Translate

Minggu, 07 Oktober 2018

Agama Pemena


Agama Pemena Atau Kiniteken Si Pemena 
Dalam Budaya Karo
1.      Pengantar
Agama asli pada masyarakat Karo sebelum diperkenalkan oleh para pedakwah Islam dan misionaris Kristen ke Tanah Karo adalah Kiniteken Pemena/Agama Pemena. Bagi kaum Muslim, Kiniteken Sipemena tidak lebih dari kafir, atau orang yang tidak percaya akan Allah, sedangkan bagi umat Kristen adalah paganis atau penyembah berhala. Para etnolog Eropa, khususnya dari abad ke-19 dan awal abad ke-20, kebanyakan diantaranya terdiri dari kalangan misionaris atau para peneliti yang menyimpulkan bahwa suku Karo pada saat itu tergolong animisme atau menyembah roh-roh leluhur dan roh yang mendiami tempat mereka tinggal.
Dalam dunia tradisionalnya, suku Karo tidak membedakan antara kategori seperti “religion” (agama), “magic” (kekuatan sihir), “custom” (adat istiadat),  “culture” (budaya), “belief” (kepercayaan), dan “ceremony” (perayaan) yang dinyatakan sebagai satu bentuk (sepaket) dengan perbegu. Istilah perbegu sangat erat kaitannya dengan keberadaan begu (roh-roh leluhur) dan dengan berbagai ritual dan seremoni yang berhubungan dengan begu. Meskipun dalam bahasa Indonesia istilah perbegu memberikan konotasi negatif seperti kata primitif atau pun sejenisnya, namun pada dasarnya tidaklah selalu demikian. Seorang penulis dan antropolog di tahun 2013 pernah mengemukakan bahwa perbegu  adalah istilah yang dipakai para misionaris, akan tetapi istilah ini lebih sering digunakan tanpa sedikit pun ada rasa enggan oleh suku Karo itu sendiri sampai tahun 1960-an. Keluguan yang melekat pada suku Karo telah menimbulkan pergeseran posisi perbegu  dan kafir dalam tahun-tahun terakhir dengan istilah  kiniteken si pemena atau agama pemena (kepercayaan asli) atau dalam ungkapan bahasa Indonesia belum masuk agama.[1]

2.      Dibata “tuhan” suku Karo
Istilah Dibata tampaknya berasal dari bahasa sansekerta deva, yang telah masuk kedalam bahasa Indonesia sebagai dewa, yakni “segala sesuatu yang dipuji atau disembah”, dan dalam bahasa Latin sebagai Deus, atau Allah. Dalam agama India, deva adalah Allah atau dewa-dewa utama, yakni ”dewa atau Allah yang memberikan terang atau sinar matahari”  (dewa matahari). Devata (jamak), diaplikasikan terhadap dewa-dewa khusus ishta devata “dewa-dewa pilihan yang akan disembah, atau dewa-dewa yang lebih rendah seperti dewa kampong, roh air dan pepohonan dan dewa-dewa yang menyebabkan penyakit.” J.H. Neumann mencatat diantara orang Karo, nama dibata  memiliki banyak arti. Ada tuhan dalam tiga rupa yakni dibata si telu, manusia disebut dibata, seperti para leluhur yang telah lama meninggal (nini empung), jin ujung, matahari dan lain sebagainya, semuanya disebut dibata. Apa saja yang tidak lazim (mehantu) yang penuh kekuatan  (megegeh) atau yang dimiliki oleh kekuasaan setan (mejin), disebut oleh golongan perbegu sebagai Dibata.
Allah yang tiga (dibata si telu) yang dimaksudkan Neumann tampaknya merupakan refleksi orang Karo terhadap trimurti dalam Hindu: Brahma sang pencipta, Vishnu sang pembela, dan Shiva sebagai perusak. Dalam masyarakat Karo, ketiga dibata itu adalah:
-        Dibata i atas “Allah yang di dunia atas” (dibata kaci-kaci atau Guru Butara)
-        Dibata i tengah “Allah di dunia tengah” (Tuhan Padukah ni Aji)
-        Dibata i teruh “Allah yang di dunia bawah” (Tuan Banua Koling).
Para informan telah menjelaskan bahwa kepercayaan terhadap trinitas ilahi adalah umum ditemukan di tengah masyarakat Karo, dan telah menjadi bagian penting sebagai respons orang Karo  terhadap agama Kristiani sekarang ini. Di samping dibata si telu, masih terdapat dua unsure kekuatan yaitu: Sinarmataniari dan Si Beru Dayang. Sinarmataniari  adalah yang member penerang. Tempatnya adalah di matahari terbit dan matahari terbenam. Dia mengikuti perjalanan matahari dan menjadi penghubung antara Guru Butara, Tuan Padukah ni Aji dan Tuan Banua Koling. Si Beru Dayang  adalah sosok wanita yang bersemayam di bulan. Tugasnya adalah membuat dunia tengah tempatnya Tuan Padukah ni Aji tetap kuat dan tidak dapat diterbangkan oleh angin topan. Juga  Si Beru Dayang ini seringkali menampakkan wujudnya dalam rupa pelangi. Menurut cerita kuno Karo, Si Beru Dayang ini berasal dari begu seorang wanita yang pernah berbuat tidak senonoh dengan anak kandungnya sendiri semasa di dunia ini.[2]
Jauh sebelum dunia ini tercipta, ketiga bagian dibata si telu  yaitu  Guru Butara, Tuan Padukah ni Aji  beserta  Tuan Banua Koling  sudah ada. Guru Butara  dari dunia atas menurunkan saudaranya Tuan Banua Koling  ke dunia bawah untuk memerintah dan berkuasa disana. Tuan Padukah ni Aji  diutusnya ke dunia tengah, dan mengijinkannya untuk menciptakan dunia serta menguasai dan memerintah di sana. Sesampainya di dunia tengah, maka  Tuan Padukah ni Aji menciptakan dunia ini. Tatkala  Tuan Banua Koling  hendak melihat ke dunia atas, pandangannya terhalang oleh bumi. Dia pun marah. Maka segeralah ia menciptakan angin puting beliung untuk meniup dan merusak gugusan langit.  Sinarmataniari  melihat kejengkelan hati dan pikiran Tuan Banua Koling  itu, maka bumi yang masih muda lagi lembek itu menjadi kembang, sehingga terjadilah gunung-gunung dan bukit-bukit serta lembah-lembah yang berisi air, dan terjadilah pemisahan antara darat dan lautan.

3.      Perbegu , Agama Pemena Atau Kiniteken Sipemena  dalam tradisi suku Karo
Agama Pemena/ Kiniteken Sipemena adalah juga disebut agama perbegu di tengah-tengah masyarakat Karo. Latar belakang pemikiran yang hidup pada manusia Karo sudah mengada sejak jaman pra historis. Orang Karo yang hidup dalam “Kiniteken Pemena/Agama Pemena (pagan, heiden, kafir, perbegu) merasakan dan mengalami bahwa semua aspek kehidupannya diresapi oleh konsep keberagamaanya. Tidak ada aspek kehidupan berada di luar pengaruh agama atau konsep adikodrati. Setiap suku bangsa, termasuk suku bangsa Karo berusaha menyesuaikan hidupnya dengan alam sekitarnya. Dengan penyesuaian tersebut maka setiap keluarga mendapatkan keperluan hidupnya seperti makanan, minuman dan perlindungan. Dalam penyesuaian diri tersebut muncul pelbagai tanggapan manusia dan membentuk kebiasaan-kebiasaan manusia sesuai dengan lingkungannya.
Dalam penyesuaian diri dengan alam sekitar, manusia merasakan bahwa ia berhadapan dengan kuasa-kuasa yang mengatur dalam perubahan-perubahan alam. Manusia merasakan bahwa ada yang mengatur musim-musim, keberhasilan panen, peredaran angin dan awan, hewan, dan lainnya. Semuanya ini diluar kemampuan manusia dan merasakan kemampuan manusia terbatas. Manusia berkumpul dalam kelompok-kelompok atau suku-suku bangsa mempersatukan kekuatan untuk menghadapi kuat kuasa yang tidak nampak oleh mata mereka. Karena diyakini itu adalah yang lain dari mereka yang merupakan diatas dari segala kemampuan dan hal-hal manusia yang ada pada mereka melebihi yang lain tersebut. Manusia memanggil atau berseru kepada kuasa-kuasa atau kekuatan-kekuatan alam atau roh-roh. Melalui pengalamannya berhubungan dengan kuasa-kuasa tersebut mau hadir dengan cara tertentu, tempat dan waktu tertentu. Akhirnya kuat kuasa magis-mistis-animistis tersebut dibesarkan dan disembah serta membuat nama-namanya. Kuasa satu dewa isalnya bergantung kepada apa yang diperbuatnya. Dalam Agama Pemena/ Kiniteken Sipemena yang hidup dalam masyarakat Karo adalah percampuran konsep keagamaan terhadap “Dibata Kaci-kaci” (Allah Pencipta) sebagai sisa-sisa “Ur-Monotheism” atau bentuk “monotheisme asali” dengan penyembahan yang sifatnya animistis  yakni penyembahan atau pemujaan terhadap roh orang mati dan juga paham dynamism yang masih hidup. Percampuran inilah yang sering nampak didalam banyak tata cara, “bicara”, “kiniteken” dan “adat istiadat” Karo. Konsep agama yang sifatnya synkretisme ini benar-benar campur aduk dan tidak terpisahkan, tidak dapat dipilah-pilah dalam praktek tahap kebudayaan dan cara berfikir mitis serta magis mengenai dunia ini.[3]
3.1. Magic
Istilah “magic”[4] dating dari orang Persia yang berarti sihir, magic dalam tahap kebudayaan yang sderhana adalah suatu cara hidup, cara berpikir. Pertama, dunia ini penuh dengan daya-daya gaib atau kekuasaan-kekuasaan gaib yang luar biasa yang tidak dapat diatasi oleh manusia. Kedua, kekuasaan gaib ini dipergunakan untuk hal-hal yang baik dan yang buruk. Manusia magic berpikir bahwa ia dapat mempergunakan kuasa-kuasa gaib tidak secara logis, padahal manusia modern berusaha menguasai daya-daya alam dengan peralatan teknik atau iptek. Manusia magic juga mencoba mengiasainya dengan teknik tapi di samping itu ia mau melakukan lebih banyak sebab ia berpikir tehnik itu tidak cukup. Itulah sebabnya  ia memakai kuasa-kuasa gaib untuk berproduksi, misalnya dalam berladang dan aspek-aspek kehidupan lainnya. Ia juga memakai daya-daya yang keramat untuk menyuburkan tanahnya. Ia melakukan pekerjaannya misalnya di ladang dengan melakukan tata cara yang bersifat magic sebagai suatu bentuk perlawanan dari pihak manusia untuk menaklukkan kuasa-kuasa yang dijumpainnya. Ia berusaha agar kuasa-kuasa gaib tersebut dapat ditaklukkan. Dalam konsep seperti ini, manusia magic bukan saja menaklukkan tanah perladangannya dengan cangkul atau bajak, tapi juga dengan tata cara ritus-ritus tertentu. Ia memakai alat-alat yang tidak rasional untuk maksud tersebut.

3.2. Ritus dan Kepercayaan Pada Roh-Roh Gaib (tendi)
Orang-orang Karo juga sangat dekat dengan suatu bentuk kepercayaan atau keyakinan terhadap tendi (jiwa). Tendi dipandang sebagai sebuah kehidupan jiwa yang keberadaannya dibayangkan sama dengan roh-roh gaib. Alam semesta dikuasai oleh sekumpulan tendi. Setiap titik dalam alam semesta mengandung tendi. Dunia gaib disebut juga dunia pertendin. Tendi juga adalah sebutan untuk roh manusia yang masih hidup. Jika orang itu telah meninggal, tendinya akan berubah menjadi begu (roh).[5]

