Kepercayaan
Masyarakat Karo Tradisional
1.
Pengantar
Dalam
ilmu teologi, wahyu dan iman disebut sebagai teologi dasar. Dalam setiap
kelompok kepercayaan diperlukan juga suatu dasar yang kuat untuk menjamin
kebenaran iman, dasar itu ialah wahyu. Wahyu selalu inisiatif Allah yang
menghendaki diriNya untuk dikenal manusia. Wahyu merupakan suatu kebenaran yang
selalu ingin dicapai oleh mahluk yang rasional yakni manusia.
Kepercayaan
yang tumbuh dalam budaya tertentu juga memiliki wahyu sebagai dasar kepercayaan
mereka. Wahyu dalam hal ini dapat dipahami sebagai pengalaman rohani akan
eksistensi Allah. Pengalamanrohani menjadai dasar seseorang untuk percaya
kepada Allah. Pada tulisan ini kami akan memaparkan kepercayaan masyarakat karo
tradisional yang berakar dari pengalaman rohani tentang Allah (Dibata).
2.
Masyarakat Karo
Masyarakat
Karo adalah salah satu kelompok suku yang ada di Sumatera Utara bagian timur.
Mereka menempati dua daerah utama, yaitu dataran tinggi Karo dan dataran rendah
Karo. Dua daerah utama itu meliputi empat Kabupaten, yakni Karo, Langkat, Deli
Serdang, dan Dairi. Mereka menyebar dan bermukim di sepanjang daerah pegunungan bukit barisan secara berkelompok-kelompok.
Pada umumnya,mereka menyebut dirinya dengan nama Karo atau Batak Karo tetapi
jarang dengan sebutan nama Batak.[1]
2.1 Asal-usul
Berdasarkan rekonstruksi ahli-ahli
sejarah, nenek moyang orang Karo berasal dan daerah Hindia Belakang sebagai
kelompok imigran pertama. Mereka tiba di pantai Timur Sumatera sekitar abad
VIII SM. Perpindahan mi dibagi atas dua gelombang, yakni kelompok Melayu tua
(Proto Malay) dan Melayu muda (Deutro Malay). Dalam proses waktu dan sejarah,
Melayu muda yang memiliki kultur dan peradaban lebih tinggi mendesak Melayu tua,
sehingga mereka terpaksa mengungsi ke hutan-hutan di sepanjang bukit barisan.
Kelompok Melayu tua ini termasuk di antaranya nenek moyang suku Karo. Sedangkan
kelompok Melayu muda itu lazim disebut sebagai suku Melayu pesisir (maya-maya).[2]
2.2 Tipikal Masyarakat Karo
Setiap
suku bangsa memiliki kekhasannya sendiri dalam mengungkapkan relasinya dengan
yang lain. Sebagai masyarakat yang besar, orang Karo memiliki tipikal tertentu
yang menunjukkan identitasnya sebagai bangsa. Suku Karo memiliki “sifat bangsa”
dalam berelasi dengan dunianya. Sejak masa kecil, sifat tersebut telah
dimotivasi, dibentuk, dan dibiasakan dengan konsep budaya Merga si Lima, Orat si Waluh, dan Sangkep si Telu. Tadisi inilah
yang membentuk mental tertentu dalam pergaulan sesama orang Karo maupun dengan
masyarakat sekitarnya.[3]
2.3
Struktur Sosial Masyarakat Karo
Masyarakat
Karo memandang pentingnya aturan dalam hidup bermasyarakat. Maka mereka
menciptakan struktur sosial yaitu merga,
rakut si telu, danadat. Merga adalah
salah satu identitas masyarakat Karo. Mergamembuat
status seseorang dihargai, disegani, dihormati, dan diakui. Selain itu merga
adalah tanda pengenal bahwa ia pewaris dan penerus keturunan serta penunjuk
posisi atas kekerabatan keluarga dan lingkungannya secara langsung atau tidak
langsung. Kesatuan merga dijamin oleh ikatan darah dan hubungan dengan leluhur.[4]
Rakutsitelu yaitu tiga pilar penyangga tatanan
sosial yang terdiri dari kalimbubu
(pihak pemberi istri), anakberu
(pihak penerima istri), dan senina
(teman semarga).Rakutsitelu berfungsi
sebagai wadah musyawarah sekaligus menjadi perangkat dalam kelompok keluarga
tertentu yang bertindak sebagai sukut
atau tuan rumah.[5]
Adat
merupakan pedoman hidup yang diwariskan secara turun-temurun, dan berdasar
kepada kepentingan bersama dengan azas kekeluargaan. Bagi masyarakat Karo, adat
memberi kehidupan dan jalan menuju keselamatan, maka orang yang berbuat dan
bertingkah laku tidak sesuai dengan adat disebut orang yang tidak tahu adat.
Pada prinsipnya adat berakar pada religi purba. Karena itu adat bersifat
sakral. Dia datang dari Dibata yang
kemudian diturunkan kepada nenek moyang. Adat mengikat hubungan antara orang
hidup dan nenek moyang, menghubungkan nasib individu dengan nasib nenek moyang,
dan nasib keturunan.[6]
3.
Kepercayaan Masyarakat Tradisional Karo
3.1 Kepercayaan Terhadap Dibata (Allah)
Konsep yang mahakuasa (Allah) menurut masyarakat Karo tradisional tampak dalam konsep
kosmologinya. Bagi masyarakat Karo ada tiga penguasa alam semesta, yakni
penguasa benua atas (dunia atas) yang disebut sebagai ButaraGuru, penguasa benua tengah (dunia tengah) yang disebut
sebagai TuanPadukaNiAji, dan penguasa
benua teruh (dunia bawah) yang disebut dengan TuanBanuaKoling. Ketiga penguasa ini berada dalam satu kesatuan
yang utuh yang disebut sebagai DibataKaci-Kaci. Ide Allah yang tiga esa ini
disebut oleh orang Karo sebagai DibatasiTeluSada.[7]
3.1.1 Allah Penguasa
Atas Bumi
Allah
penguasa bagian atas bumi yang disebut dibatadatas
atau GuruButara, dia merupakan
penguasa dunia bagian atas yang amat luas yaitu jagat raya. Dia mengatur
peredaran seluruh benda-benda angkasa dan dia juga mengawasi hidup dan mati
manusia. Dia memberikan dan menentukan segala sesuatu yang dibutuhkan manusia,
dengan kata lain nasib manusia tergantung dalam tangan GuruButara.[8]
3.1.2 Allah
Penguasa Bumi
Dibata sebagai penguasa bumi,
disebut dibata tengah atau TuanPadukaNiAji.
Dia adalah Allah yang menguasai seluruh ciptaan yang ada di bumi. Jiwa manusia
yang dikirim oleh GuruButaradisampaikan
kepada manusia melalui perantaraan TuanPadukaNiAji.
Dia sebagai penyelenggara tugas yang harus dikerjakan manusia dalam adat. Dia
juga hadir diantara manusia untuk membawa kegembiraan karena dia menyampaikan
dan memberikan apa yang dibutuhkan manusia. TuanPadukaNiAjimerupakan
sumber kekuatan dan pelindung dunia. Dia melindungi segala usaha manusia dan
menjaga manusia.[9]
3.1.3 Allah Penguasa
Bawah Bumi
Allah
yang menguasai dunia bagian bawah disebut DibataTeruh,
atau TuanBanuaKoling. Dibatateruh memiliki sifat yang berbeda
dengan kedua pibadi Allah yang lain. TuanBanuaKolingdipuja karena ia baik dan
jahat, maksudnya
selain orang berdoa mohon berkat kesehatan kepadanya, dia juga merupakan
penyebab malapetaka manusia, sebab dia mempunyai kuasa untuk mengadili hidup
manusia jika manusia tidak taat pada perintah
dan hukum yang ada dalam adat.[10]
Tugas utamanya adalah mengontrol
ciptaan, jika ada yang tidak beres maka ia sendiri yang meluruskannya, jika
perlu dengan hukuman mati. Dalam hal menghakimi dia merupakan hakim yang adil
dan bijaksana. Hukuman hanya diberikan kepada orang yang melanggar hukum Allah
yang tertera dalam adat, tetapi yang mentaati dan melaksanakannya akan
dikasihani.[11]
4.
Pewahyuan Allah
Konsep tentang Allah pada masyarakat
Karo tradisional, yakni Allah yang berpribadi (DibatasiTeluSada) dan merupakan satu kesatuan dalam DibataKaci-Kaci. Allah Yang Esa, tunggal, Mahakuasa, eksistensinya jauh
berbeda dengan eksistensi manusia. Manusia tidak pernah menyembahnya karena,
manusia tidak mungkin mendekati-Nya. Namun masayarakat Karo meyakini bahwa
Allah itu sama dengan manusia, kehidupan-Nya sama dengan kehidupan manusia
karena manusia adalah perwujudan dari Allah yang tidak kelihatan itu, hanya
Allah itu mempunyai kekuatan dan kekuasaan yang tida tandingnya, sebab segala
sesuatu berasal dari Dia. Oleh karena itu Allah menyatakan diri kepada manusia
melalui utusannya, baik yang kelihatan maupun yang tak kelihatan.
4.1 Allah Yang Kelihatan
Paham
keselamatan bagi masyarakat Karo tradisional, diartikan sebagai situasi yang
aman tentram, mempunyai keturunan yang lengkap (ada anak laki-laki dan
perempuan), bebas dari penyakit, bebas dari bencana alam dan mendapat pasu-pasuKalimbubu.
Kalimbubu dipandang sebagai
penjelmaan nyata dari Allah, karena itu bagi masyarakat Karo Kalimbubumerupakan DibataNiIdah.[12]
Kalimbubu sebagai pemberi anak perempuan dalam RakutSiTelu, merupakan golongan yang
terhormat. Masyarakat Karo mempercayai bahwa orang yang menghormati Kalimbubumereka akan memperoleh tanah
dan rezeki, segala usaha mereka akan membawa hasil. Dalam kepercayaan
masyarakat Karo apabila mendapat rezeki yang melimpah ruah merupakan tuahKalimbubu, maksudnya adalah Kalimbubuyang bertuah, Kalimbubuyang
memberikan rezeki kepada anak beru. Maka dalam hal itu pasu-pasuKalimbubutelah
terealisir dalam hidup manusia.
Sementara jika menolak perintah, nasehat Kalimbubu,
maka akan mendapatkan malapetaka. Oleh karena itulah Kalimbubudipandang sebagai DibataNiIdah.[13]
4.2 Allah Pelindung Keluarga
Dalam
pandangan masyarakat Karo tradisional, kebesaran Allah yang Mahakuasa pencipta
segala yang ada, mempercayakan keselamatan manusia kepada roh-roh keluarga yang
meninggal secara khusus.Begu[14]
yang dijadikan begujabu (Allah
pelindung keluarga)yaitu begu
atau roh orang yang meninggal masih dalam lingkup keluarga. Begu ini dipercayai memiliki sifat baik.
Kategori begujabu adalah mateibasbertin disebut ButaraGuru(orang yang mati dari dalam
kandungan), matelangaripen disebut bicaraguru (mati sebelum bergigi), matesadawari (mati satu hari atau mati
tiba-tiba), matenguda atau matetungkup (mati gadis), matecawirmetua (mati lanjut usia). Begujabuadalah roh yang menjaga dan
melindungi keluarga serta memberi tanda-tanda apabila ada bahaya dan bencana
maupun rezeki, biasanya disampaikan lewat mimpi.[15]
Alasan utama masyarakat Karo
mendewakan atau mengallahkan roh itukarena kematian mereka dipandang tidak
wajar. Kematian bagi roh-roh tersebut merupakan suatu siksaan dan hukuman,
mereka dipaksa untuk meninggalkan tubuh jasmaninya, karena itu mereka merasa
“marah”; mereka cemburu kepada jiwa orang yang masih hidup, maka roh mereka
diyakini dekat dengan Allah (Dibata).
Mereka
mendapat belaskasihan yang istimewa dari Allah, selain itu roh-roh tersebut
juga sering marah dan mengganggu manusia.Agar mereka tidak mengganggu dan tidak
menyusahkan manusia, maka masyarakat Karo tradisional menyembah dan menghormati
roh-roh yang mati secara tidak wajar, mendewakannya dan menganggapnya sebagai Dibatajabu (Allah pelindung keluarga).Selain
itu orang tua, ayah dan ibu yang telah
meninggal dipandang sebagai Dibatajabu,
karena mereka menghidupi dan memenuhi kebutuhan hidup keluarganya semasa masih
hidup. Roh mereka dipercayakan Allah untuk memelihara jiwa-jiwa yang ada di
dalam rumahnya, mereka ini adalah wakil Allah di dalam keluarga.[16]
5.
Ritus Kepercayaan Masyarakat
Tradisional Karo
Masyarakat
karo tradisional mengenal Allah melalui peristiwa yang mereka alami setiap
hari. Peristiwa tersebut sering membawa malapetaka bagi mereka. Mereka sadar
bahwa perbuatan itu adalah akibat dari peraturan yang tertuang dalam adat tidak
ditaati. Allah mereka menjadi marah karena mereka tidak lagi hidup sesuai
dengan noma-norma hukum adat, mereka merusak dan mengganggu tempat-tempat yang
dianggap suci dan keramat. Untuk mendamaikan situasi ini masyarakat karo
melakukan berbagai macam ritus untuk menghormati Allah dan begu-begu (roh-roh) agar
situasi kembali aman dan damai.Masyarakat karo melakukan beberapa upacara
seperti, meretembunen[17],
ndilowariudan[18],
perumahbegu[19].
Upacara-upacara tersebut dilakukan sebagai
perwujudan rasa syukur dan sebagai sarana untuk meminta pertolongan,
keselamatan kepada Allah (Dibata)
melalui GuruSibaso. Peran gurusibaso di dalam upacara-upacara
tersebut adalah sebagai penyampai doa permohonan manusia, penghubung agar dapat
berkontak dan berkomunikasi dengan para roh, dengan kata lain dia sebagai jembatan
penghubung antara yang Ilahi dan manusia. Gurusibaso
diberikan kemampuan untuk mengetahui rencana Ilahi terhadap manusia dan mampu
meramalkan kejadian-kejadian yang akan datangserta sesuai dengan rencana yang Ilahi
(DibataSiTeluSada).
6.
Kesimpulan
Pada
hakikatnya wahyu merupakan inisiatif Allah sehingga Allah menganugerahkan
diriNya kepada manusia. Wahyu yang disampaikan oleh Allah dijawab manusia
dengan iman. Di dalam iman manusia menyerahkan diriNya kepada Allah. Dengan
kata lain wahyu dan iman merupakan komunikasi pribadi dan persatuan antara Allah
dan manusia.[20]
Pengenalan
akan Allah di dalam budaya karo diperoleh dari pengalaman rohani (manusia
mengalami sesuatu yang rohani dalam kegiatan sehari-hari). Pengalaman rohani
tidak berasal dari inisiatif manusia tetapi terjadi dengan begitu saja tanpa
dikehendaki. Pengalaman rohani terjadi melalui pengalaman alam seperti gunung
meletus, banjir, kemarau panjang, guntur, gempa bumi dan lain-lain maupun
pengalaman hidup manusia seperti penyakit dan kematian. Pengalaman rohani
tersebut membawa manusia kepada kepercayaan bahwa ada kekuatan di luar diri
manusia yang mahakuasa dan pencipta. Dalam arti tertentu pengalaman rohani
dapat dimengerti sebagai “wahyu alami” dan tanggapan atasnya dapat juga disebut
sebagai “iman”.
Konsep
Allah yang diimani oleh orang karo pada zaman dulu ialah Allah yang memiliki
pribadi. Allah yang memiliki pribadi tersebut ialah Allah atas, Allah tengah
dan Allah bawah. Konsep ini mendapat pengaruh dari suku-suku lain. Konsep Allah
yang dipahami ialah Allah yang jauh, tidak dapat dihampiri dan transenden
sehingga tidak ada upacara yang mampu untuk menyembahnya. Allah yang transenden
itu dipahami juga sebagai Allah yang imanen yang hadir dalam kalimbubu. Dalam budaya orang karo kalimbubu disebut sebagai Allah yang
tampak. Kepercayaan akan Allah yang transenden dan imanen menimbulkan ide
kepada kekuatan lain yang dapat dihampiri seperti kekuatan alam dan roh-roh
manusia. Menurut pemahaman orang karo, begujabu
ialah utusan Allah yang mahakuasa untuk menjaga keselamatan manusia. Maka dapat
disimpulkan bahwa konsep Allah yang dipahami oleh orang karo pada zaman dulu
merupakan hasil dari suatu pengalaman rohani atau dalam arti tertentu dapat
disebut sebagai wahyu.
[1]Mazri Singarimbun, Kinship, Descent and Alliance among the Karo
Batak (Los Angeles: University of California Press, 1975), hlm. 1-2.
[2]E.P.Gintings, Religi Karo: Membaca Religi Karo dengan Mata
yang Bar(Kabanjahe: Abdi Karya, 1999), hlm. 15.
[3]Sempa Sitepu et al., Pilar Budaya Karo(Medan :Bali Scan &Percetakan),
hlm. 158.
[4]Sempa Sitepu et al., Pilar..., hlm.159.
[5]Sempa Sitepu et al., Pilar...,hlm.160.
[6]Sempa Sitepu et al., Pilar...,hlm.161.
[7]E.P. Gintings, Religi Karo: Membaca..., hlm. 3.
[8]E.P. Gintings, Religi Karo: Membaca..., hlm. 3.
[9]P. Tamboen,Adat Istiadat Karo(Jakarta: Balai Pustaka, 1952), hlm. 132.
[10]P. Tamboen,Adat..., hlm. 132.
[11]P. Tamboen, Adat..., hlm. 132.
[12]P. Tamboen, Adat..., hlm. 131.
[13]P. Tamboen, Adat..., hlm. 131.
[14]Begu (roh) dalam bahasa karo berarti ba-gi-gu, artinya ba=seperti, gi=banyangan,
gu=”anu”, karena dalam pengalaman
masyarakat Karo, keyakinan melihat bayangan orang yang sudah mati masih hadir
dalam pengalaman sehari-hari. Karena itu mereka menyebutnya begu, dengan kata lain begu adalah tubuh rohani orang yang
sudah meninggal.
Dalam
kepercayaan masyarakat karo tradisional ada dua
jenis begu. Pertama begujabu, yaitu begu atau roh orang yang meninggal masih
dalam lingkup keluarga. Begu ini
dipercayai memiliki sifat baik. Begujabu
adalah roh yang menjaga dan melindungi keluarga serta memberi tanda-tanda
apabila ada bahaya dan bencana maupun rezeki, biasanya disampaikan lewat mimpi.
Kedua adalah begudarat,
yaitu begu atau roh yang berkeliaran
di alam ini. Tugasnya hanya menyusahkan manusia. Yang tergolong dalam begu darat adalah begumentas (roh lewat, yaitu roh yang mati biasa), begumenggep (roh yang menyergap yang
selalu mengintip manusia), begusidangbela
yaitu roh perempuan yang mati waktu melahirkan, beguganjang, yaitu roh halus yang tinggi dan jahat dan ia sangat
ditakuti, begunagalumayang, yaitu roh
yang mengembara. Semua begu ini
memiliki tempatnya masing-masing
yang disebut dengan perkampungan begu
atau roh.[Lihat Prof. Dr. Henry Guntur Tarigan, Antusen Bilangen ibas kalak karo
(Bandung: FPBS-IKIP-Bandung,1994), hal.
23-24, 140.]
[15]P. Tamboen, Adat..., hlm. 133-134.
[16]P. Tamboen, Adat..., hlm. 135; bdk. E.P. Gintings, Religi Karo: Membaca..., hlm. 21-29.
[17]Meretembunen adalah kegiatan memberikan
persembahan kuta (kampung) di tempat
yang memiliki kekuatan atau keramat supaya tidak menimbulkan malapetaka.
Caranya dengan membersihkan tempat tersebut dan meletakkan sesajian disitu.[Lihat
Sempa Sitepu et al., Pilar..., hlm. 171-172.]
[18]Ndilowariudanmerupakan kegiatan untuk memohon
turunnya hujan kepada Dibata pada waktu musim kemarau berkepanjangan. Bencana
yang dialami manusia ini dipahami bahwa ada hubungan yang disharmonis antara
mikrokosmos dan makrokosmos.[Lihat Sempa Sitepu et al., Pilar Budaya Karo (Medan :Bali Scan & Percetakan), hlm. 173.]
[18]Sempa Sitepu et al., Pilar..., hlm.159.
[19]Perumahbegumerupakan kegiatan memanggil roh
orang mati. Menurut masyarakat karo dalam aliran kepercayaan ini orang yang
sudah mati, rohnya masih bisa dipanggil melalui seorang “dukun” atau gurusibaso.[Lihat E.P. Gintings, Religi Karo: Membaca Religi Karo dengan Mata
yang Baru (Kabanjahe: Abdi Karya, 1999), hlm. 47.]
[20]Nico Syukur Diester, Teologi Sistematika 1(Yogyakarta:
Kanisius, 2004), hlm. 35
Tidak ada komentar:
Posting Komentar