitif). Bila
seseorang berfikir magic, ia merasakan dunia ini dan kehidupannya di dunia ini
dikelilingi oleh kuasa-kuasa gaib. Ia hidup didalam dunia dan dunia
dirasakannya ke dalam dirinya. Sedangkan manusia mitis merasakan ia hidu didala
dunia dan ia mencoba membawa perasaannya dan dirinya keluar. Cara berfikir
mitis cendrung kepada perwujudan. Mite bukan sekedar dongeng atau cerita yang
perna terjadi. Mite terjadi pada jaman asali dan menjadi dasar yang kuat untuk
kehidupan jaman sekarang. Di dalam mite kita dapat menjumpai ilmu sejarah sebab
mite bukan sejarah yang telah berhenti atau terkunci. Manusia primitif tidak
tertarik kepada ilmu sejarah sebab apa yang telah terjadi pada jaman asali
terus berulan-ulang menentukan kehidupan yang sekarang. Pengertian sejarah
muncul dan terjadi pada orang-orang Israel yakni perbuatan Allah yang bergerak
menuju ke suatu arah yang tertentu. Sejarah menuju kepada suatu tujuan
sedangkan mite menjadikan ulang sejarah asali. Bila mite (cerita asali)
dilaksanakan maka tidak terjadi malapetaka tapi bila mite tidak dilakukan maka
terjadi bencana, kelangsungan kehidupan dunia terancam. Itulah sebabnya manusia
harus melaksanakan sesuai dengan mite yang ada atau ceritra atau “orat nggeluh” yang ada. Upacara-upacara
harus senantiasa dilaksanakan agar peristiwa mitis terus berulang kembali. Mite
diulangi dengan upacara asali agar kehidupan berjalan kepada yang benar.
Kesusilaan juga
pada manusia mitis atau peradaban sederhana ditentukan oleh tata tertip dunia
yang sudah ada dalam mite. Dosa adalah gangguan yang merusak tata tertip dunia
ini. Dosa disadari manusia mitis sebagai suatu bahaya atau ancaman terhadap
kelangsungan tata tertip dunia. Oleh karena itu ada banyak pantangan-pantangan yang
dalam ilmu agama disebut”tabu”. Bila
ada bencana, manusia mitis terus melihat apa penyebabnya. Ia melihat
kebelakang, apa-apa yang telah membuat tata tertip dunia tidak dilakukan
manusia berjalan menurut semestinya atau apakah ada manusia yang melanggar atau
merusaknya. Secara umum pengertian dosa benar-benar menjadi kentara di dalam
pelanggaran-pelanggaran seksual. Pelanggaran seperti itu dianggap bukan hanya
pelanggaran terhadap dewa tapi pelanggaran terhadap tata tertib yang mengganggu
keseimbangan. Hal seperti ini dahulu di Karo misalnya, orang bersangkutan harus
dihukum dengan cara dibenamkan di air dan atau diusir dari desa dan sanak
keluarganya, atau juga ada dengan upacara “nabei”
(membayar hutang) bila dianggap tidak terlalu parah.
Pengertian dosa
dalam masyarakat pradaban sederhana atau manusia mitis berbeda dengan
pengertian Kristen dimana dosa itu menjadi nyata di hadapan Allah. Dalam
manusia mitis atau primitif sesuatu dosa itu dosa bila sudah menjadi terang dan
nampak (gempar). Misalnya seseorang yang menipu temannya selama penipuannya itu
belum tertangkap maka apa yang dilakukannya itu merupakan kepandaiannya saja.
Inilah sifat kekafiran yang “melawanAllah”,
yang jahat terpuji dalam “Agama pemena”
(kekafiran). Akan tetapi bila seseorang yang jahat tertangkap basah, itu
berarti bodoh, disitulah dosa itu sudah jelas dan gempar serta dianggap dosa.
banyak upacara-upacara kehidupan (ritus-ritus) yang ada mitenya sendiri dan
upacara itu seakan sebuah sandiwara tentang peristiwa asali. mite adalah
naskahnya ataupun tradisinya yaitu apa yang dituliskan atau ditradisikan itulah
selalu diulangi di dalam kehidupan yang sekarang.[10]
Dalam “Agama Pemena” atau Animisme di Karo
dijumpai susunan tertentu budi manusia Karo, suatu cara tertentu didalam
memahami atau mengalami dunia dan “Dibata Kaci-kaci” (Allah Pencipta). Ada
persepsi tertentu bagaimana manusia Karo pada jaman dahulu memahami kehidupan
dan kuasa-kuasa yang mengeliligi hidupnya dan juga memperlihatkan mentalitet
atau sikap rohani tertentu pada manusia Karo. Adapun struktur rohani manusia
Karo dalam “Agama Pemena” adalah:
1)
Nisbah
Antara Subyek Dan Obyek Masih Kabur
2)
Kesadaran
Atau Pengalaman Totalitas Terhadap Dunia
3)
Ada
Semacam Paham Partisipasi Yaitu Perasaan Ikut Serta Mengambil Bagian Di Dalam Sesuatu
Hal
4)
Konsep
Tentang Dunia Secara Magic
5)
Konsep
Mite Dalam Cara Berpikir Mitis
6)
Dosa
Kehidupan Tidak Berakhir Setelah Kematian
4.
Kesimpulan
Orang Karo
tradisional dalam pengalamannya setiap hari sering berhadapan dengan
gejala-gejala dan peristiewa-peristiwa lain yang kadang kala di luar dari
pengetahuan dan daya kemampuannya. Dalam pengalaman ini mereka merasa disentuh,
gembira, bahagia, tentram, dan merasa aman. Pengalaman ini menimbulkan adanya
ide tentang Allah dan mendorong mereka pada suatu kepercayaan yang disebut
dengan erkiniteken. Kepercayaan terhadap adanya
Allah pencipta alam semesta beserta dengan segala isinya. Allah yang dikenal
orang Karo itu disebut Dibata (Allah).
Dia begitu besar dan Mahakuasa, kemahakuasaan Allah itu sedemikian besar dan
agung, sehingga manusia tak mungkin menghampiri-Nya. Hal ini menimbulkan suatu
ide kepada kekuatan lain yang dapat dihampiri dan didekati, yakni kepercayaan
terhadap kekuatan alam dan roh-roh orang yang sudah meninggal dunia.
Kepercayaan ini disebut dengan kepercayaan perbegu. (per artinya yakin akan,
yang mempunyai, begu artinya roh, mahluk halus, roh orang yang
sudah meninggal).
Menurut
kepercayaan perbegu ini, selain adanya kebesaran Allah Yang Maha Pencipta
segala yang ada, mereka masih percaya pada kekuatan-kekuatan lain yang sangat
ditakuti dan dihormati manusia, yakni kepercayaan terhadap kekuatan-kekuatan
dan kuasa-kuasa roh (begu). Dari situlah munculnya Agama Pemena atau Kiniteken
Si Pemena, karena adanya kekuatan yang lain itu maka orang Karo pada jaman
dahulu membentuk suatu perkumpulan atau kepercayaan dengan nama Agama Pemena atau Kiniteken
si Pemena. Disinilah manusia Karo membentuk berbagai ritus-ritus serta
aturan-aturan yang disepakati bersama.
Daftar Pustaka
1. Bangun, Teridah. Penelitian
Dan Pencatatan Adat Istiadat Karo. Jakarta : Yayasan Merga Silima, 1990.
2. Gintings, E.P. Relegi Karo, Membaca Relegi Karo dengan Mata
yang Baru. Kabanjahe: Abdi
Karya, 2002.
3.
Sembiring,
Nongo. Ide-ide Allah Dalam Pandangan
Orang Karo. Pematangsiantar: STFT St. Yohanes, 1996.
4.
Kriswanto
Ginting dan Leo Joosten Ginting. Tanah
Karo Selayang Pandang. Medan: Bina Media Perintis, 2014.
[1] Leo Joosten Ginting
dan Kriswanto Ginting, Tanah Karo
Selayang Pandang (Medan: Bina Media Perintis, 2014), hlm. 9-10.
[2]
Leo Joosten Ginting dan Kriswanto Ginting, Tanah
Karo…, hlm.12.
[3] E.P.Gintings, Relegi Karo, Membaca Relegi
Karo dengan Mata yang Baru(Kabanjahe:
Abdi Karya, 2002), hlm. 7-8.
[5] Nongo Sembiring ,Ide-ide Allah Dalam Pandangan Orang Karo(Pematangsiantar:
STFT St. Yohanes,1996) ,hlm. 46-50.
[6] Tridah Bangun ,Adat Istiadat Karo, (Jakarta: Yayasan
Marga Silima,1990), hlm. 32-35.
[7] Guru Sibaso adalah yang menjadi pengantara orang yang hidup dan
mati, dan juga dapat melihat hal-hal ajaib dan dunia makhluk halus (seer) atau
dunia roh.
[8] Nongo Sembiring ,Ide-ide..., hlm. 46-50.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar