Translate

Minggu, 07 Oktober 2018

Kepercayaan Masyarakat Karo



Kepercayaan Masyarakat Karo Tradisional


1.   Pengantar
Dalam ilmu teologi, wahyu dan iman disebut sebagai teologi dasar. Dalam setiap kelompok kepercayaan diperlukan juga suatu dasar yang kuat untuk menjamin kebenaran iman, dasar itu ialah wahyu. Wahyu selalu inisiatif Allah yang menghendaki diriNya untuk dikenal manusia. Wahyu merupakan suatu kebenaran yang selalu ingin dicapai oleh mahluk yang rasional yakni manusia.
Kepercayaan yang tumbuh dalam budaya tertentu juga memiliki wahyu sebagai dasar kepercayaan mereka. Wahyu dalam hal ini dapat dipahami sebagai pengalaman rohani akan eksistensi Allah. Pengalamanrohani menjadai dasar seseorang untuk percaya kepada Allah. Pada tulisan ini kami akan memaparkan kepercayaan masyarakat karo tradisional yang berakar dari pengalaman rohani tentang Allah (Dibata). 
2.   Masyarakat Karo
Masyarakat Karo adalah salah satu kelompok suku yang ada di Sumatera Utara bagian timur. Mereka menempati dua daerah utama, yaitu dataran tinggi Karo dan dataran rendah Karo. Dua daerah utama itu meliputi empat Kabupaten, yakni Karo, Langkat, Deli Serdang, dan Dairi. Mereka menyebar dan bermukim di sepanjang  daerah pegunungan bukit barisan secara berkelompok-kelompok. Pada umumnya,mereka menyebut dirinya dengan nama Karo atau Batak Karo tetapi jarang dengan sebutan nama Batak.[1]
2.1 Asal-usul
Berdasarkan rekonstruksi ahli-ahli sejarah, nenek moyang orang Karo berasal dan daerah Hindia Belakang sebagai kelompok imigran pertama. Mereka tiba di pantai Timur Sumatera sekitar abad VIII SM. Perpindahan mi dibagi atas dua gelombang, yakni kelompok Melayu tua (Proto Malay) dan Melayu muda (Deutro Malay). Dalam proses waktu dan sejarah, Melayu muda yang memiliki kultur dan peradaban lebih tinggi mendesak Melayu tua, sehingga mereka terpaksa mengungsi ke hutan-hutan di sepanjang bukit barisan. Kelompok Melayu tua ini termasuk di antaranya nenek moyang suku Karo. Sedangkan kelompok Melayu muda itu lazim disebut sebagai suku Melayu pesisir (maya-maya).[2]
2.2 Tipikal Masyarakat Karo
Setiap suku bangsa memiliki kekhasannya sendiri dalam mengungkapkan relasinya dengan yang lain. Sebagai masyarakat yang besar, orang Karo memiliki tipikal tertentu yang menunjukkan identitasnya sebagai bangsa. Suku Karo memiliki “sifat bangsa” dalam berelasi dengan dunianya. Sejak masa kecil, sifat tersebut telah dimotivasi, dibentuk, dan dibiasakan dengan konsep budaya Merga si Lima, Orat si Waluh, dan Sangkep si Telu. Tadisi inilah yang membentuk mental tertentu dalam pergaulan sesama orang Karo maupun dengan masyarakat sekitarnya.[3]
2.3        Struktur Sosial Masyarakat Karo
Masyarakat Karo memandang pentingnya aturan dalam hidup bermasyarakat. Maka mereka menciptakan struktur sosial yaitu merga, rakut si telu, danadat. Merga adalah salah satu identitas masyarakat Karo. Mergamembuat status seseorang dihargai, disegani, dihormati, dan diakui. Selain itu merga adalah tanda pengenal bahwa ia pewaris dan penerus keturunan serta penunjuk posisi atas kekerabatan keluarga dan lingkungannya secara langsung atau tidak langsung. Kesatuan merga dijamin oleh ikatan darah dan hubungan dengan leluhur.[4]
Rakutsitelu yaitu tiga pilar penyangga tatanan sosial yang terdiri dari kalimbubu (pihak pemberi istri), anakberu (pihak penerima istri), dan senina (teman semarga).Rakutsitelu berfungsi sebagai wadah musyawarah sekaligus menjadi perangkat dalam kelompok keluarga tertentu yang bertindak sebagai sukut atau tuan rumah.[5]
Adat merupakan pedoman hidup yang diwariskan secara turun-temurun, dan berdasar kepada kepentingan bersama dengan azas kekeluargaan. Bagi masyarakat Karo, adat memberi kehidupan dan jalan menuju keselamatan, maka orang yang berbuat dan bertingkah laku tidak sesuai dengan adat disebut orang yang tidak tahu adat. Pada prinsipnya adat berakar pada religi purba. Karena itu adat bersifat sakral. Dia datang dari Dibata yang kemudian diturunkan kepada nenek moyang. Adat mengikat hubungan antara orang hidup dan nenek moyang, menghubungkan nasib individu dengan nasib nenek moyang, dan nasib keturunan.[6]
3.   Kepercayaan Masyarakat Tradisional Karo
3.1 Kepercayaan Terhadap Dibata (Allah)
          Konsep yang mahakuasa (Allah) menurut masyarakat Karo tradisional tampak dalam konsep kosmologinya. Bagi masyarakat Karo ada tiga penguasa alam semesta, yakni penguasa benua atas (dunia atas) yang disebut sebagai ButaraGuru, penguasa benua tengah (dunia tengah) yang disebut sebagai TuanPadukaNiAji, dan penguasa benua teruh (dunia bawah) yang disebut dengan TuanBanuaKoling. Ketiga penguasa ini berada dalam satu kesatuan yang utuh yang disebut sebagai DibataKaci-Kaci. Ide Allah yang tiga esa ini disebut oleh orang Karo sebagai DibatasiTeluSada.[7]
3.1.1 Allah Penguasa Atas Bumi
            Allah penguasa bagian atas bumi yang disebut dibatadatas atau GuruButara, dia merupakan penguasa dunia bagian atas yang amat luas yaitu jagat raya. Dia mengatur peredaran seluruh benda-benda angkasa dan dia juga mengawasi hidup dan mati manusia. Dia memberikan dan menentukan segala sesuatu yang dibutuhkan manusia, dengan kata lain nasib manusia tergantung dalam tangan GuruButara.[8]
3.1.2 Allah Penguasa Bumi      
Dibata sebagai penguasa bumi, disebut dibata tengah atau TuanPadukaNiAji. Dia adalah Allah yang menguasai seluruh ciptaan yang ada di bumi. Jiwa manusia yang dikirim oleh GuruButaradisampaikan kepada manusia melalui perantaraan TuanPadukaNiAji. Dia sebagai penyelenggara tugas yang harus dikerjakan manusia dalam adat. Dia juga hadir diantara manusia untuk membawa kegembiraan karena dia menyampaikan dan memberikan apa yang dibutuhkan manusia. TuanPadukaNiAjimerupakan sumber kekuatan dan pelindung dunia. Dia melindungi segala usaha manusia dan menjaga manusia.[9]
3.1.3 Allah Penguasa Bawah Bumi
            Allah yang menguasai dunia bagian bawah disebut DibataTeruh, atau TuanBanuaKoling. Dibatateruh memiliki sifat yang berbeda dengan kedua pibadi Allah yang lain. TuanBanuaKolingdipuja karena ia baik dan jahat, maksudnya selain orang berdoa mohon berkat kesehatan kepadanya, dia juga merupakan penyebab malapetaka manusia, sebab dia mempunyai kuasa untuk mengadili hidup manusia jika manusia tidak taat pada perintah dan hukum yang ada dalam adat.[10]
Tugas utamanya adalah mengontrol ciptaan, jika ada yang tidak beres maka ia sendiri yang meluruskannya, jika perlu dengan hukuman mati. Dalam hal menghakimi dia merupakan hakim yang adil dan bijaksana. Hukuman hanya diberikan kepada orang yang melanggar hukum Allah yang tertera dalam adat, tetapi yang mentaati dan melaksanakannya akan dikasihani.[11]
4.   Pewahyuan Allah
            Konsep tentang Allah pada masyarakat Karo tradisional, yakni Allah yang berpribadi (DibatasiTeluSada) dan merupakan satu kesatuan dalam DibataKaci-Kaci. Allah Yang Esa, tunggal, Mahakuasa, eksistensinya jauh berbeda dengan eksistensi manusia. Manusia tidak pernah menyembahnya karena, manusia tidak mungkin mendekati-Nya. Namun masayarakat Karo meyakini bahwa Allah itu sama dengan manusia, kehidupan-Nya sama dengan kehidupan manusia karena manusia adalah perwujudan dari Allah yang tidak kelihatan itu, hanya Allah itu mempunyai kekuatan dan kekuasaan yang tida tandingnya, sebab segala sesuatu berasal dari Dia. Oleh karena itu Allah menyatakan diri kepada manusia melalui utusannya, baik yang kelihatan maupun yang tak kelihatan.
4.1 Allah Yang Kelihatan
Paham keselamatan bagi masyarakat Karo tradisional, diartikan sebagai situasi yang aman tentram, mempunyai keturunan yang lengkap (ada anak laki-laki dan perempuan), bebas dari penyakit, bebas dari bencana alam dan mendapat pasu-pasuKalimbubu. Kalimbubu dipandang sebagai penjelmaan nyata dari Allah, karena itu bagi masyarakat Karo Kalimbubumerupakan DibataNiIdah.[12]
Kalimbubu sebagai pemberi anak perempuan dalam RakutSiTelu, merupakan golongan yang terhormat. Masyarakat Karo mempercayai bahwa orang yang menghormati Kalimbubumereka akan memperoleh tanah dan rezeki, segala usaha mereka akan membawa hasil. Dalam kepercayaan masyarakat Karo apabila mendapat rezeki yang melimpah ruah merupakan tuahKalimbubu, maksudnya adalah Kalimbubuyang bertuah, Kalimbubuyang memberikan rezeki kepada anak beru. Maka dalam hal itu pasu-pasuKalimbubutelah terealisir dalam hidup  manusia. Sementara jika menolak perintah, nasehat Kalimbubu, maka akan mendapatkan malapetaka. Oleh karena itulah Kalimbubudipandang sebagai DibataNiIdah.[13]
4.2 Allah Pelindung Keluarga
Dalam pandangan masyarakat Karo tradisional, kebesaran Allah yang Mahakuasa pencipta segala yang ada, mempercayakan keselamatan manusia kepada roh-roh keluarga yang meninggal secara khusus.Begu[14] yang dijadikan begujabu (Allah pelindung keluarga)yaitu begu atau roh orang yang meninggal masih dalam lingkup keluarga. Begu ini dipercayai memiliki sifat baik. Kategori begujabu adalah mateibasbertin disebut ButaraGuru(orang yang mati dari dalam kandungan), matelangaripen disebut bicaraguru (mati sebelum bergigi), matesadawari (mati satu hari atau mati tiba-tiba), matenguda atau matetungkup (mati gadis), matecawirmetua (mati lanjut usia). Begujabuadalah roh yang menjaga dan melindungi keluarga serta memberi tanda-tanda apabila ada bahaya dan bencana maupun rezeki, biasanya disampaikan lewat mimpi.[15]
            Alasan utama masyarakat Karo mendewakan atau mengallahkan roh itukarena kematian mereka dipandang tidak wajar. Kematian bagi roh-roh tersebut merupakan suatu siksaan dan hukuman, mereka dipaksa untuk meninggalkan tubuh jasmaninya, karena itu mereka merasa “marah”; mereka cemburu kepada jiwa orang yang masih hidup, maka roh mereka diyakini dekat dengan Allah (Dibata).
Mereka mendapat belaskasihan yang istimewa dari Allah, selain itu roh-roh tersebut juga sering marah dan mengganggu manusia.Agar mereka tidak mengganggu dan tidak menyusahkan manusia, maka masyarakat Karo tradisional menyembah dan menghormati roh-roh yang mati secara tidak wajar, mendewakannya dan menganggapnya sebagai Dibatajabu (Allah pelindung keluarga).Selain itu orang tua, ayah dan ibu yang  telah meninggal dipandang sebagai Dibatajabu, karena mereka menghidupi dan memenuhi kebutuhan hidup keluarganya semasa masih hidup. Roh mereka dipercayakan Allah untuk memelihara jiwa-jiwa yang ada di dalam rumahnya, mereka ini adalah wakil Allah di dalam keluarga.[16]
5.   Ritus Kepercayaan Masyarakat Tradisional Karo
Masyarakat karo tradisional mengenal Allah melalui peristiwa yang mereka alami setiap hari. Peristiwa tersebut sering membawa malapetaka bagi mereka. Mereka sadar bahwa perbuatan itu adalah akibat dari peraturan yang tertuang dalam adat tidak ditaati. Allah mereka menjadi marah karena mereka tidak lagi hidup sesuai dengan noma-norma hukum adat, mereka merusak dan mengganggu tempat-tempat yang dianggap suci dan keramat. Untuk mendamaikan situasi ini masyarakat karo melakukan berbagai macam ritus untuk menghormati Allah dan begu-begu (roh-roh) agar situasi kembali aman dan damai.Masyarakat karo melakukan beberapa upacara seperti, meretembunen[17], ndilowariudan[18], perumahbegu[19].
      Upacara-upacara tersebut dilakukan sebagai perwujudan rasa syukur dan sebagai sarana untuk meminta pertolongan, keselamatan kepada Allah (Dibata) melalui GuruSibaso. Peran gurusibaso di dalam upacara-upacara tersebut adalah sebagai penyampai doa permohonan manusia, penghubung agar dapat berkontak dan berkomunikasi dengan para roh, dengan kata lain dia sebagai jembatan penghubung antara yang Ilahi dan manusia. Gurusibaso diberikan kemampuan untuk mengetahui rencana Ilahi terhadap manusia dan mampu meramalkan kejadian-kejadian yang akan datangserta sesuai dengan rencana yang Ilahi (DibataSiTeluSada).
6.   Kesimpulan
Pada hakikatnya wahyu merupakan inisiatif Allah sehingga Allah menganugerahkan diriNya kepada manusia. Wahyu yang disampaikan oleh Allah dijawab manusia dengan iman. Di dalam iman manusia menyerahkan diriNya kepada Allah. Dengan kata lain wahyu dan iman merupakan komunikasi pribadi dan persatuan antara Allah dan manusia.[20]
Pengenalan akan Allah di dalam budaya karo diperoleh dari pengalaman rohani (manusia mengalami sesuatu yang rohani dalam kegiatan sehari-hari). Pengalaman rohani tidak berasal dari inisiatif manusia tetapi terjadi dengan begitu saja tanpa dikehendaki. Pengalaman rohani terjadi melalui pengalaman alam seperti gunung meletus, banjir, kemarau panjang, guntur, gempa bumi dan lain-lain maupun pengalaman hidup manusia seperti penyakit dan kematian. Pengalaman rohani tersebut membawa manusia kepada kepercayaan bahwa ada kekuatan di luar diri manusia yang mahakuasa dan pencipta. Dalam arti tertentu pengalaman rohani dapat dimengerti sebagai “wahyu alami” dan tanggapan atasnya dapat juga disebut sebagai “iman”.
Konsep Allah yang diimani oleh orang karo pada zaman dulu ialah Allah yang memiliki pribadi. Allah yang memiliki pribadi tersebut ialah Allah atas, Allah tengah dan Allah bawah. Konsep ini mendapat pengaruh dari suku-suku lain. Konsep Allah yang dipahami ialah Allah yang jauh, tidak dapat dihampiri dan transenden sehingga tidak ada upacara yang mampu untuk menyembahnya. Allah yang transenden itu dipahami juga sebagai Allah yang imanen yang hadir dalam kalimbubu. Dalam budaya orang karo kalimbubu disebut sebagai Allah yang tampak. Kepercayaan akan Allah yang transenden dan imanen menimbulkan ide kepada kekuatan lain yang dapat dihampiri seperti kekuatan alam dan roh-roh manusia. Menurut pemahaman orang karo, begujabu ialah utusan Allah yang mahakuasa untuk menjaga keselamatan manusia. Maka dapat disimpulkan bahwa konsep Allah yang dipahami oleh orang karo pada zaman dulu merupakan hasil dari suatu pengalaman rohani atau dalam arti tertentu dapat disebut sebagai wahyu.  



[1]Mazri Singarimbun, Kinship, Descent and Alliance among the Karo Batak (Los Angeles: University of California Press, 1975), hlm. 1-2.
[2]E.P.Gintings, Religi Karo: Membaca Religi Karo dengan Mata yang Bar(Kabanjahe: Abdi Karya, 1999), hlm. 15.
[3]Sempa Sitepu et al., Pilar Budaya Karo(Medan :Bali Scan &Percetakan), hlm. 158.
[4]Sempa Sitepu et al., Pilar..., hlm.159.
[5]Sempa Sitepu et al., Pilar...,hlm.160.
[6]Sempa Sitepu et al., Pilar...,hlm.161.
[7]E.P. Gintings, Religi Karo: Membaca..., hlm. 3.
[8]E.P. Gintings, Religi Karo: Membaca..., hlm. 3.
[9]P. Tamboen,Adat Istiadat Karo(Jakarta: Balai Pustaka, 1952), hlm. 132.
[10]P. Tamboen,Adat..., hlm. 132.
[11]P. Tamboen, Adat..., hlm. 132.

[12]P. Tamboen, Adat..., hlm. 131.
[13]P. Tamboen, Adat..., hlm. 131.
[14]Begu (roh) dalam bahasa karo berarti ba-gi-gu, artinya ba=seperti, gi=banyangan, gu=”anu”, karena dalam pengalaman masyarakat Karo, keyakinan melihat bayangan orang yang sudah mati masih hadir dalam pengalaman sehari-hari. Karena itu mereka menyebutnya begu, dengan kata lain begu adalah tubuh rohani orang yang sudah meninggal.
Dalam kepercayaan masyarakat karo tradisional ada dua jenis begu. Pertama begujabu, yaitu begu atau roh orang yang meninggal masih dalam lingkup keluarga. Begu ini dipercayai memiliki sifat baik. Begujabu adalah roh yang menjaga dan melindungi keluarga serta memberi tanda-tanda apabila ada bahaya dan bencana maupun rezeki, biasanya disampaikan lewat mimpi.
Kedua adalah begudarat, yaitu begu atau roh yang berkeliaran di alam ini. Tugasnya hanya menyusahkan manusia. Yang tergolong dalam begu darat adalah begumentas (roh lewat, yaitu roh yang mati biasa), begumenggep (roh yang menyergap yang selalu mengintip manusia), begusidangbela yaitu roh perempuan yang mati waktu melahirkan, beguganjang, yaitu roh halus yang tinggi dan jahat dan ia sangat ditakuti, begunagalumayang, yaitu roh yang mengembara. Semua begu ini memiliki tempatnya masing-masing yang disebut dengan perkampungan begu atau roh.[Lihat  Prof. Dr. Henry Guntur Tarigan, Antusen Bilangen ibas kalak karo (Bandung: FPBS-IKIP-Bandung,1994),  hal. 23-24, 140.]
[15]P. Tamboen, Adat..., hlm. 133-134.
[16]P. Tamboen, Adat..., hlm. 135; bdk. E.P. Gintings, Religi Karo: Membaca..., hlm. 21-29.
[17]Meretembunen adalah kegiatan memberikan persembahan kuta (kampung) di tempat yang memiliki kekuatan atau keramat supaya tidak menimbulkan malapetaka. Caranya dengan membersihkan tempat tersebut dan meletakkan sesajian disitu.[Lihat Sempa Sitepu et al., Pilar..., hlm. 171-172.]           
[18]Ndilowariudanmerupakan kegiatan untuk memohon turunnya hujan kepada Dibata  pada waktu musim kemarau berkepanjangan. Bencana yang dialami manusia ini dipahami bahwa ada hubungan yang disharmonis antara mikrokosmos dan makrokosmos.[Lihat Sempa Sitepu et al., Pilar Budaya Karo (Medan :Bali Scan & Percetakan), hlm. 173.]
[18]Sempa Sitepu et al., Pilar..., hlm.159.
[19]Perumahbegumerupakan kegiatan memanggil roh orang mati. Menurut masyarakat karo dalam aliran kepercayaan ini orang yang sudah mati, rohnya masih bisa dipanggil melalui seorang “dukun” atau gurusibaso.[Lihat E.P. Gintings, Religi Karo: Membaca Religi Karo dengan Mata yang Baru (Kabanjahe: Abdi Karya, 1999), hlm. 47.]

[20]Nico Syukur Diester, Teologi Sistematika 1(Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 35

Tidak ada komentar:

Posting Komentar