Sebuah ritual akan dilakukan apabila terjadi ketidakseimbangan antara tubuh-tendi jiwa-perasaan, nafas, dan pikiran dalam diri seseorang sebagai sebuah semesta kecil (‘mikro-kosmos’). Ketidakseimbangan ini akan menyebabkan berbagai kerugian, seperti; bangger (sakit), mara (malapetaka) dan akhirnya kematen (kematian). Daya pikiran manusia dianggap bertanggungjawab ‘ke luar’ guna menjaga keseimbangan dalam diri manusia dengan keseimbangan luar sebagai ‘makro-kosmos’ (alam semesta) yang meliputi dunia gaib, kesatuan sosial, dan lingkungan alam sekitar. Keseimbangan alam semesta ini akan terganggu jika terganggunya beberapa inti kehidupan (beraspati) : inti kehidupan tanah, air, udara, dan rumah. Salah satu contoh dari ketidakseimbangan dalam diri seseorang adalah jika terjadi sebuah kemalangan (kematian) dari salah satu anggota keluarga. Ritual perumah begu akan dilakukan untuk mengatasinya. [6]
Sebelum upacara memasuki tahap inti, si baso meminta izin pada beberapa inti kehidupan (nini beraspati) sebagai penguasa alam dan memanggil jenujungnya hingga ia berhasil mencapai keadaan kesurupan. Nyanyian guru si baso memanggil jenujung adalah memanggil raja kepultaken dan raja kesunduten (penguasa matahari terbit dan penguasa matahari terbenam):

“Enda maka kurudangken rudang kapias, ras pe rimo malem. Kuturangken kam melias dapet ate malem. O…turang rudang kapias rudang tara tinggi, e bandu kepe rudangta. Mare nini raja keputaken berkat kam kerina raja kesunduten, maka si dungi dahinta. Adi la kam reh la aku beloh. Kuleboh kel kam kerina, masok kel kam kerina ku dagingku, adi la kem reh la aku beloh ermag-mag.”

(Ini telah kubungakan bunga kapias, juga jeruk kesejukan. Kujadikan kamu saudara yang baik untuk mendapat perasaan damai. O… saudara bunga kapias bunga tara tinggi kiranya itu jadi bunga kita.. Mari penguasa matahari terbit berangkatlah kamu beserta penguasa matahari terbenam, supaya kita selesaikan pekerjaan kita. Jika kamu tidak datang tidak mampu aku melakukannya sendiri. Kupanggil kamu semua masuklah ke dalam tubuhku, kalau kamu tidak datang tidak mampu aku bercerita dan bernyanyi).

Kehadiran jenujung ditandai dengan perubahan prilaku guru; memicingkan mata karena merasa ada sinar yang sangat terang dan menyilaukan, badannya terasa panas, seolah-olah merasa diawang-awang, tubuhnya bergetar dan tiba-tiba sangat gembira sambil berkata “ih… kai ndai tenahndu, enda aku enggo reh” (ih…apa pesan anda, ini aku sudah datang). Guru si baso[7] dapat langsung menari, memakan sirih, atau meminta rokok. Jenujung ini yang akan memanggil para roh keluarga yang telah meninggal dari dunia kematian. Roh keluarga itu akan memasuki tubuh guru si baso kemudian berkomunikasi dengan keluarganya yang menyelenggarakan ritual.
Ritual ini dimulai malam hari sekitar pukul 20.00 WIB dan berakhir pukul 09.00 WIB keesokan harinya. Selama acara berlangsung, si baso memimpinnya dengan bernyanyi. 60 Lirik dan nada lagu sangat menyentuh dengan tone tertentu untuk menggugah perasaan peserta ritual. Dalam proses komunikasi dengan arwah melalui tubuh guru si baso, adakalanya juga terjadi pemeriksaan penyakit untuk keluarga yang masih hidup ataupun ramalan akan keberhasilan, penyakit, atau malapetaka yang akan dihadapi. Ramalan ini dilakukan oleh arwah yang memasuki tubuh si baso dengan menggunakan media sebutir telur ayam negeri yang disebut tambul.
Si baso juga berperan sebagai perantara antara dua kerabat yang berselisih paham. Dalam hal ini, peran si baso sebagai perantara perdamaian untuk dua kelompok kerabat yang berkonflik. Begu (roh) atau arwah yang memasuki tubuh si baso bertindak sebagai juru damai dan memberi beberapa nasihat. Sebagai seseorang yang memiliki kekuatan supranatural, seorang guru si baso memiliki fungsi untuk pemenuhan kebutuhan rohani bagi warganya. Sebagai penyambung rasa antara manusia dan Dibata la idah (Tuhan penguasa alam semesta yang tidak kelihatan), seperti pada ritual mere tembunen atau muncang.[8]
Sebagai orang yang menguasai pengetahuan tentang kosmos (alam semesta), guru si baso juga berfungsi sebagai biak penungkunen (biro konsultasi). Warga akan meminta penjelasan mengenai mimpi mereka, peristiwa aneh yang dialami, dan mengharapkan nasehat-nasehat sebagai tindakan lanjutan. Nasehat terutama sangat dibutuhkan dalam kasus konflik antarwarga atau antar kerabat. Jika kasus terjadi dalam lingkup kerabat dekat, si baso akan menyarankan diadakannya perumah dibata dan disusul dengan perumah begu pada malam harinya dengan hanya melibatkan kerabat terdekat yang bersengketa. Fokus dalam acara diarahkan pada penyelesaian konflik. Dalam kasus ini, si baso juga berfungsi sebagai pengikat solidaritas sosial.
Selain menjaga keseimbangan dalam diri manusia, secara tidak langsung si baso juga berperan menjaga keseimbangan berjalannya norma dan nilai adat-istiadat. Pergeseran norma dan nilai adat dapat menjadikan jalannya adat menyimpang dan menyebabkan para leluhur marah dan mencelakakan manusia. Orang Karo dalam pengalamannya setiap hari sering berhadapan dengan gejala-gejala dan peristiwa-peristiwa alam yang kadang kala di luar pengetahuan dan daya kemampuannya. Dalam pengalaman ini mereka merasa disentuh, gembira, bahagia, tenteram, dan merasa aman, namun sekaligus menakutkan. Mereka tidak dapat mengungkapkan pengalaman ini, tetapi dapat merasakannya. Meskipun orang-orang Karo tidak dapat melihat “Tuhan” yang sering membantunya dalam hidupnya namun orang-orang Karo sangat merasakan kehadirannya, dimana mereka sering mengalami peristiwa-peristiwa yang diluar dari kesanggupan dan akal pikiran mereka, maka dari situ, mereka menyakini bahwa itulah “tuhan” yang selalu member kehidupan kepada mereka. Kepercayaan ini lah yang selalu dipegang oleh banyak masyarakat Karo, hingga sekarang masih ada seperti demikian.
3.3. Mite [9]
Mite adalah konsep asali yang berkelanjutan membentuk cara kehidupan yang sekarang. Kehidupan yang meliputi perasaan dan berupa pemikiran manusia yang dibentuk beberapa mite pada manusia tahap kebudayaan sederhana (primitif). Bila seseorang berfikir magic, ia merasakan dunia ini dan kehidupannya di dunia ini dikelilingi oleh kuasa-kuasa gaib. Ia hidup didalam dunia dan dunia dirasakannya ke dalam dirinya. Sedangkan manusia mitis merasakan ia hidu didala dunia dan ia mencoba membawa perasaannya dan dirinya keluar. Cara berfikir mitis cendrung kepada perwujudan. Mite bukan sekedar dongeng atau cerita yang perna terjadi. Mite terjadi pada jaman asali dan menjadi dasar yang kuat untuk kehidupan jaman sekarang. Di dalam mite kita dapat menjumpai ilmu sejarah sebab mite bukan sejarah yang telah berhenti atau terkunci. Manusia primitif tidak tertarik kepada ilmu sejarah sebab apa yang telah terjadi pada jaman asali terus berulan-ulang menentukan kehidupan yang sekarang. Pengertian sejarah muncul dan terjadi pada orang-orang Israel yakni perbuatan Allah yang bergerak menuju ke suatu arah yang tertentu. Sejarah menuju kepada suatu tujuan sedangkan mite menjadikan ulang sejarah asali. Bila mite (cerita asali) dilaksanakan maka tidak terjadi malapetaka tapi bila mite tidak dilakukan maka terjadi bencana, kelangsungan kehidupan dunia terancam. Itulah sebabnya manusia harus melaksanakan sesuai dengan mite yang ada atau ceritra atau “orat nggeluh” yang ada. Upacara-upacara harus senantiasa dilaksanakan agar peristiwa mitis terus berulang kembali. Mite diulangi dengan upacara asali agar kehidupan berjalan kepada yang benar.
Kesusilaan juga pada manusia mitis atau peradaban sederhana ditentukan oleh tata tertip dunia yang sudah ada dalam mite. Dosa adalah gangguan yang merusak tata tertip dunia ini. Dosa disadari manusia mitis sebagai suatu bahaya atau ancaman terhadap kelangsungan tata tertip dunia. Oleh karena itu ada banyak pantangan-pantangan yang dalam ilmu agama disebut”tabu”. Bila ada bencana, manusia mitis terus melihat apa penyebabnya. Ia melihat kebelakang, apa-apa yang telah membuat tata tertip dunia tidak dilakukan manusia berjalan menurut semestinya atau apakah ada manusia yang melanggar atau merusaknya. Secara umum pengertian dosa benar-benar menjadi kentara di dalam pelanggaran-pelanggaran seksual. Pelanggaran seperti itu dianggap bukan hanya pelanggaran terhadap dewa tapi pelanggaran terhadap tata tertib yang mengganggu keseimbangan. Hal seperti ini dahulu di Karo misalnya, orang bersangkutan harus dihukum dengan cara dibenamkan di air dan atau diusir dari desa dan sanak keluarganya, atau juga ada dengan upacara “nabei” (membayar hutang) bila dianggap tidak terlalu parah.
Pengertian dosa dalam masyarakat pradaban sederhana atau manusia mitis berbeda dengan pengertian Kristen dimana dosa itu menjadi nyata di hadapan Allah. Dalam manusia mitis atau primitif sesuatu dosa itu dosa bila sudah menjadi terang dan nampak (gempar). Misalnya seseorang yang menipu temannya selama penipuannya itu belum tertangkap maka apa yang dilakukannya itu merupakan kepandaiannya saja. Inilah sifat kekafiran yang “melawanAllah”, yang jahat terpuji dalam “Agama pemena” (kekafiran). Akan tetapi bila seseorang yang jahat tertangkap basah, itu berarti bodoh, disitulah dosa itu sudah jelas dan gempar serta dianggap dosa. banyak upacara-upacara kehidupan (ritus-ritus) yang ada mitenya sendiri dan upacara itu seakan sebuah sandiwara tentang peristiwa asali. mite adalah naskahnya ataupun tradisinya yaitu apa yang dituliskan atau ditradisikan itulah selalu diulangi di dalam kehidupan yang sekarang.[10]
Dalam “Agama Pemena” atau Animisme di Karo dijumpai susunan tertentu budi manusia Karo, suatu cara tertentu didalam memahami atau  mengalami dunia dan “Dibata Kaci-kaci” (Allah Pencipta). Ada persepsi tertentu bagaimana manusia Karo pada jaman dahulu memahami kehidupan dan kuasa-kuasa yang mengeliligi hidupnya dan juga memperlihatkan mentalitet atau sikap rohani tertentu pada manusia Karo. Adapun struktur rohani manusia Karo dalam “Agama Pemena” adalah:
1)      Nisbah Antara Subyek Dan Obyek Masih Kabur
2)      Kesadaran Atau Pengalaman Totalitas Terhadap Dunia
3)      Ada Semacam Paham Partisipasi Yaitu Perasaan Ikut Serta Mengambil Bagian Di Dalam Sesuatu Hal
4)      Konsep Tentang Dunia Secara Magic
5)      Konsep Mite Dalam Cara Berpikir Mitis
6)      Dosa Kehidupan Tidak Berakhir Setelah Kematian


4.      Kesimpulan
Orang Karo tradisional dalam pengalamannya setiap hari sering berhadapan dengan gejala-gejala dan peristiewa-peristiwa lain yang kadang kala di luar dari pengetahuan dan daya kemampuannya. Dalam pengalaman ini mereka merasa disentuh, gembira, bahagia, tentram, dan merasa aman. Pengalaman ini menimbulkan adanya ide tentang Allah dan mendorong mereka pada suatu kepercayaan yang disebut dengan  erkiniteken. Kepercayaan terhadap adanya Allah pencipta alam semesta beserta dengan segala isinya. Allah yang dikenal orang Karo itu disebut Dibata (Allah). Dia begitu besar dan Mahakuasa, kemahakuasaan Allah itu sedemikian besar dan agung, sehingga manusia tak mungkin menghampiri-Nya. Hal ini menimbulkan suatu ide kepada kekuatan lain yang dapat dihampiri dan didekati, yakni kepercayaan terhadap kekuatan alam dan roh-roh orang yang sudah meninggal dunia. Kepercayaan ini disebut dengan kepercayaan perbegu. (per artinya yakin akan, yang mempunyai, begu artinya roh, mahluk halus, roh orang yang sudah meninggal).
Menurut kepercayaan perbegu ini, selain adanya kebesaran Allah Yang Maha Pencipta segala yang ada, mereka masih percaya pada kekuatan-kekuatan lain yang sangat ditakuti dan dihormati manusia, yakni kepercayaan terhadap kekuatan-kekuatan dan kuasa-kuasa roh (begu). Dari situlah munculnya Agama Pemena atau Kiniteken Si Pemena, karena adanya kekuatan yang lain itu maka orang Karo pada jaman dahulu membentuk suatu perkumpulan atau kepercayaan dengan nama Agama Pemena  atau Kiniteken si Pemena. Disinilah manusia Karo membentuk berbagai ritus-ritus serta aturan-aturan yang disepakati bersama.



Daftar Pustaka
1.      Bangun, Teridah.  Penelitian Dan Pencatatan Adat Istiadat Karo. Jakarta : Yayasan Merga Silima, 1990.
2.      Gintings, E.P. Relegi Karo, Membaca Relegi Karo dengan Mata yang Baru. Kabanjahe:  Abdi Karya,  2002.
3.      Sembiring, Nongo. Ide-ide Allah Dalam Pandangan Orang Karo. Pematangsiantar: STFT St. Yohanes, 1996.
4.      Kriswanto Ginting dan Leo Joosten Ginting. Tanah Karo Selayang Pandang. Medan: Bina Media Perintis, 2014.





[1] Leo Joosten Ginting dan Kriswanto Ginting, Tanah Karo Selayang Pandang (Medan: Bina Media Perintis, 2014), hlm. 9-10.
[2] Leo Joosten Ginting dan Kriswanto Ginting, Tanah Karo…, hlm.12.
[3] E.P.Gintings, Relegi Karo, Membaca Relegi Karo dengan Mata yang Baru(Kabanjahe: Abdi Karya, 2002), hlm. 7-8.
[4] E.P.Gintings, Relegi Karo …, hlm. 8.
[5] Nongo Sembiring ,Ide-ide Allah Dalam Pandangan Orang Karo(Pematangsiantar: STFT St. Yohanes,1996)  ,hlm. 46-50.
[6] Tridah Bangun ,Adat Istiadat Karo, (Jakarta: Yayasan Marga Silima,1990),  hlm. 32-35.
[7] Guru Sibaso adalah yang menjadi pengantara orang yang hidup dan mati, dan juga dapat melihat hal-hal ajaib dan dunia makhluk halus (seer) atau dunia roh.
[8] Nongo Sembiring ,Ide-ide..., hlm. 46-50.                                
[9] E.P.Gintings, Relegi Karo…,  hlm. 9.
[10] E.P.Gintings, Relegi Karo …,hlm. 10.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar