Translate

Kamis, 04 Oktober 2018

Pendidikan Prasekolah


Pendidikan Prasekolah Bagi Anak Dalam Keluarga
Oleh🎼
(Leo Dede Permana Bukit)

Abstrak
            Pendidikan merupakan salah satu sarana bagi manusia demi mendukung pertumbuhan atau perkembangan pribadi manusia yang lebih manusiawi. Namun untuk menjadi pribadi manusia yang lebih manusiawi, manusia juga harus menghayati pendidikan itu dengan bijaksana. Pendidikan prasekolah diselenggarakan dalam upaya membantu meletakkan dasar perkembangan semua aspek tumbuh kembang bagi anak usia sebelum memasuki pendidikan dasar. Usia prasekolah merupakan masa peka untuk menerima rangsangan dan sangat menentukan bagi tumbuh kembang anak pada masa selanjutnya. Anak yang memperoleh pendidikan prasekolah diharapkan dapat meresapi diri untuk memasuki pendidikan dasar secara lebih baik. Kemampuan dasar yang harus dimiliki anak dalam penyesuaian dirinya: kemampuan untuk berkomunikasi, melakukan analisa terhadap situasi, dll.

1.      Latar Belakang
Pada umumnya pendidikan dalam rumah tangga tidak bertolak dari kesadaran dan pengertian yang lahir dari pengetahuan mendidik, melainkan karena secara kodrati, suasana dan strukturnya memberikan kemungkinan alami membangun situasi pendidikan. Situasi pendidikan itu terwujud berkat adanya pergaulan yang mempengaruhi secara timbal balik antara orang tua dan anak. Orang tua berperan sebagai pembentuk pribadi anak lewat interaksi interpersonal sehingga pola tingkah laku anak akan ditentukan oleh bagaimana orang tua mengasuhnya.[1]
Pendidikan merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan bernegara. Hubungan pendidikan dan negara, berkaitan satu sama lain. Dalam konteks ini, kesatuan antara pendidikan dan negara dapat dilihat melalui peranan pendidikan dalam negara. Pendidikan juga merupakan syarat utama untuk membangun suatu negara. Apabila sistem dan praktek pendidikan tidak berjalan dengan baik, maka usaha untuk menciptakan suatau negara yang lebih baik akan gagal.[2] Pada hakekatnya manusia tidaklah sempurna. Manusia menata hidup dan perkembangan menuju kesempurnaan. Usaha manusia untuk menata hidup yang baik menuntut pendidikan yang baik pula.[3]  
Pendidikan sebagai syarat utama bagi manusia sesungguhnya telah menjadi sarana atau alat bagi manusia selama berabad-abad. Sejak awal keberadaannya, pendidikan telah dijadikan sebagai alat menyalurkan ilmu pengetahuan, alat pembentuk watak, alat pelatihan keterampilan, alat mengasah otak, alat meningkatkan proses pengerjaan, alat investasi, alat konsumsi, alat menanamkan nilai moral dan agama, alat pembentuk kesadaran bangsa, alat meningkatkan taraf ekonomi, alat mengurangi kemiskinan, alat mengangkat status sosial, alat menguasai teknologi, alat menguak rahasia alam raya dan manusia, alat menciptakan keadilan sosial, alat pemanusiaan, alat pembebasan dan lain sebagainya.[4]  
Ditilik dari hubungan tanggung jawab terhadap anak, maka tanggung jawab pendidikan pada dasarnya tidak bisa dibebankan seluruhnya kepada guru dan pemimpin umat. Dengan kata lain, tanggung jawab pendidikan yang dipikul oleh para pendidik selain orang tua adalah merupakan pelimpahan dari tangung jawab orang tua yang karena satu dan lain hal tidak mungkin melaksanakan pendidikan anaknya secara sempurna. Program pendidikan anak usia dini tidak terlepas dari peran, perhatian dan tanggung jawab keluarga. Karena sebagian besar waktu anak usia dini berada bersama keluarga, maka pendidikan anak usia dini sangat memerlukan peranan dari keluarga. Pendidikan dalam keluarga adalah pendidikan yang bermutu dalam menentukan masa depan anak. Tentu saja dengan pengertian bahwa keluarga itu memenuhi syarat dalam membangun pendidikan yang berkualitas. Dalam kondisi yang kurang lebih sama, tidak ada tempat “persemaian” anak yang lebih baik selain dalam keluarga. Bahkan dalam kondisi yang kurang ideal, keluarga masih bisa menjadi tempat pendidikan yang lebih luhur. Dengan demikian, peran orang tua sangat berperan penting dalam, memberikan pemahaman yang baik dan berkualitas kepada anak.[5]
Pendidikan itu dilaksanakan lewat komunikasi yang hidup, yaitu hubungan yang mendalam antara orangtua sebagai pendidik dan anak sebagai yang dididik. Dalam komunikasi yang mendalam tersebut baik pendidik maupun yang dididik mencapai pemenuhan atau menghayati kemanusiaannya secara penuh lewat pemberian diri secara tulus satu sama lain. Oleh karena itu, pendidikan merupakan proses pemberian secara timbal balik, baik antara orangtua sendiri maupun antara orangtua dan anak. Ayah dan ibu saling mengungkapkan dan memberikan diri mereka kepada anak. Selanjutnya, pendidikan juga merupakan proses tukar menukar, dalam arti lewat proses mendidik orangtua sebagai pendidik juga menerima pendidikan dari yang dididik tentang segi-segi tertentu menyangkut kemanusiaan dan kehidupan ini.[6]
Tentang isi pendidikan, salah satu dokumen Gereja Katolik menyebutkan, bahwa peranan yang tidak dapat digantikan dari pendidikan di dalam keluarga adalah memberikan pendidikan agama kepada anak yang memungkinkan keluarga berkembang menjadi suatu Gereja keluarga. Pendidikan agama yang dimaksud tentu saja mencakup unsur pengetahuan iman yang bersifat objektif, meliputi pengetahuan tentang kelembagaan kebaktian kepada Tuhan dalam aspeknya yang resmi berupa aneka peraturan, hukum, Kitab Suci beserta tafsirnya; serta unsur-unsur yang disebut religiositas, yaitu aspek dalam lubuk hati. Secara khusus, unsur kedua merupakan tanggung jawab khas pendidikan di dalam keluarga. Seperti dinyatakan dalam dokumen Gereja Katolik, orang tua harus penuh kepercayaan dan keberanian membina anak-anak mereka mengamalkan nilai-nilai hakiki kehidupan manusiawi, menumbuhkan kesadaran akan keadilan dan cinta kasih yang sejati, serta memberikan latihan dalam hal keutamaan-keutamaan sosial, termasuk memberikan pendidikan seksualitas[7] secara jelas. Bukan berarti pendidikan keluarga tidak perlu memperhatikan unsur objektif  pendidikan agama maupun pendidikan dalam aspek-aspek kepribadian lainnya melainkan keluarga tetap bertanggung jawab atas seluruh pendidikan anak-anaknya.[8]

Pada abad ini, semakin berkembang gagasan di negara industri untuk “menyekolahkan” anak, ketika baru berumur kira-kira 3 tahun. Yang menjadi sebab utama dari munculnya gejala penyekolahan anak pada usia semuda itu, ialah keharusan banyak ibu meninggalkan rumahnya untuk bekerja di kantor atau pun di pabrik. Jelas kiranya, bahwa munculnya “Nursery School” (untuk anak umur 3-4 tahun) di samping “ Kinder-garten” (Taman Kanak-kanak untuk anak umur 5-6 tahun) adalah karena keharusan, yang ditimbulkan oleh tenaga sosio-ekonomis keluarga-keluarga di negara industri. [9]
Fenomena ini juga terjadi di Indonesia. Masih banyak orang tua sibuk untuk bekerja sehingga harus meninggalkan anaknya. Dengan demikian, diperlukan sekolah yang khusus untuk anak-anak. Pemerintah belum sanggup membiayai sepenuhnya jenis pendidikan ini, tetapi ada dua langkah yang diambil pemerintah untuk membuktikan, bahwa jenis pendidikan untuk anak-anak berumur 3-6 tahun diakui manfaatnya. Langkah pertama, ialah pembukuan Sekolah Guru untuk Pendidikan Taman Kanak-Kanak. Langkah kedua, ialah penciptaan Dinas prasekolah di Direktorat Pendidikan Dasar, Prasekolah dan pendidikan Luar Biasa di dalam lingkungan Direktorat Jendral Pendidikan, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan.[10]
Berdasarkan fenomena yang terjadi di atas, penulis tertarik untuk mendalami tema ini karena di dalamnya penulis akan termotivasi untuk membantu para orang tua dalam memberikan pendidikan yang baik kepada anak-anaknya.

2.      Perumusan masalah
            Mendidik adalah pertolongan atau pengaruh yang diberikan oleh orang yang bertanggung jawab kepada anak supaya anak menjadi dewasa. Dalam rumusan ini dikatakan bahwa mendidik itu merupakan pertolongan. Dengan ini dinyatakan bahwa anak pun aktif. Tetapi, dia harus dibantu. Yang membantu itu adalah orang yang bertanggung jawab atas anak itu. Yang bertanggung jawab itu adalah orang tua anak. Tentu saja, jika orang tua tidak mampu, pendidikan harus dilaksanakan oleh orang lain. Tentu tujuan pendidikan dikatakan bahwa pertolongan itu diberikan agar anak menjadi dewasa, baik itu dari alat atau bantuan pendidikan lainnya.[11]
     Tidak bisa kita sangkal bahwa mendidik dan dididik itu merupakan perbuatan yang fundamental. Artinya, perbuatan yang mengubah dan menentukan hidup manusia. Hal ini tampak baik dari pihak pendidik maupun anak didik. Bagi anak didik, sudah jelas. Karena dengan menerima pendidikan, dia tumbuh menjadi manusia. Cap pendidikannya yang khusus pun akan melekat padanya selama hidup. Bagi pendidik, hal ini pun juga jelas karena mendidik berarti menentukan suatu sikap[12].
             Maka dijelaskan bahwa, Pendidikan prasekolah merupakan dasar bagi perkembangan sikap, pengetahuan, keterampilan, daya cipta dan penyesuaiannya dengan lingkungan sosialnya. Oleh karena itu, perlu diusahakan agar pendidikan ini dapat dinikmati oleh segenap lapisan masyarakat. Bantuan dari semua pihak sangat diperlukan, terutama dari media massa, seperti radio, televisi, surat kabar, majalah, dan buku-buku bagi anak yang hendak dididik. Pendidikan prasekolah adalah pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani anak didik dilingkungan keluarga sebelum memasuki pendidikan dasar, yang diselenggarakan di jalur pendidikan sekolah atau di jalur pendidikan luar sekolah. Pendidikan prasekolah antara lain meliputi pendidikan Taman Kanak-kanak, terdapat di jalur sekolah, dan Kelompok Bermain, serta Penitipan Anak di jalur luar sekolah. Taman Kanak-kanak diperuntukkan untuk anak usia 5 dan 6 tahun, sementara kelompok bermain atau penitipan anak diperuntukkan untuk anak paling muda berusia tiga tahun.[13]
            Pendidikan prasekolah pada tahun 1990-an tidak banyak berbeda dari pendidikan prasekolah pada tahun 60-an, bahkan sebelumnya, yang selalu menarik perhatian orang tua, masyarakat, maupun pemerintah sebagai pengambil keputusan. Mereka menyadari bahwa kualitas masa awal anak (early childhood) termasuk masa prasekolah merupakan cermin kualitas bangsa di masa yang akan datang. Khususnya para orang tua makin lama makin menyadari betapa pentingnya hubungan orang tua-anak yang kelak akan mewarnai hubungan anak dengan lingkungannya, teman sebaya, guru maupun atasannya. Oleh karena itu, berdasarkan masalah di atas, penulis mempertajam masalah diatas dengan pertanyaan-pertanyaan berikut: Apa itu Pendidikan Prasekolah? Apa fungsi Pendidikan Prasekolah? Apa Peranan Eksplorasi dalam Kehidupan Anak Prasekolah? Apa fungsi Taman Kanak-kanak sebagai alat pendidikan? Berdasarkan rumusan tersebut, penulis memberi batasan tulisan ini dalam judul: PENDIDIKAN PRASEKOLAH BAGI ANAK DALAM KELUARGA.

3.      Pendidikan Prasekolah
3.1  Pengertian Pendidikan Prasekolah
Pendidikan prasekolah adalah suatu lembaga yang mempersiapkan anak untuk Sekolah Dasar, serta upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. Pendidikan ini juga merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik(koordinasi motorik halus dan kasar), kecerdasan (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual), sosio emosional (sikap dan perilaku serta agama) bahasa dan komunikasi, sesuai dengan keunikan dan tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini.[14]

3.2  Batasan Pendidikan Prasekolah
Seringkali apa yang dimaksudkan dengan pendidikan prasekolah sangat simpang siur. Masing-masing orang mempunyai pengertian yang tidak sama sehingga akan mengaburkan arah pembicaraanya.[15]Batasan yang dipergunakan oleh The National Association for The Education of Young Children (NAEYC), dan para ahli pada umumnya sebagai berikut :[16]
Yang dimaksudkan dengan “Early Chilhood” (anak masa awal) adalah anak sejak lahir sampai dengan usia delapan tahun. Hal tersebut merupakan pengertian yang baku yang dipergunakan oleh NAEYC. Batasan ini seringkali dipergunakan untuk merujuk anak yang belum mencapai usia sekolah dan masyarakat menggunakannya dalam berbagai tipe prasekolah (preschool). Early Chilhood Setting (tatanan anak masa awal) menunjukkan pelayanan untuk anak sejak lahir sampai dengan delapan tahun di suatu pusat penyelenggaraan, rumah, atau institusi, seperti Kinder-garten, Sekolah Dasar dan program rekreasi yang menggunakan sebagian waktu atau penuh waktu. [17]
Istilah lain yang sering digunakan untuk diskusi tentang pendidikan anak usia dini adalah “nursey school” atau “preschool” (prasekolah). Nursey school adalah program untuk pendidikan anak usia dua, tiga, dan empat tahun. [18]
Anak pra-sekolah adalah mereka yang berusia 3-6 tahun menurut Biechler dan Snowman. Sedangkan di Indonesia, umumnya mereka mengikuti program Tempat Penitipan Anak (3 bulan-5 tahun) dan Kelompok Bermain (usia 3 tahun), sedangkan pada usia 4-6 tahun biasanya mengikuti program taman kanak-kanak. Dari teori Piaget, ia membicarakan perkembangan kognitif, maka perkembangan kognitif anak masa pra sekolah berada pada tahap pra-operasional (2-7 tahun). [19]


3.3  Fungsi Pendidikan Prasekolah
 Semakin maju suatu masyarakat sebagai akibat industrialisasi, semakin banyak wanita juga yang telah berkeluarga, yang harus meninggalkan rumah tangganya pada siang hari untuk bekerja di luar rumah. Keharusan itu ditimbulkan oleh semakin meningkatnya keperluan kehidupan modern. Akan tetapi terutama di negara-negara yang sedang berkembang, sering juga seorang ibu terpaksa meninggalkan rumahnya, bukan untuk menambah nafkah keluarganya secara langsung, tetapi untuk memenuhi kewajiban, yang merupakan konsekwensi dari kedudukan suami di dalam masyarakat atau di lingkungan pemerintahan. [20]
Akan tetapi di samping golongan ibu yang dimaksudkan, masih terdapat mayoritas ibu, yang juga harus turut dengan suami mencari nafkah untuk keluarganya. Golongan ini, ialah golongan ibu-ibu petani di pedesaan dan ibu-ibu pedagang di kota-kota. Asuhan dan pemberian pendidikan bagi anak-anak di pedesaan, yang ditinggalkan oleh ibu mereka, ketika ibu itu ke sawah atau ke kebun, tidak menimbulkan persoalan langsung. Wanita dan nenek-nenek di kampung akan menggantikan peranan ibu kandung anak-anak itu, kalau mereka tidak turut melakukan suatu pekerjaan di luar kampungnya. Mereka ini melakukan hal demikian tanpa diminta, karena sudah diadatkan kebiasaan itu berdasarkan corak kehidupan sosial di pedesaan.[21]
Tetapi keadaan seperti di desa yang dilukiskan, tidak dijumpai di kota-kota. Tetangga seorang ibu pedagang sayur di kota mungkin orang dari daerah lain, yang berbeda kebiasaannya. Oleh karena itu tetangga demikian tidak merasa bertanggung jawab atas anak, yang ditinggalkan oleh ibunya di rumah karena harus meninggalkan rumahnya untuk bekerja. Maka anak itu dibawa oleh ibunya ke tempatnya berdagang, atau ditinggalkan di rumah dalam pengawasan anak yang lebih tua. Kalau persoalannya dinilai dari keadaan “biasa” dan konkrit berdasarkan corak kehidupan tradisional, maka hanya anak-anak di kota sajalah yang memerlukan pendidikan prasekolah. Tetapi kalau taraf perkembangan kewajiban ibu-ibu dari kalangan rakyat diukur dengan keperluan yang dituntut oleh kehidupan modern, maka anak-anak di pedesaan pun memerlukan pendidikan prasekolah menurut konsep pendidikan modern. Anak kecil itu tidak hanya memerlukan makan pada waktunya, yang diusahakan oleh wanita tetangga dari ibu yang meninggalkan anaknya karena harus bekerja di luar rumah, tidak pula hanya perlu penjagaan, supaya jangan ditimpa bahaya. Anak itu memerlukan bimbingan psikis, antara lain untuk melakukan eksplorasi mengenal nilai-nilai sosial di lingkungannya, untuk belajar memusatkan perhatiannya. Fondasi kehidupan seseorang diletakkan pada masa kanak-kanak. Dengan demikian, hendaknya diusahakan sebaik-baiknya, agar peletakan fondasi itu dilaksanakan sesuai dengan tuntutan zaman modern, supaya kelak si anak jangan canggung menghadapi masa kedewasaannya.[22]

3.4   Peranan Eksplorasi dalam Kehidupan Anak Prasekolah
Jelas tampak di dalam tingkah laku anak sekitar 4 tahun, ialah “sikap yang menjawab undangan dari lingkungannya”. Hal ini berarti, bahwa ia ingin mengetahui segala sesuatu yang dilihat, dirasakan dan didengarnya lebih teliti lagi. Anak itu terus-menerus mengadakan eksplorasi di lingkungannya. Ia tidak menunjukkan rasa takut dalam proses eksplorasinya itu. (Dalam banyak hal “rasa takut yang semula asing bagi anak ditanamkan sebenarnya oleh orangtua anak, atau oleh orang lain di lingkungannya. Dalam proses munculnya rasa takut ini, menurut hakekatnya si orang tua yang takut, kalau-kalau anaknya akan mendapat kecelakaan dalam bereksplorasi itu. Oleh karena itu, anak dilarang dengan ucapan-ucapan seperti “jangan,...nanti;  tidak boleh kau..., nanti....” dan sebagainya). Proses eksplorasi ini adalah suatu peristiwa, yang sejak mula-mula sekali tampak di dalam kehidupan anak. Ia ingin menemukan sendiri, mencoba-coba sendiri dan menentukan bagi dirinya sendiri kegunaan dari yang ditemukannya. Dorongan bereksplorasi itu merupakan salah satu eksponen dari keinginan anak mendapatkan keamanan bagi dirinya: dengan mengetahui apa dan betapa sifat benda atau peristiwa yang dihadapinya, dapatlah anak kecil itu menentukan sikapnya sendiri terhadap benda atau gejala/peristiwa yang dihadapi itu dan penentuan sikap ini memberikan rasa aman bagi anak, suatu hal yang menjadi pendorong untuk bertindak dan meneliti bagi seorang individu.[23]
Akan tetapi terkadang ada masanya anak berhadapan dengan nilai atau tenaga, yang belum dikenalnya ketika ia melakukan eksplorasi. Di sinilah muncul peranan pendidik untuk memperkenalkan kepada anak, apa makna benda atau peristiwa yang dihadapi itu. Sering sekali larangan “jangan...nanti...: tidak boleh...nanti...” tidak mencukupi dan harus disertai lagi dengan penjelasan (pendek, tetapi cukup jelas bagi anak). Kalau tidak, ada kemungkinan anak akan mencoba justru karena larangan itu, apa lagi kalu dilihatnya, bahwa “orang yang sudah besar” di lingkungannya “boleh melakukannya”. Tetapi larangan itu, kalau anak mengetahui betapa kerasnya sikap pendidikan mengenai pelanggaran sesuatu yang telah diperintahkan supaya jangan dilakukan, dapat juga mematikan semua dorongan bereksplorasi: anak berusaha menjadi seorang “konformis (penurut)”. Dalam kerangka eksplorasi ini sekaligus akan dikemukakan suatu sikap yang umum bagi semua makhluk manusia, tetapi yang amat menonjol secara khas pada anak-anak. Yang dimaksud, ialah sikap meniru. Berdasarkan adanya sikap meniru pada anak-anak inilah pernah Alfred Adler mengatakan kepada sekelompok ibu-ibu di London pada tahun 1914:” perkenalkan anak-anakmu kepada saya, nanti dapat saya katakan, ibu yang bagaimana kamu!” Walaupun tidak seekstrim ucapan Alfred Adler itu, tetapi dapat dikatakan, bahwa berdasarkan corak tingkah laku anak di Taman Kanak-kanak dapatlah diduga, betapa keadaan kehidupan (sosial) di lingkungan keluarga orang tua anak itu.[24]
Walaupun erat berhubungan dengan perkembangan psikis anak sebagai individu, tetapi pencerminan harga diri tampak juga pada tingkah laku dan perbuatan anak itu. Biarpun umpamanya suatu tugas fisik “terlalu berat” bagi seorang anak, tetapi dengan senang ia melaksanakannya, karena hasil tidaknya ia melakukan tugas yang diberikan itu dianggapnya berhubungan erat dengan harga dirinya. Konsekwensi aspek perkembangan ini akan dibicarakan lebih lanjut kelak dalam bagian yang menyangkut “tindakan pendidikan” di Taman Kanak-kanak. Aspek terakhir yang hendak diuraikan di sini sehubungan dengan tindakan serta tungkah laku anak, yang juga mempunyai jalinan dengan “peniruan” dan dengan “harga diri”, ialah proses identifikasi. Beridentifikasi dengan seseorang berarti, bahwa ada sesuatu pada orang itu yang cukup menarik perhatian untuk diusahakan memilikinya juga. Umpamanya saja; seorang anak beridentifikasi dengan pendidiknya, karena ia kagum atau sekurang-kurangnya ingin, supaya ia “sama dengan orang itu” (antara lain karena keramahan, ketegasan, kejujuran dan sifat-sifat lain lagi pada orangnya, yang dapat dihayati si anak). [25]

3.5   Fungsi Taman Kanak-kanak sebagai Alat Pendidikan
Taman Kanak-kanak sebagai suatu lembaga yang mempersiapkan anak untuk Sekolah Dasar, mengemukakan bahwa masa kanak-kanak bukanlah masa “belajar membaca dan menghitung”, melainkan masa bermain. Dalam permainanlah diperkenalkan bilangan dan aksara kepada anak-anak itu.[26]
Sebaliknya, mereka yang menentang usaha lembaga Taman Kanak-kanak menjadi “sekolah persiapan”, untuk Sekolah Dasar, mengemukakan bahwa ada ketidakjelasan batasan  antara “bermain-main dengan menggunakan aksara dan bilangan” dengan penyajian bilangan dan aksara itu secara sistematis dan metodologis. Sering juga ada kecendrungan guru untuk menggunakan metode pengajaran yang tidak relevan lagi. Ditambahkan bahwa fungsi membaca ialah menambah pengetahuan dengan bahasa tulisan. Dan justru dalam hal inilah ternyata, bahwa tidak ada gunanya mengajar anak di Taman Kanak-kanak untuk membaca; taraf perkembangan psikisnya tidak dapat mengikuti luas ruang lingkup pengertian yang disajikan dengan bacaan itu, betapapun sederhananya susunan bahan bacaan untuk Taman Kanak-kanak itu. Oleh karena bahan “itu-itu juga” menurut tanggapan anak, maka cepat juga ia bosan membaca dan kebosanan ini sekali timbul akan susah menghilangkannya. Hal ini sudah juga dibuktikan dengan eksperimentasi dan penelitian.[27]
Akan tetapi persoalan Taman Kanak-kanak bukanlah persoalan didaktik. Tugas utama bagi Taman kanak-kanak ialah mendidik anak sampai mencapai umur masuk Sekolah Dasar. Walaupun disadari bahwa pendidikan itu hendaknya dilaksanakan oleh orangtua terlebih dahulu. Berikut ini adalah berbagai macam persoalan terkait dengan pendidikan dari orang tua kepada anaknya di rumah:[28]
a)      Kebanyakan ibu dari kalangan rakyat yang belum berpendidikan, baik di kota maupun di pedesaan, harus meninggalkan rumah untuk membantu suami bekerja memenuhi keperluan hidup bagi keluarga.
b)      Wanita muda di kota yang sudah terpelajar juga sering, karena desakan ekonomi dan tidak pula mempunyai kesempatan memberikan pendidikan yang diperlukan oleh anaknya yang berumur 3-6 tahun itu, karena mereka turut juga bekerja di kantor atau di sekolah (menjadi guru) untuk mencukupi keperluan hidup bagi keluarganya. Keperluan hidup itu ada juga yang ditimbulkan oleh peningkatan hidup kultural sebagai akibat pendidikan yang diterimanya.
c)      Banyak wanita dari lingkungan pembesar ataupun isteri pemimpin perusahaan tidak juga mempunyai kesempatan untuk cukup memberikan perhatian kepada pendidikan anaknya, yang berumur 3-6 tahun itu.  Sumber dari kekurangan waktu ini tidak dijumpai pada keharusan mencari tambahan nafkah, tetapi ditimbulkan oleh tugas-tugas sosial, yang erat hubungannya dengan kedudukan suami.
d)     Sumber ketidakmampuan yang disebut di atas dijumpai pada tidak adanya pendidikan kebanyakan ibu dikalangan rakyat biasa. Mereka tidak menyadari betapa pentingnya corak dan sifat pendidikan, yang hendaknya diberikan kepada anak justru pada usia 3-6 tahun, yakni ketika penguasaan bahasa oleh anak mulai berkembang, sedang menurut fisiknya pun anak sudah dapat bergerak di luar batas pekarangan rumah sendiri.
e)      Ketidakmampuan mendidik anak berumur 3-6 tahun karena tidak tahu bagaimana melaksanakannya, walaupun disadari kepentingannya tidak hanya dijumpai dikalangan rakyat biasa, tetapi juga dikalangan ibu-ibu yang sudah terpelajar, padahal  mereka ini ingin memberikan pendidikan yang sebaik-baiknya bagi anak-anaknya.

Dikatakan “tujuan khusus atau fungsi”, karena secara umum tujuan pendidikan di Taman Kanak-kanak dan di Sekolah Dasar adalah sama, yakni membantu anak untuk mencapai kedewasaanya dalam arti yang dikemukakan di dalam Undang-Undang Pendidikan dan Pengajaran no.4/50 yo no.12/54 Bab II dan III, pasal 3 dan 4, serta didalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Sementara) no. XXXVII/MPRS/66. Kekhususan yang dimaksudkan disini disebabkan oleh keharusan untuk lebih memperhitungkan lagi kesanggupan anak, sehubungan dengan keadaan jasmani dan rohaninya. Di samping itu kekhususan yang dimaksudkan itu turut ditimbulkan oleh taraf pengetahuan anak tentang norma, yang memberikan batas kepada segala sesuatu di dalam tindakannya dalam usahanya mencapai kedawasaanya kelak. Dan tindakan manusia itu tidak ditujukan kepada suatu kekosongan dalam kehidupan, tetapi dalam hubungan atau komunikasi dengan sesama manusia di lingkungan sendiri.[29]
Dalam buku Sosiologi Suatu Pengantar karya Soerjono Soekanto menegaskan, pendidikan juga bertujuan untuk meneruskan kebudayaan kepada generasi muda melalui proses sosialisasi. Sosiologi pendidikan tidak hanya membatasi diri pada pendidikan yang diberikan disekolah-sekolah, akan tetapi juga pendidikan keluarga, pendidikan masyarakat dan sebagainya. Sistem pendidikan tersebut mempunyai pengaruh yang besar terhadap kehidupan masyarakat. Misalnya, sistem pendidikan Taman Siswa yang didasarkan pada tut wuri handayani mempunyai pengaruh besar terhadap masyarakat antara lain dalam bidang kepemimpinan.[30]
Manusia adalah makhluk sosial, yang berarti, bahwa manusia akan mencapai kemanusiaannya dengan berhadapan dengan yang lain; manusia itu harus bergaul dengan sesamanya untuk mendapat kemungkinan berkembang menjadi manusia yang manusiawi. Di dalam pergaulannya itulah ia mempelajari tentang adanya norma, adanya nilai intelektual, nilai keharusan (emosional), nilai susila, dan sebagainya. Sehubungan dengan itu, maka tujuan utama yang hendaknya dicapai dengan pendidikan Taman Kanak-kanak, ialah pemberian bantuan kepada anak-anak agar proses sosialisasi yang ditempuhnya, menghadapi “jalan yang sebanyak-banyaknya telah diratakan dengan bantuan pendidikan”.  Tujuan lain, seperti umpamanya membantu anak untuk menguasai nilai intelektual dan sebagainya itu, menurut hakekatnya merupakan alat untuk proses sosialisasi yang dimaksud.[31]

4.      Rangkuman
Pada abad ini, perhatian pada pelembagaan pendidikan anak-anak umur 3-6 tahun semakin diperjuangkan oleh negara-negara berkembang. Salah satunya adalah negara Indonesia. Banyak ibu-ibu mencukupi keperluan hidup keluarganya dengan turut bekerja di luar rumah; isteri pegawai kantoran dalam kehidupan pemerintahan sering juga mendapat tugas di luar rumah sebagai konsekwensi kedudukan suaminya. Di samping itu, banyak ibu-ibu yang kurang tahu mendidik anaknya dari usia 3-6 tahun, sehingga mereka menginginkan adanya pendidikan prasekolah. Anak yang masuk ke Taman Kanak-kanak masih harus banyak mendapat bantuan dalam perkembangannya di bidang jasmani dan rohani. Dengan   demikian, anak semakin mengetahui pola pikir yang dituangkannya dalam bahasa yang baik, dengan taraf perkembangan menurut umurnya.
Perkembangan penguasaan bahasa sekaligus menjadi pembantu bagi perkembangan daya psikis intelektual: menganalisa, menilai, memilih atau menentukan pilihan, dan kemudian menuangkan hasil proses itu di dalam bahasa. Pengembangan daya emosional, penilaian estetis, kesanggupan bersosialisasi, kesanggupan berbuat sesuai dengan norma yang dapat ditanggapi oleh anak menurut taraf kematangannya, semuanya dapat dan harus dilaksanakan di Taman Kanak-kanak dalam bentuk pembiasaan. Pendidikan agama turut juga dilaksanakan menurut prinsip yang sama: pembiasaan berbuat sesuai dengan ajaran agama jauh lebih penting dari pada mengajarkan hukum agama, betapapun kesederhanaan pengajaran itu diberikan. Identifikasi suatu proses yang amat penting maknanya di dalam pendidikan mempunyai peranan besar di dalam pendidikan agama. Tetapi identifikasi itu jangan hanya berjalan dari pihak anak ke arah pendidiknya, tetapi harus dilakukan juga oleh pendidik terhadap anak didiknya. Dengan kata lain, melalui identifikasi demikian, pendidik menjadi “kata hati pengganti” bagi anak didiknya.


5.      Kesimpulan
Keadaan seorang anak yang baru lahir tentu masih berada dalam keadaan lemah, naluri dan fungsi-fungsi fisik maupun psikisnya belum berkembang dengan sempurna. Hal yang dibutuhkan anak agar tumbuh menjadi anak yang cerdas adalah adanya upaya-upaya pendidikan seperti terciptanya lingkungan belajar yang kondusif, memotivasi anak untuk belajar, dan bimbingan serta arahan kearah perkembangan yang optimal. Dengan begitu  kecerdasan anak dalam mengaktualisasikan potensi yang ada dalam dirinya akan tumbuh dengan baik. Masa usia dini merupakan periode emas sekaligus periode kritis bagi anak, dimana perkembangan yang diperoleh pada periode ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan periode berikutnya hingga masa dewasa. Sementara masa emas ini hanya datang sekali, sehingga apabila terlewat  berarti habislah peluangnya. Untuk itu pendidikan untuk usia dini dalam bentuk  pemberian rangsangan-rangsangan (stimulasi) dari lingkungan terdekat sangat diperlukan untuk mengoptimalkan kemampuan anak. Ditinjau dari psikologi perkembangan, usia 6-8 tahun memang masih berada dalam rentang usia 0-8 tahun. Itu berarti pendidikan yang diberikan dalam keluarga maupun di lembaga pendidikan formal haruslah kental dengan nuansa pendidikan anak usia dini, yakni dengan mengutamakan konsep belajar melalui bermain. Pergi ke prasekolah merupakan langkah penting, memperluas lingkungan fisik, kognitif, dan sosial anak. Saat ini, dengan jumlah belum yang pernah ada sebelumnya, anak usia 4 tahun bahkan yang berusia 3 tahun telah didaftarkan ke pendidikan masa kanak-kanak awal. Transisi ke taman kanak-kanak, dan awal “sekolah yang sebenarnya” merupakan langkah penting lainnya.
Di sebagian negara, prasekolah diharapkan memberikan persiapan akademis untuk bersekolah. Sebagai bagian dari perdebatan seputar cara meningkatkan pendidikan, tumbuh tekanan untuk menawarkan instruksi dengan basis keterampilan akademis. Anak-anak menghabiskan lebih sedikit waktu untuk aktivitas yang mereka pilih sendiri dan lebih banyak untuk mengerjakan lembar tugas dan persiapan untuk membaca. Banyak taman kanak-kanak saat ini menghabiskan waktu sehari penuh dibanding taman kanak-kanak tradisional yang setengah hari. Dan seiring dengan semakin memuncaknya tekanan akademis dan emosional, banyak orang tua yang menahan anaknya setahun lebih lama sehingga anak-anak tersebut saat ini mulai masuk taman kanak-kanak pada saat berusia 6 tahun.















Daftar Pustaka
Driyarkara, Nicolaus. Percikan  Filsafat.Jakarta: Pembangunan, 1978.
Santrock, John W. Psikologi Pendidikan. [tanpa tempat, penerbit dan tahun].
Kleden, Paulus Budi. Membangun Dunia Pendidikan dalam Negara .Maumere: Ledalero, 2003.
Simandjuntak , I.P. (ed.)  Ilmu Pendidikan. Jakarta: Offset N.V Masa Baru, 1973.
Sindhunata. (ed.) Membuka Masa Depan Anak-Anak Kita: Mencari Kurikulum Pendidikan Abad        XXI.Yogyakarta: Kanisius, 2000.
Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar .Jakarta: Rajawali Pers, 1990.
Sudiarja, A.  dkk, Karya Lengkap Driyarkara: Esai-Esai Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006.
Supratiknya, A.  Menggugat Sekolah: Kumpulan Esai Tentang Psikologi dan Pendidikan. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma, 2011.



[1] Nicolaus Driyarkara, Percikan Filsafat (Jakarta: Pembangunan, 1978), hlm. 104.
[2] Paulus Budi Kleden, Membangun Dunia Pendidikan dalam Negara (Maumere: Ledalero, 2003), hlm. 37.
[3] Nicolaus Driyarkara, Percikan ..., hlm. 104.
[4] Sindhunata (ed.), Membuka Masa Depan Anak-Anak Kita: Mencari Kurikulum Pendidikan Abad XXI (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hlm. 116. 

[5] Sindhunata (ed.), Membuka ..., hlm. 116.
[6] A.Supratiknya, Menggugat Sekolah: Kumpulan Esai Tentang Psikologi dan Pendidikan (Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma, 2011), hlm. 25.
[7] Seksualitas adalah ada dan cara berada manusia  secara menyeluruh.
[8] A.Supratiknya, Menggugat Sekolah..., hlm. 25-26.
[9] I.P. Simandjuntak (ed.), Ilmu Pendidikan (Jakarta: Offset N.V Masa Baru, 1973), hlm. 75.
[10] I.P. Simandjuntak (ed.), Ilmu ..., hlm. 75.
[11] A. Sudiarja, dkk, Karya Lengkap Driyarkara: Esai-Esai Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya ( Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006), hlm. 414-415.
[12] A. Sudiarja, dkk, Karya..., hlm. 413. 
[13] A. Sudiarja, dkk, Karya..., hlm. 413.
[14] John W. Santrock, Psikologi Pendidikan ([tanpa tempat, penerbit dan tahun]), hlm. 48.
[15] I.P. Simandjuntak (ed.), Ilmu ..., hlm. 76.
[16] I.P. Simandjuntak (ed.), Ilmu ..., hlm. 76-77.  
[17] I.P. Simandjuntak (ed.), Ilmu ..., hlm. 77.
[18] I.P. Simandjuntak (ed.), Ilmu ..., hlm. 78.
[19] John W. Santrock, Psikologi ..., hlm. 46.
[20] I.P. Simandjuntak (ed.), Ilmu ..., hlm. 84.
[21] I.P. Simandjuntak (ed.), Ilmu ..., hlm. 85.
[22] I.P. Simandjuntak (ed.), Ilmu ..., hlm. 85-86.
[23] I.P. Simandjuntak (ed.), Ilmu ..., hlm. 90.
[24] I.P. Simandjuntak (ed.), Ilmu ..., hlm. 91.
[25] I.P. Simandjuntak (ed.), Ilmu ..., hlm. 91-92.
[26] I.P. Simandjuntak (ed.), Ilmu ..., hlm. 96.
[27] I.P. Simandjuntak (ed.), Ilmu ..., hlm. 96-97.
                [28] I.P. Simandjuntak (ed.), Ilmu ..., hlm. 98.
[29] I.P. Simandjuntak (ed.), Ilmu ..., hlm. 99.
[30] Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: Rajawali Pers, 1990), hlm. 51.
[31] I.P. Simandjuntak (ed.), Ilmu ..., hlm. 99.     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar