Pendidikan Prasekolah Bagi Anak Dalam Keluarga
Oleh🎼
(Leo Dede Permana Bukit)
Abstrak
Pendidikan merupakan salah satu sarana bagi manusia
demi mendukung pertumbuhan atau perkembangan pribadi manusia yang lebih
manusiawi. Namun untuk menjadi pribadi manusia yang lebih manusiawi, manusia juga
harus menghayati pendidikan itu dengan bijaksana. Pendidikan prasekolah
diselenggarakan dalam upaya membantu meletakkan dasar perkembangan semua aspek
tumbuh kembang bagi anak usia sebelum memasuki pendidikan dasar. Usia
prasekolah merupakan masa peka untuk menerima rangsangan dan sangat menentukan
bagi tumbuh kembang anak pada masa selanjutnya. Anak yang memperoleh pendidikan
prasekolah diharapkan dapat meresapi diri untuk memasuki pendidikan dasar
secara lebih baik. Kemampuan dasar yang harus dimiliki anak dalam penyesuaian
dirinya: kemampuan untuk berkomunikasi, melakukan analisa terhadap situasi,
dll.
1.
Latar
Belakang
Pada
umumnya pendidikan dalam rumah tangga tidak bertolak dari kesadaran dan
pengertian yang lahir dari pengetahuan mendidik, melainkan karena secara
kodrati, suasana dan strukturnya memberikan kemungkinan alami membangun situasi
pendidikan. Situasi pendidikan itu terwujud berkat adanya pergaulan yang
mempengaruhi secara timbal balik antara orang tua dan anak. Orang tua berperan
sebagai pembentuk pribadi anak lewat interaksi interpersonal sehingga pola
tingkah laku anak akan ditentukan oleh bagaimana orang tua mengasuhnya.[1]
Pendidikan merupakan salah satu aspek
penting dalam kehidupan bernegara. Hubungan pendidikan dan negara, berkaitan
satu sama lain. Dalam konteks ini, kesatuan antara pendidikan dan negara dapat
dilihat melalui peranan pendidikan dalam negara. Pendidikan juga merupakan
syarat utama untuk membangun suatu negara. Apabila sistem dan praktek
pendidikan tidak berjalan dengan baik, maka usaha untuk menciptakan suatau
negara yang lebih baik akan gagal.[2] Pada
hakekatnya manusia tidaklah sempurna. Manusia menata hidup dan perkembangan
menuju kesempurnaan. Usaha manusia untuk menata hidup yang baik menuntut pendidikan
yang baik pula.[3]
Pendidikan
sebagai syarat utama bagi manusia sesungguhnya telah menjadi sarana atau alat
bagi manusia selama berabad-abad. Sejak awal keberadaannya, pendidikan telah
dijadikan sebagai alat menyalurkan ilmu pengetahuan, alat pembentuk watak, alat
pelatihan keterampilan, alat mengasah otak, alat meningkatkan proses
pengerjaan, alat investasi, alat konsumsi, alat menanamkan nilai moral dan
agama, alat pembentuk kesadaran bangsa, alat meningkatkan taraf ekonomi, alat
mengurangi kemiskinan, alat mengangkat status sosial, alat menguasai teknologi,
alat menguak rahasia alam raya dan manusia, alat menciptakan keadilan sosial,
alat pemanusiaan, alat pembebasan dan lain sebagainya.[4]
Ditilik
dari hubungan tanggung jawab terhadap anak, maka tanggung jawab pendidikan pada
dasarnya tidak bisa dibebankan seluruhnya kepada guru dan pemimpin umat. Dengan
kata lain, tanggung jawab pendidikan yang dipikul oleh para pendidik selain
orang tua adalah merupakan pelimpahan dari tangung jawab orang tua yang karena
satu dan lain hal tidak mungkin melaksanakan pendidikan anaknya secara
sempurna. Program pendidikan anak usia dini tidak terlepas dari peran,
perhatian dan tanggung jawab keluarga. Karena sebagian besar waktu anak usia
dini berada bersama keluarga, maka pendidikan anak usia dini sangat memerlukan
peranan dari keluarga. Pendidikan dalam keluarga adalah pendidikan yang bermutu
dalam menentukan masa depan anak. Tentu saja dengan pengertian bahwa keluarga
itu memenuhi syarat dalam membangun pendidikan yang berkualitas. Dalam kondisi
yang kurang lebih sama, tidak ada tempat “persemaian” anak yang lebih baik selain
dalam keluarga. Bahkan dalam kondisi yang kurang ideal, keluarga masih bisa
menjadi tempat pendidikan yang lebih luhur. Dengan demikian, peran orang tua
sangat berperan penting dalam, memberikan pemahaman yang baik dan berkualitas
kepada anak.[5]
Pendidikan
itu dilaksanakan lewat komunikasi yang hidup, yaitu hubungan yang mendalam
antara orangtua sebagai pendidik dan anak sebagai yang dididik. Dalam
komunikasi yang mendalam tersebut baik pendidik maupun yang dididik mencapai
pemenuhan atau menghayati kemanusiaannya secara penuh lewat pemberian diri
secara tulus satu sama lain. Oleh karena itu, pendidikan merupakan proses
pemberian secara timbal balik, baik antara orangtua sendiri maupun antara
orangtua dan anak. Ayah dan ibu saling mengungkapkan dan memberikan diri mereka
kepada anak. Selanjutnya, pendidikan juga merupakan proses tukar menukar, dalam
arti lewat proses mendidik orangtua sebagai pendidik juga menerima pendidikan
dari yang dididik tentang segi-segi tertentu menyangkut kemanusiaan dan
kehidupan ini.[6]
Tentang
isi pendidikan, salah satu dokumen Gereja Katolik menyebutkan, bahwa peranan
yang tidak dapat digantikan dari pendidikan di dalam keluarga adalah memberikan
pendidikan agama kepada anak yang memungkinkan keluarga berkembang menjadi
suatu Gereja keluarga. Pendidikan agama yang dimaksud tentu saja mencakup unsur
pengetahuan iman yang bersifat objektif, meliputi pengetahuan tentang
kelembagaan kebaktian kepada Tuhan dalam aspeknya yang resmi berupa aneka
peraturan, hukum, Kitab Suci beserta tafsirnya; serta unsur-unsur yang disebut
religiositas, yaitu aspek dalam lubuk hati. Secara khusus, unsur kedua
merupakan tanggung jawab khas pendidikan di dalam keluarga. Seperti dinyatakan
dalam dokumen Gereja Katolik, orang tua harus penuh kepercayaan dan keberanian
membina anak-anak mereka mengamalkan nilai-nilai hakiki kehidupan manusiawi,
menumbuhkan kesadaran akan keadilan dan cinta kasih yang sejati, serta
memberikan latihan dalam hal keutamaan-keutamaan sosial, termasuk memberikan
pendidikan seksualitas[7]
secara jelas. Bukan berarti pendidikan keluarga tidak perlu memperhatikan unsur
objektif pendidikan agama maupun
pendidikan dalam aspek-aspek kepribadian lainnya melainkan keluarga tetap
bertanggung jawab atas seluruh pendidikan anak-anaknya.[8]
Pada
abad ini, semakin berkembang gagasan di negara industri untuk “menyekolahkan”
anak, ketika baru berumur kira-kira 3 tahun. Yang menjadi sebab utama dari
munculnya gejala penyekolahan anak pada usia semuda itu, ialah keharusan banyak
ibu meninggalkan rumahnya untuk bekerja di kantor atau pun di pabrik. Jelas
kiranya, bahwa munculnya “Nursery School” (untuk anak umur 3-4 tahun) di
samping “ Kinder-garten” (Taman Kanak-kanak untuk anak umur 5-6 tahun) adalah
karena keharusan, yang ditimbulkan oleh tenaga sosio-ekonomis keluarga-keluarga
di negara industri. [9]
Fenomena
ini juga terjadi di Indonesia. Masih banyak orang tua sibuk untuk bekerja
sehingga harus meninggalkan anaknya. Dengan demikian, diperlukan sekolah yang
khusus untuk anak-anak. Pemerintah belum sanggup membiayai sepenuhnya jenis
pendidikan ini, tetapi ada dua langkah yang diambil pemerintah untuk
membuktikan, bahwa jenis pendidikan untuk anak-anak berumur 3-6 tahun diakui
manfaatnya. Langkah pertama, ialah pembukuan Sekolah Guru untuk Pendidikan Taman
Kanak-Kanak. Langkah kedua, ialah penciptaan Dinas prasekolah di Direktorat
Pendidikan Dasar, Prasekolah dan pendidikan Luar Biasa di dalam lingkungan
Direktorat Jendral Pendidikan, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan.[10]
Berdasarkan
fenomena yang terjadi di atas, penulis tertarik untuk mendalami tema ini karena
di dalamnya penulis akan termotivasi untuk membantu para orang tua dalam
memberikan pendidikan yang baik kepada anak-anaknya.
2. Perumusan masalah
Mendidik
adalah pertolongan atau pengaruh yang diberikan oleh orang yang bertanggung
jawab kepada anak supaya anak menjadi dewasa. Dalam rumusan ini dikatakan bahwa
mendidik itu merupakan pertolongan. Dengan ini dinyatakan bahwa anak pun aktif.
Tetapi, dia harus dibantu. Yang membantu itu adalah orang yang bertanggung
jawab atas anak itu. Yang bertanggung jawab itu adalah orang tua anak. Tentu
saja, jika orang tua tidak mampu, pendidikan harus dilaksanakan oleh orang
lain. Tentu tujuan pendidikan dikatakan bahwa pertolongan itu diberikan agar
anak menjadi dewasa, baik itu dari alat atau bantuan pendidikan lainnya.[11]
Tidak bisa kita sangkal bahwa mendidik dan
dididik itu merupakan perbuatan yang fundamental. Artinya, perbuatan yang
mengubah dan menentukan hidup manusia. Hal ini tampak baik dari pihak pendidik
maupun anak didik. Bagi anak didik, sudah jelas. Karena dengan menerima
pendidikan, dia tumbuh menjadi manusia. Cap pendidikannya yang khusus pun akan
melekat padanya selama hidup. Bagi pendidik, hal ini pun juga jelas karena
mendidik berarti menentukan suatu sikap[12].
Maka dijelaskan bahwa, Pendidikan prasekolah merupakan
dasar bagi perkembangan sikap, pengetahuan, keterampilan, daya cipta dan
penyesuaiannya dengan lingkungan sosialnya. Oleh karena itu, perlu diusahakan
agar pendidikan ini dapat dinikmati oleh segenap lapisan masyarakat. Bantuan
dari semua pihak sangat diperlukan, terutama dari media massa, seperti radio,
televisi, surat kabar, majalah, dan buku-buku bagi anak yang
hendak dididik. Pendidikan prasekolah adalah pendidikan untuk membantu
pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani anak didik dilingkungan
keluarga sebelum memasuki pendidikan dasar, yang diselenggarakan di jalur
pendidikan sekolah atau di jalur pendidikan luar sekolah. Pendidikan prasekolah
antara lain meliputi pendidikan Taman Kanak-kanak, terdapat di jalur sekolah,
dan Kelompok Bermain, serta Penitipan Anak di jalur luar sekolah. Taman
Kanak-kanak diperuntukkan untuk anak usia 5 dan 6 tahun, sementara kelompok
bermain atau penitipan anak diperuntukkan untuk anak paling muda berusia tiga
tahun.[13]
Pendidikan prasekolah pada
tahun 1990-an tidak banyak berbeda dari pendidikan prasekolah pada tahun 60-an,
bahkan sebelumnya, yang selalu menarik perhatian orang tua, masyarakat, maupun
pemerintah sebagai pengambil keputusan. Mereka menyadari bahwa kualitas masa
awal anak (early childhood) termasuk masa prasekolah merupakan cermin
kualitas bangsa di masa yang akan datang. Khususnya para orang tua makin lama
makin menyadari betapa pentingnya hubungan orang tua-anak yang kelak akan
mewarnai hubungan anak dengan lingkungannya, teman sebaya, guru maupun
atasannya. Oleh karena itu, berdasarkan masalah di
atas, penulis mempertajam masalah diatas dengan pertanyaan-pertanyaan berikut: Apa
itu Pendidikan Prasekolah? Apa fungsi Pendidikan Prasekolah? Apa Peranan
Eksplorasi dalam Kehidupan Anak Prasekolah? Apa fungsi Taman Kanak-kanak
sebagai alat pendidikan? Berdasarkan rumusan tersebut, penulis memberi batasan
tulisan ini dalam judul: PENDIDIKAN PRASEKOLAH BAGI ANAK DALAM KELUARGA.
3.
Pendidikan
Prasekolah
3.1 Pengertian Pendidikan Prasekolah
Pendidikan
prasekolah adalah suatu lembaga yang mempersiapkan anak untuk Sekolah Dasar,
serta upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia
enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan
pendidikan untuk
membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan
dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. Pendidikan ini juga merupakan salah
satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada peletakan
dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan
fisik(koordinasi
motorik halus dan kasar), kecerdasan (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, kecerdasan
spiritual), sosio
emosional (sikap
dan perilaku serta agama) bahasa dan komunikasi, sesuai dengan keunikan dan
tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini.[14]
3.2 Batasan Pendidikan Prasekolah
Seringkali
apa yang dimaksudkan dengan pendidikan prasekolah sangat simpang siur.
Masing-masing orang mempunyai pengertian yang tidak sama sehingga akan
mengaburkan arah pembicaraanya.[15]Batasan
yang dipergunakan oleh The National Association for The Education of
Young Children (NAEYC), dan para ahli pada umumnya sebagai berikut :[16]
Yang
dimaksudkan dengan “Early Chilhood” (anak masa awal) adalah anak sejak
lahir sampai dengan usia delapan tahun. Hal tersebut merupakan pengertian yang
baku yang dipergunakan oleh NAEYC. Batasan ini seringkali dipergunakan untuk
merujuk anak yang belum mencapai usia sekolah dan masyarakat menggunakannya dalam
berbagai tipe prasekolah (preschool). Early Chilhood Setting (tatanan
anak masa awal) menunjukkan pelayanan untuk anak sejak lahir sampai dengan
delapan tahun di suatu pusat penyelenggaraan, rumah, atau institusi,
seperti Kinder-garten, Sekolah Dasar dan program rekreasi yang
menggunakan sebagian waktu atau penuh waktu. [17]
Istilah lain yang sering
digunakan untuk diskusi tentang pendidikan anak usia dini adalah “nursey
school” atau “preschool” (prasekolah). Nursey school adalah
program untuk pendidikan anak usia dua, tiga, dan empat tahun. [18]
Anak pra-sekolah adalah mereka
yang berusia 3-6 tahun menurut Biechler dan Snowman. Sedangkan di Indonesia,
umumnya mereka mengikuti program Tempat Penitipan Anak (3 bulan-5 tahun) dan
Kelompok Bermain (usia 3 tahun), sedangkan pada usia 4-6 tahun biasanya
mengikuti program taman kanak-kanak. Dari teori Piaget, ia membicarakan
perkembangan kognitif, maka perkembangan kognitif anak masa pra sekolah berada
pada tahap pra-operasional (2-7 tahun). [19]
3.3 Fungsi Pendidikan Prasekolah
Semakin maju suatu masyarakat sebagai akibat
industrialisasi, semakin banyak wanita juga yang telah berkeluarga, yang harus
meninggalkan rumah tangganya pada siang hari untuk bekerja di luar rumah.
Keharusan itu ditimbulkan oleh semakin meningkatnya keperluan kehidupan modern.
Akan tetapi terutama di negara-negara yang sedang berkembang, sering juga
seorang ibu terpaksa meninggalkan rumahnya, bukan untuk menambah nafkah
keluarganya secara langsung, tetapi untuk memenuhi kewajiban, yang merupakan
konsekwensi dari kedudukan suami di dalam masyarakat atau di lingkungan
pemerintahan. [20]
Akan
tetapi di samping golongan ibu yang dimaksudkan, masih terdapat mayoritas ibu,
yang juga harus turut dengan suami mencari nafkah untuk keluarganya. Golongan
ini, ialah golongan ibu-ibu petani di pedesaan dan ibu-ibu pedagang di
kota-kota. Asuhan dan pemberian pendidikan bagi anak-anak di pedesaan, yang
ditinggalkan oleh ibu mereka, ketika ibu itu ke sawah atau ke kebun, tidak
menimbulkan persoalan langsung. Wanita dan nenek-nenek di kampung akan
menggantikan peranan ibu kandung anak-anak itu, kalau mereka tidak turut
melakukan suatu pekerjaan di luar kampungnya. Mereka ini melakukan hal demikian
tanpa diminta, karena sudah diadatkan kebiasaan itu berdasarkan corak kehidupan
sosial di pedesaan.[21]
Tetapi
keadaan seperti di desa yang dilukiskan, tidak dijumpai di kota-kota. Tetangga
seorang ibu pedagang sayur di kota mungkin orang dari daerah lain, yang berbeda
kebiasaannya. Oleh karena itu tetangga demikian tidak merasa bertanggung jawab
atas anak, yang ditinggalkan oleh ibunya di rumah karena harus meninggalkan
rumahnya untuk bekerja. Maka anak itu dibawa oleh ibunya ke tempatnya
berdagang, atau ditinggalkan di rumah dalam pengawasan anak yang lebih tua.
Kalau persoalannya dinilai dari keadaan “biasa” dan konkrit berdasarkan corak
kehidupan tradisional, maka hanya anak-anak di kota sajalah yang memerlukan
pendidikan prasekolah. Tetapi kalau taraf perkembangan kewajiban ibu-ibu dari
kalangan rakyat diukur dengan keperluan yang dituntut oleh kehidupan modern,
maka anak-anak di pedesaan pun memerlukan pendidikan prasekolah menurut konsep
pendidikan modern. Anak kecil itu tidak hanya memerlukan makan pada waktunya,
yang diusahakan oleh wanita tetangga dari ibu yang meninggalkan anaknya karena
harus bekerja di luar rumah, tidak pula hanya perlu penjagaan, supaya jangan
ditimpa bahaya. Anak itu memerlukan bimbingan psikis, antara lain untuk
melakukan eksplorasi mengenal nilai-nilai sosial di lingkungannya, untuk belajar
memusatkan perhatiannya. Fondasi kehidupan seseorang diletakkan pada masa
kanak-kanak. Dengan demikian, hendaknya diusahakan sebaik-baiknya, agar peletakan
fondasi itu dilaksanakan sesuai dengan tuntutan zaman modern, supaya kelak si
anak jangan canggung menghadapi masa kedewasaannya.[22]
3.4 Peranan Eksplorasi dalam Kehidupan Anak
Prasekolah
Jelas
tampak di dalam tingkah laku anak sekitar 4 tahun, ialah “sikap yang menjawab
undangan dari lingkungannya”. Hal ini berarti, bahwa ia ingin mengetahui segala
sesuatu yang dilihat, dirasakan dan didengarnya lebih teliti lagi. Anak itu
terus-menerus mengadakan eksplorasi di lingkungannya. Ia tidak menunjukkan rasa
takut dalam proses eksplorasinya itu. (Dalam banyak hal “rasa takut yang semula
asing bagi anak ditanamkan sebenarnya oleh orangtua anak, atau oleh orang lain
di lingkungannya. Dalam proses munculnya rasa takut ini, menurut hakekatnya si
orang tua yang takut, kalau-kalau anaknya akan mendapat kecelakaan dalam
bereksplorasi itu. Oleh karena itu, anak dilarang dengan ucapan-ucapan seperti
“jangan,...nanti; tidak boleh kau...,
nanti....” dan sebagainya). Proses eksplorasi ini adalah suatu peristiwa, yang
sejak mula-mula sekali tampak di dalam kehidupan anak. Ia ingin menemukan
sendiri, mencoba-coba sendiri dan menentukan bagi dirinya sendiri kegunaan dari
yang ditemukannya. Dorongan bereksplorasi itu merupakan salah satu eksponen
dari keinginan anak mendapatkan keamanan bagi dirinya: dengan mengetahui apa
dan betapa sifat benda atau peristiwa yang dihadapinya, dapatlah anak kecil itu
menentukan sikapnya sendiri terhadap benda atau gejala/peristiwa yang dihadapi
itu dan penentuan sikap ini memberikan rasa aman bagi anak, suatu hal yang
menjadi pendorong untuk bertindak dan meneliti bagi seorang individu.[23]
Akan
tetapi terkadang ada masanya anak berhadapan dengan nilai atau tenaga, yang
belum dikenalnya ketika ia melakukan eksplorasi. Di sinilah muncul peranan
pendidik untuk memperkenalkan kepada anak, apa makna benda atau peristiwa yang
dihadapi itu. Sering sekali larangan “jangan...nanti...: tidak
boleh...nanti...” tidak mencukupi dan harus disertai lagi dengan penjelasan
(pendek, tetapi cukup jelas bagi anak). Kalau tidak, ada kemungkinan anak akan
mencoba justru karena larangan itu, apa lagi kalu dilihatnya, bahwa “orang yang
sudah besar” di lingkungannya “boleh melakukannya”. Tetapi larangan itu, kalau
anak mengetahui betapa kerasnya sikap pendidikan mengenai pelanggaran sesuatu
yang telah diperintahkan supaya jangan dilakukan, dapat juga mematikan semua
dorongan bereksplorasi: anak berusaha menjadi seorang “konformis (penurut)”. Dalam
kerangka eksplorasi ini sekaligus akan dikemukakan suatu sikap yang umum bagi
semua makhluk manusia, tetapi yang amat menonjol secara khas pada anak-anak.
Yang dimaksud, ialah sikap meniru. Berdasarkan adanya sikap meniru pada
anak-anak inilah pernah Alfred Adler mengatakan kepada sekelompok ibu-ibu di
London pada tahun 1914:” perkenalkan anak-anakmu kepada saya, nanti dapat saya
katakan, ibu yang bagaimana kamu!” Walaupun tidak seekstrim ucapan Alfred Adler
itu, tetapi dapat dikatakan, bahwa berdasarkan corak tingkah laku anak di Taman
Kanak-kanak dapatlah diduga, betapa keadaan kehidupan (sosial) di lingkungan
keluarga orang tua anak itu.[24]
Walaupun
erat berhubungan dengan perkembangan psikis anak sebagai individu, tetapi
pencerminan harga diri tampak juga pada tingkah laku dan perbuatan anak itu.
Biarpun umpamanya suatu tugas fisik “terlalu berat” bagi seorang anak, tetapi
dengan senang ia melaksanakannya, karena hasil tidaknya ia melakukan tugas yang
diberikan itu dianggapnya berhubungan erat dengan harga dirinya. Konsekwensi
aspek perkembangan ini akan dibicarakan lebih lanjut kelak dalam bagian yang
menyangkut “tindakan pendidikan” di Taman Kanak-kanak. Aspek terakhir yang
hendak diuraikan di sini sehubungan dengan tindakan serta tungkah laku anak,
yang juga mempunyai jalinan dengan “peniruan” dan dengan “harga diri”, ialah
proses identifikasi. Beridentifikasi dengan seseorang berarti, bahwa ada sesuatu
pada orang itu yang cukup menarik perhatian untuk diusahakan memilikinya juga.
Umpamanya saja; seorang anak beridentifikasi dengan pendidiknya, karena ia
kagum atau sekurang-kurangnya ingin, supaya ia “sama dengan orang itu” (antara
lain karena keramahan, ketegasan, kejujuran dan sifat-sifat lain lagi pada
orangnya, yang dapat dihayati si anak). [25]
3.5 Fungsi
Taman Kanak-kanak sebagai Alat Pendidikan
Taman
Kanak-kanak sebagai suatu lembaga yang mempersiapkan anak untuk Sekolah Dasar, mengemukakan
bahwa masa kanak-kanak bukanlah masa “belajar membaca dan menghitung”,
melainkan masa bermain. Dalam permainanlah diperkenalkan bilangan dan aksara
kepada anak-anak itu.[26]
Sebaliknya,
mereka yang menentang usaha lembaga Taman Kanak-kanak menjadi “sekolah
persiapan”, untuk Sekolah Dasar, mengemukakan bahwa ada ketidakjelasan batasan antara “bermain-main dengan menggunakan aksara
dan bilangan” dengan penyajian bilangan dan aksara itu secara sistematis dan
metodologis. Sering juga ada kecendrungan guru untuk menggunakan metode
pengajaran yang tidak relevan lagi. Ditambahkan bahwa fungsi membaca ialah
menambah pengetahuan dengan bahasa tulisan. Dan justru dalam hal inilah
ternyata, bahwa tidak ada gunanya mengajar anak di Taman Kanak-kanak untuk
membaca; taraf perkembangan psikisnya tidak dapat mengikuti luas ruang lingkup
pengertian yang disajikan dengan bacaan itu, betapapun sederhananya susunan
bahan bacaan untuk Taman Kanak-kanak itu. Oleh karena bahan “itu-itu juga”
menurut tanggapan anak, maka cepat juga ia bosan membaca dan kebosanan ini
sekali timbul akan susah menghilangkannya. Hal ini sudah juga dibuktikan dengan
eksperimentasi dan penelitian.[27]
Akan
tetapi persoalan Taman Kanak-kanak bukanlah persoalan didaktik. Tugas utama
bagi Taman kanak-kanak ialah mendidik anak sampai mencapai umur masuk Sekolah
Dasar. Walaupun disadari bahwa pendidikan itu hendaknya dilaksanakan oleh orangtua
terlebih dahulu. Berikut ini adalah berbagai macam persoalan terkait dengan
pendidikan dari orang tua kepada anaknya di rumah:[28]
a) Kebanyakan
ibu dari kalangan rakyat yang belum berpendidikan, baik di kota maupun di
pedesaan, harus meninggalkan rumah untuk membantu suami bekerja memenuhi
keperluan hidup bagi keluarga.
b) Wanita
muda di kota yang sudah terpelajar juga sering, karena desakan ekonomi dan
tidak pula mempunyai kesempatan memberikan pendidikan yang diperlukan oleh
anaknya yang berumur 3-6 tahun itu, karena mereka turut juga bekerja di kantor
atau di sekolah (menjadi guru) untuk mencukupi keperluan hidup bagi
keluarganya. Keperluan hidup itu ada juga yang ditimbulkan oleh peningkatan
hidup kultural sebagai akibat pendidikan yang diterimanya.
c) Banyak
wanita dari lingkungan pembesar ataupun isteri pemimpin perusahaan tidak juga
mempunyai kesempatan untuk cukup memberikan perhatian kepada pendidikan
anaknya, yang berumur 3-6 tahun itu.
Sumber dari kekurangan waktu ini tidak dijumpai pada keharusan mencari
tambahan nafkah, tetapi ditimbulkan oleh tugas-tugas sosial, yang erat
hubungannya dengan kedudukan suami.
d) Sumber
ketidakmampuan yang disebut di atas dijumpai pada tidak adanya pendidikan
kebanyakan ibu dikalangan rakyat biasa. Mereka tidak menyadari betapa
pentingnya corak dan sifat pendidikan, yang hendaknya diberikan kepada anak
justru pada usia 3-6 tahun, yakni ketika penguasaan bahasa oleh anak mulai
berkembang, sedang menurut fisiknya pun anak sudah dapat bergerak di luar batas
pekarangan rumah sendiri.
e) Ketidakmampuan
mendidik anak berumur 3-6 tahun karena tidak tahu bagaimana melaksanakannya,
walaupun disadari kepentingannya tidak hanya dijumpai dikalangan rakyat biasa,
tetapi juga dikalangan ibu-ibu yang sudah terpelajar, padahal mereka ini ingin memberikan pendidikan yang
sebaik-baiknya bagi anak-anaknya.
Dikatakan
“tujuan khusus atau fungsi”, karena secara umum tujuan pendidikan di Taman
Kanak-kanak dan di Sekolah Dasar adalah sama, yakni membantu anak untuk
mencapai kedewasaanya dalam arti yang dikemukakan di dalam Undang-Undang
Pendidikan dan Pengajaran no.4/50 yo no.12/54 Bab II dan III, pasal 3 dan 4,
serta didalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Sementara) no.
XXXVII/MPRS/66. Kekhususan yang dimaksudkan disini disebabkan oleh keharusan
untuk lebih memperhitungkan lagi kesanggupan anak, sehubungan dengan keadaan
jasmani dan rohaninya. Di samping itu kekhususan yang dimaksudkan itu turut
ditimbulkan oleh taraf pengetahuan anak tentang norma, yang memberikan batas
kepada segala sesuatu di dalam tindakannya dalam usahanya mencapai kedawasaanya
kelak. Dan tindakan manusia itu tidak ditujukan kepada suatu kekosongan dalam
kehidupan, tetapi dalam hubungan atau komunikasi dengan sesama manusia di
lingkungan sendiri.[29]
Dalam
buku Sosiologi Suatu Pengantar karya Soerjono Soekanto menegaskan, pendidikan juga
bertujuan untuk meneruskan kebudayaan kepada generasi muda melalui proses
sosialisasi. Sosiologi pendidikan tidak hanya membatasi diri pada pendidikan
yang diberikan disekolah-sekolah, akan tetapi juga pendidikan keluarga,
pendidikan masyarakat dan sebagainya. Sistem pendidikan tersebut mempunyai pengaruh
yang besar terhadap kehidupan masyarakat. Misalnya, sistem pendidikan Taman
Siswa yang didasarkan pada tut wuri
handayani mempunyai pengaruh besar terhadap masyarakat antara lain dalam
bidang kepemimpinan.[30]
Manusia
adalah makhluk sosial, yang berarti, bahwa manusia akan mencapai kemanusiaannya
dengan berhadapan dengan yang lain; manusia itu harus bergaul dengan sesamanya
untuk mendapat kemungkinan berkembang menjadi manusia yang manusiawi. Di dalam
pergaulannya itulah ia mempelajari tentang adanya norma, adanya nilai
intelektual, nilai keharusan (emosional), nilai susila, dan sebagainya.
Sehubungan dengan itu, maka tujuan utama yang hendaknya dicapai dengan
pendidikan Taman Kanak-kanak, ialah pemberian bantuan kepada anak-anak agar
proses sosialisasi yang ditempuhnya, menghadapi “jalan yang sebanyak-banyaknya
telah diratakan dengan bantuan pendidikan”.
Tujuan lain, seperti umpamanya membantu anak untuk menguasai nilai
intelektual dan sebagainya itu, menurut hakekatnya merupakan alat untuk proses sosialisasi
yang dimaksud.[31]
4.
Rangkuman
Pada
abad ini, perhatian pada pelembagaan pendidikan anak-anak umur 3-6 tahun
semakin diperjuangkan oleh negara-negara berkembang. Salah satunya adalah
negara Indonesia. Banyak ibu-ibu mencukupi keperluan hidup keluarganya dengan
turut bekerja di luar rumah; isteri pegawai kantoran dalam kehidupan
pemerintahan sering juga mendapat tugas di luar rumah sebagai konsekwensi
kedudukan suaminya. Di samping itu, banyak ibu-ibu yang kurang tahu mendidik
anaknya dari usia 3-6 tahun, sehingga mereka menginginkan adanya pendidikan
prasekolah. Anak yang masuk ke Taman Kanak-kanak masih harus banyak mendapat
bantuan dalam perkembangannya di bidang jasmani dan rohani. Dengan demikian, anak semakin mengetahui pola pikir
yang dituangkannya dalam bahasa yang baik, dengan taraf perkembangan menurut
umurnya.
Perkembangan
penguasaan bahasa sekaligus menjadi pembantu bagi perkembangan daya psikis
intelektual: menganalisa, menilai, memilih atau menentukan pilihan, dan
kemudian menuangkan hasil proses itu di dalam bahasa. Pengembangan daya
emosional, penilaian estetis, kesanggupan bersosialisasi, kesanggupan berbuat
sesuai dengan norma yang dapat ditanggapi oleh anak menurut taraf
kematangannya, semuanya dapat dan harus dilaksanakan di Taman Kanak-kanak dalam
bentuk pembiasaan. Pendidikan agama turut juga dilaksanakan menurut prinsip
yang sama: pembiasaan berbuat sesuai dengan ajaran agama jauh lebih penting
dari pada mengajarkan hukum agama, betapapun kesederhanaan pengajaran itu
diberikan. Identifikasi suatu proses yang amat penting maknanya di dalam
pendidikan mempunyai peranan besar di dalam pendidikan agama. Tetapi
identifikasi itu jangan hanya berjalan dari pihak anak ke arah pendidiknya,
tetapi harus dilakukan juga oleh pendidik terhadap anak didiknya. Dengan kata
lain, melalui identifikasi demikian, pendidik menjadi “kata hati pengganti”
bagi anak didiknya.
5. Kesimpulan
Keadaan seorang anak yang baru lahir
tentu masih berada dalam keadaan lemah, naluri dan fungsi-fungsi fisik maupun
psikisnya belum berkembang dengan sempurna. Hal yang dibutuhkan anak agar
tumbuh menjadi anak yang cerdas adalah adanya upaya-upaya pendidikan seperti
terciptanya lingkungan belajar yang kondusif, memotivasi anak untuk belajar,
dan bimbingan serta arahan kearah perkembangan yang optimal. Dengan begitu kecerdasan anak dalam mengaktualisasikan potensi
yang ada dalam dirinya akan tumbuh dengan baik. Masa usia dini merupakan periode
emas sekaligus periode kritis bagi anak, dimana perkembangan yang diperoleh
pada periode ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan periode berikutnya
hingga masa dewasa. Sementara masa emas ini hanya datang sekali, sehingga
apabila terlewat berarti habislah peluangnya. Untuk itu pendidikan untuk
usia dini dalam bentuk pemberian rangsangan-rangsangan (stimulasi) dari
lingkungan terdekat sangat diperlukan untuk mengoptimalkan kemampuan anak. Ditinjau
dari psikologi perkembangan, usia 6-8 tahun memang masih berada dalam rentang
usia 0-8 tahun. Itu berarti pendidikan yang diberikan dalam keluarga maupun di
lembaga pendidikan formal haruslah kental dengan nuansa pendidikan anak usia
dini, yakni dengan mengutamakan konsep belajar melalui bermain. Pergi ke prasekolah merupakan langkah penting, memperluas
lingkungan fisik, kognitif, dan sosial anak. Saat ini, dengan jumlah belum yang
pernah ada sebelumnya, anak usia 4 tahun bahkan yang berusia 3 tahun telah
didaftarkan ke pendidikan masa kanak-kanak awal. Transisi ke taman kanak-kanak,
dan awal “sekolah yang sebenarnya” merupakan langkah penting lainnya.
Di sebagian negara, prasekolah
diharapkan memberikan persiapan akademis untuk bersekolah. Sebagai bagian dari
perdebatan seputar cara meningkatkan pendidikan, tumbuh tekanan untuk
menawarkan instruksi dengan basis keterampilan akademis. Anak-anak menghabiskan lebih
sedikit waktu untuk aktivitas yang mereka pilih sendiri dan lebih banyak untuk
mengerjakan lembar tugas dan persiapan untuk membaca. Banyak taman kanak-kanak
saat ini menghabiskan waktu sehari penuh dibanding taman kanak-kanak
tradisional yang setengah hari. Dan seiring dengan semakin memuncaknya tekanan
akademis dan emosional, banyak orang tua yang menahan anaknya setahun lebih
lama sehingga anak-anak tersebut saat ini mulai masuk taman kanak-kanak pada
saat berusia 6 tahun.
Daftar
Pustaka
Driyarkara,
Nicolaus. Percikan Filsafat.Jakarta: Pembangunan, 1978.
Santrock,
John W. Psikologi Pendidikan. [tanpa
tempat, penerbit dan tahun].
Kleden,
Paulus Budi. Membangun Dunia Pendidikan
dalam Negara .Maumere: Ledalero, 2003.
Simandjuntak
, I.P. (ed.) Ilmu Pendidikan. Jakarta: Offset N.V Masa Baru, 1973.
Sindhunata.
(ed.) Membuka Masa Depan Anak-Anak Kita:
Mencari Kurikulum Pendidikan Abad XXI.Yogyakarta: Kanisius, 2000.
Soekanto,
Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar .Jakarta: Rajawali Pers, 1990.
Sudiarja,
A. dkk, Karya Lengkap Driyarkara: Esai-Esai Filsafat Pemikir yang Terlibat
Penuh dalam Perjuangan Bangsanya. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006.
Supratiknya,
A. Menggugat
Sekolah: Kumpulan Esai Tentang Psikologi dan Pendidikan. Yogyakarta:
Universitas Sanata Dharma, 2011.
[1]
Nicolaus Driyarkara, Percikan Filsafat (Jakarta: Pembangunan, 1978), hlm. 104.
[2] Paulus Budi Kleden, Membangun Dunia Pendidikan dalam Negara
(Maumere: Ledalero, 2003), hlm. 37.
[3] Nicolaus Driyarkara, Percikan ..., hlm. 104.
[4] Sindhunata (ed.), Membuka Masa Depan Anak-Anak Kita: Mencari
Kurikulum Pendidikan Abad XXI (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hlm. 116.
[5] Sindhunata (ed.), Membuka ..., hlm. 116.
[6] A.Supratiknya, Menggugat Sekolah: Kumpulan Esai Tentang
Psikologi dan Pendidikan (Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma, 2011),
hlm. 25.
[7] Seksualitas adalah ada dan cara
berada manusia secara menyeluruh.
[8] A.Supratiknya, Menggugat Sekolah..., hlm. 25-26.
[9] I.P. Simandjuntak (ed.), Ilmu Pendidikan (Jakarta: Offset N.V
Masa Baru, 1973), hlm. 75.
[10] I.P. Simandjuntak (ed.), Ilmu ..., hlm. 75.
[11] A. Sudiarja, dkk, Karya Lengkap Driyarkara: Esai-Esai Filsafat
Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya ( Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2006), hlm. 414-415.
[12] A. Sudiarja, dkk, Karya..., hlm. 413.
[13] A. Sudiarja, dkk, Karya..., hlm. 413.
[14]
John W. Santrock, Psikologi Pendidikan ([tanpa tempat,
penerbit dan tahun]), hlm. 48.
[15] I.P. Simandjuntak (ed.), Ilmu ..., hlm. 76.
[16] I.P. Simandjuntak (ed.), Ilmu ..., hlm. 76-77.
[17] I.P. Simandjuntak (ed.), Ilmu ..., hlm. 77.
[18] I.P. Simandjuntak (ed.), Ilmu ..., hlm. 78.
[19]
John W. Santrock, Psikologi ..., hlm. 46.
[20]
I.P. Simandjuntak (ed.), Ilmu ..., hlm. 84.
[21]
I.P. Simandjuntak (ed.), Ilmu ..., hlm. 85.
[22]
I.P. Simandjuntak (ed.), Ilmu ..., hlm. 85-86.
[23] I.P. Simandjuntak (ed.), Ilmu ..., hlm. 90.
[24] I.P. Simandjuntak (ed.), Ilmu ..., hlm. 91.
[25] I.P. Simandjuntak (ed.), Ilmu ..., hlm. 91-92.
[26] I.P. Simandjuntak (ed.), Ilmu ..., hlm. 96.
[27] I.P. Simandjuntak (ed.), Ilmu ..., hlm. 96-97.
[29]
I.P. Simandjuntak (ed.), Ilmu ..., hlm. 99.
[30] Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu
Pengantar (Jakarta: Rajawali Pers, 1990), hlm. 51.
[31] I.P. Simandjuntak (ed.), Ilmu ..., hlm. 99.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar