Translate

Minggu, 07 Oktober 2018

Kosmologi Budaya


KOSMOLOGI DAN PERAN-PERAN IMAM
TRADISIONAL DALAM ADAT KARO

Orang Karo tradisional mengenal Allah melalui seluruh ciptaan, gejala-gejala serta peristiwa-peristiwa yang mereka alami setiap hari. Gejala-gejala dan peristiwa-peristiwa alam tersebut sering membawa bencana dan malapetaka bagi hidup mereka. Mereka sadar bahwa bencana yang menimpa diri mereka itu adalah akibat perbuatan mereka sendiri, yang tidak mentaati hukum dan peraturan yang tertuang dalam adat. Allah dan roh-roh leluhur mereka marah karena mereka tidak lagi hidup sesuai dengan norma-norma hukum adat; mereka merusak dan mengganggu tempat-tempat yang dianggap suci dan keramat. Maka untuk menenteramkan kembali situasi yang tidak beres mi dilakukan berbagai macam ritus kepercayaan atau upacara-upacara untuk menghormati Allah dan begu-begu (roh-roh) agar situasi kembali aman dan damai.
Ritus kepercayaan yang biasa dilaksanakan Orang Karo tradisional ada beberapa jenis. Upacara- yang dilaksanakan secara bersama oleh seluruh masyarakat kampung, seperti Muncang, yaitu suatu bentuk ritus yang di dalamnya tercampur tari-tarian yang diiringi dengan gendang (musik tradisional), nyanyian dan pemberian sajiarn kepada begu (roh) dan Dibata (Allah). Tujuannya untuk mengusir marabahaya yang mengganggu masyarakat maupun individu. Mere Tembunen, yaitu suatu upacara yang agak mirip dengan Muncang, tetapi lebih dikhususkan memberi sajian kepada begu atau roh kesuburan dan kesehatan atau upacara Mere Tmbunen ini merupakan suatu upacara syukur kepada Allah dan begu (roh) atas kesehatan dan panen yang telah berhasil dan diharapkan pada masa-masa yang akan datang keadaan seperti itu akan lebih baik lagi.[1]
            Dalam kepercayaan ini, upacara ritual dipimpin oleh seorang guru. Guru merupakan sebutan bagi orang-orang tertentu yang dianggap memiliki keahlian melakukan berbagai upacara tradisional Karo, antara lain meramal, memimpin ritual, berkomunikasi dengan roh/mahluk gaib, perawatan, serta penyembuhan kesehatan. Secara harfiah guru sama artinya dengan kata guru dalam bahasa Indonesia, yaitu orang yang memiliki pengetahuan yang mendetail mengenai berbagai hal yang berhubungan dengan kehidupan.

Spesialisai “Imam” Karo

Guru dalam kehidupan orang Karo memiliki banyak klasifikasi berdasarkan keahlian dan keampuhannya. Salah satu di antaranya adalah guru si baso, yaitu seseorang yang dapat berhubungan dan mengundang roh gaib memasuki tubuhnya dan roh gaib itu dapat berkomunikasi dengan manusia yang masih hidup melalui guru si baso yang berperan sebagai ‘spirit-medium’. Mereka juga dapat melihat mahluk-mahluk halus dari dunia gaib. Beberapa orang Karo menyebut mereka dengan sebutan guru perjenujung (guru perjinujung). Jenis guru ini cenderung tidak memiliki keahlian meramu obat dari tumbuhan.

Pentingnya peran guru dalam kepercayaan tradisional Karo tidak hanya dalam kegiatan yang berhubungan dengan roh gaib dan ritual, ataupun suatu kompleks penyembuhan, guna-guna dan ilmu gaib. Seorang guru berfungsi untuk mencapai kembali keseimbangan bagi kelompok warganya. Dalam fungsi ini, guru punya banyak pengetahuan tentang alam semesta (‘kosmos’). Keseimbangan ‘kosmos’ yang terusik dengan sengaja atau tidak oleh manusia harus segera dikembalikan ke kondisi semula. Keseimbangan perlu diciptakan dalam diri manusia sendiri sebagai sebuah ‘mikro-kosmos’ (semesta kecil) untuk menciptakan suasana kedamaian hati dan kesehatan. Sementara, keseimbangan dalam konteks yang lebih luas dengan lingkungannya sebagai sebuah ‘makro-kosmos’ juga perlu diciptakan untuk kesejahteraan bersama, keberhasilan usaha, dan mencegah bencana alam.

Tendi (roh) ,dan Kosmos orang Karo

Konsepsi tentang ‘kosmos’ menurut kepercayaan tradisional Karo menyatakan bahwa alam semesta sudah terbentuk sejak Dibata (Tuhan) menciptakan manusia dan dunia. Si nasa lit (segala yang ada) dikuasai oleh Dibata. Alam semesta merupakan satu kesatuan menyeluruh yang dapat dibagi secara vertikal (tegak lurus) dan horizontal (mendatar). Secara vertikal, alam dibagi ke dalam tiga bagian yang disebut benua; benua atas dikuasai oleh Dibata Atas, benua tengah dikuasai oleh Dibata Tengah, dan benua teruh yang dikuasai oleh Dibata Teruh. Ketiganya merupakan satu kesatuan yang disebut Dibata Si Telu sebagai tritunggal atau penguasa tunggal. Secara horizontal, alam semesta dibagi ke delapan penjuru mata angin.[2]

Orang-orang Karo juga sangat dekat dengan suatu bentuk kepercayaan atau keyakinan terhadap tendi (jiwa). Tendi dipandang sebagai sebuah kehidupan jiwa yang keberadaannya dibayangkan sama dengan roh-roh gaib. Alam semesta dikuasai oleh sekumpulan tendi. Setiap titik dalam alam semesta mengandung tendi. Dunia gaib disebuit juga dunia pertendin. Tendi juga adalah sebutan untuk roh manusia yang masih hidup. Jika orang itu telah meninggal, tendinya akan berubah menjadi begu (roh).[3]

Sebuah ritual akan dilakukan apabila terjadi ketidakseimbangan antara tubuh-tendi jiwa-perasaan, nafas, dan pikiran dalam diri seseorang sebagai sebuah semesta kecil (‘mikro-kosmos’). Ketidakseimbangan ini kan menyebabkan berbagai kerugian, seperti; bangger (sakit), mara (malapetaka) dan akhirnya kematen (kematian). Daya pikiran manusia dianggap bertanggungjawab ‘ke luar’ guna menjaga keseimbangan dalam diri manusia dengan keseimbangan luar sebagai ‘makro-kosmos’ (alam semesta) yang meliputi dunia gaib, kesatuan sosial, dan lingkungan alam sekitar. Keseimbangan alam semesta ini akan terganggu jika terganggunya beberapa inti kehidupan (beraspati) : inti kehidupan tanah, air, udara, dan rumah. Salah satu contoh dari ketidakseimbangan dalam diri seseorang adalah jika terjadi sebuah kemalangan (kematian) dari salah satu anggota keluarga. Ritual perumah begu akan dilakukan untuk mengatasinya. [4]
Sebelum upacara memasuki tahap inti, si baso meminta izin pada beberapa inti kehidupan (nini beraspati) sebagai penguasa alam dan memanggil jenujungnya hingga ia berhasil mencapai keadaan kesurupan. Nyanyian guru si baso memanggil jenujung adalah memanggil raja kepultaken dan raja kesunduten (penguasa matahari terbit dan penguasa matahari terbenam):

“Enda maka kurudangken rudang kapias, ras pe rimo malem. Kuturangken kam melias dapet ate malem. O…turang rudang kapias rudang tara tinggi, e bandu kepe rudangta. Mare nini raja keputaken berkat kam kerina raja kesunduten, maka si dungi dahinta. Adi la kam reh la aku beloh. Kuleboh kel kam kerina, masok kel kam kerina ku dagingku, adi la kem reh la aku beloh ermag-mag.”

(Ini telah kubungakan bunga kapias, juga jeruk kesejukan. Kujadikan kamu saudara yang baik untuk mendapat perasaan damai. O… saudara bunga kapias bunga tara tinggi kiranya itu jadi bunga kita.. Mari penguasa matahari terbit berangkatlah kamu beserta penguasa matahari terbenam, supaya kita selesaikan pekerjaan kita. Jika kamu tidak datang tidak mampu aku melakukannya sendiri. Kupanggil kamu semua masuklah ke dalam tubuhku, kalau kamu tidak datang tidak mampu aku bercerita dan bernyanyi).

Kehadiran jenujung ditandai dengan perubahan prilaku guru; memicingkan mata karena merasa ada sinar yang sangat terang dan menyilaukan, badannya terasa panas, seolah-olah merasa diawang-awang, tubuhnya bergetar dan tiba-tiba sangat gembira sambil berkata “ih… kai ndai tenahndu, enda aku enggo reh” (ih…apa pesan anda, ini aku sudah datang). Guru si baso dapat langsung menari, memakan sirih, atau meminta rokok. Jenujung ini yang akan memanggil para roh keluarga yang telah meninggal dari dunia kematian. Roh keluarga itu akan memasuki tubuh guru si baso kemudian berkomunikasi dengan keluarganya yang menyelenggarakan ritual.

Ritual ini dimulai malam hari sekitar pukul 20.00 WIB dan berakhir pukul 09.00 WIB keesokan harinya. Selama acara berlangsung, si baso memimpinnya dengan bernyanyi. 60 Lirik dan nada lagu sangat menyentuh dengan tone tertentu untuk menggugah perasaan peserta ritual. Dalam proses komunikasi dengan arwah melalui tubuh guru si baso, adakalanya juga terjadi pemeriksaan penyakit untuk keluarga yang masih hidup ataupun ramalan akan keberhasilan, penyakit, atau malapetaka yang akan dihadapi. Ramalan ini dilakukan oleh arwah yang memasuki tubuh si baso dengan menggunakan media sebutir telur ayam negeri yang disebut tambul.
Si baso juga berperan sebagai perantara antara dua kerabat yang berselisih paham. Dalam hal ini, peran si baso sebagai perantara perdamaian untuk dua kelompok kerabat yang berkonflik. Begu (roh) atau arwah yang memasuki tubuh si baso bertindak sebagai juru damai dan memberi beberapa nasihat. Sebagai seseorang yang memiliki kekuatan supranatural, seorang guru si baso memiliki fungsi untuk pemenuhan kebutuhan rohani bagi warganya. Sebagai penyambung rasa antara manusia dan Dibata la idah (Tuhan penguasa alam semesta yang tidak kelihatan), seperti pada ritual mere tembunen atau muncang.[5]
Sebagai orang yang menguasai pengetahuan tentang kosmos (alam semesta), guru si baso juga berfungsi sebagai biak penungkunen (biro konsultasi). Warga akan meminta penjelasan mengenai mimpi mereka, peristiwa aneh yang dialami, dan mengharapkan nasehat-nasehat sebagai tindakan lanjutan. Nasehat terutama sangat dibutuhkan dalam kasus konflik antarwarga atau antar kerabat. Jika kasus terjadi dalam lingkup kerabat dekat, si baso akan menyarankan diadakannya perumah dibata dan disusul dengan perumah begu pada malam harinya dengan hanya melibatkan kerabat terdekat yang bersengketa. Fokus dalam acara diarahkan pada penyelesaian konflik.

Dalam kasus ini, si baso juga berfungsi sebagai pengikat solidaritas sosial.
Selain menjaga keseimbangan dalam diri manusia, secara tidak langsung si baso juga berperan menjaga keseimbangan berjalannya norma dan nilai adat-istiadat. Pergeseran norma dan nilai adat dapat menjadikan jalannya adat menyimpang dan menyebabkan para leluhur marah dan mencelakakan manusia. Spesialisasinya ini juga mempunyai kemiripan dengan para imam dala gereja katolik yang bertugas dalam melayani dan mendoakan semua orang yang membutuhkan bantuan dari imam tersebut. Orang Karo dalam pengalamannya setiap hari sering berhadapan dengan gejala-gejala dan peristiwa-peristiwa alam yang kadang kala di luar pengetahuan dan daya kemampuannya. Dalam pengalaman ini mereka merasa disentuh, gembira, bahagia, tenteram, dan merasa aman, namun sekaligus menakutkan. Mereka tidak dapat mengungkapkan pengalaman ini, tetapi dapat merasakannya.














Daftar Pustaka

.
1.      Bangun , Teridah.  Penelitian Dan Pencatatan Adat Istiadat Karo. Jakarta : Yayasan Merga Silima, 1990.
2.      Tarigan, Sarjani. Lentera Kehidupan Orang Karo dalam Berbudaya. Medan: Balai Adat Budaya Karo Indonesia,  2009.
3.      Sembiring, Nongo. Ide-ide Allah Dalam Pandangan Orang Karo. Pematangsiantar: STFT St. Yohanes, 1996.




[1] Tridah Bangun ,Adat Istiadat Karo(Jakarta: Yayasan Merga Silima,1990)  ,hlm. 24-25.

[2] Sarjani Tarigan, M.S.P, Lentera Kehidupan Orang Karo dalam Berbudaya(Medan: Balai Adat Budaya Karo Indonesia,2009) ,hlm.61-65.

[3] Nongo Sembiring ,Ide-ide Allah Dalam Pandangan Orang Karo(Pematangsiantar: STFT St. Yohanes,1996)  ,hlm. 46-50..

[4] Tridah Bangun ,Adat ..., hlm. 32-35.
[5] Nongo Sembiring ,Ide-ide..., hlm. 46-50.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar