KOSMOLOGI
DAN PERAN-PERAN IMAM
TRADISIONAL
DALAM ADAT KARO
Orang
Karo tradisional mengenal Allah melalui seluruh ciptaan, gejala-gejala serta
peristiwa-peristiwa yang mereka alami setiap hari. Gejala-gejala dan peristiwa-peristiwa
alam tersebut sering membawa bencana dan malapetaka bagi hidup mereka. Mereka
sadar bahwa bencana yang menimpa diri mereka itu adalah akibat perbuatan mereka
sendiri, yang tidak mentaati hukum dan peraturan yang tertuang dalam adat.
Allah dan roh-roh leluhur mereka marah karena mereka tidak lagi hidup sesuai
dengan norma-norma hukum adat; mereka merusak dan mengganggu tempat-tempat yang
dianggap suci dan keramat. Maka untuk menenteramkan kembali situasi yang tidak
beres mi dilakukan berbagai macam ritus kepercayaan atau upacara-upacara untuk
menghormati Allah dan begu-begu (roh-roh) agar situasi kembali aman dan damai.
Ritus
kepercayaan yang biasa dilaksanakan Orang Karo tradisional ada beberapa jenis. Upacara-
yang dilaksanakan secara bersama oleh seluruh masyarakat kampung, seperti Muncang,
yaitu suatu bentuk ritus yang di dalamnya tercampur tari-tarian yang diiringi
dengan gendang (musik tradisional), nyanyian dan pemberian sajiarn kepada begu
(roh) dan Dibata (Allah). Tujuannya untuk mengusir marabahaya yang mengganggu
masyarakat maupun individu. Mere Tembunen, yaitu suatu upacara yang agak mirip
dengan Muncang, tetapi lebih dikhususkan memberi sajian kepada begu atau roh
kesuburan dan kesehatan atau upacara Mere Tmbunen ini merupakan suatu upacara
syukur kepada Allah dan begu (roh) atas kesehatan dan panen yang telah berhasil
dan diharapkan pada masa-masa yang akan datang keadaan seperti itu akan lebih
baik lagi.[1]
Dalam kepercayaan ini, upacara ritual dipimpin oleh
seorang guru. Guru merupakan sebutan bagi orang-orang tertentu yang dianggap
memiliki keahlian melakukan berbagai upacara tradisional Karo, antara lain
meramal, memimpin ritual, berkomunikasi dengan roh/mahluk gaib, perawatan,
serta penyembuhan kesehatan. Secara harfiah guru sama artinya dengan kata guru
dalam bahasa Indonesia, yaitu orang yang memiliki pengetahuan yang mendetail
mengenai berbagai hal yang berhubungan dengan kehidupan.
Spesialisai “Imam” Karo
Guru
dalam kehidupan orang Karo memiliki banyak klasifikasi berdasarkan keahlian dan
keampuhannya. Salah satu di antaranya adalah guru si baso, yaitu seseorang
yang dapat berhubungan dan mengundang roh gaib memasuki tubuhnya dan roh gaib
itu dapat berkomunikasi dengan manusia yang masih hidup melalui guru si baso
yang berperan sebagai ‘spirit-medium’. Mereka juga dapat melihat mahluk-mahluk
halus dari dunia gaib. Beberapa orang Karo menyebut mereka dengan sebutan guru
perjenujung (guru perjinujung). Jenis guru ini cenderung tidak memiliki
keahlian meramu obat dari tumbuhan.
Pentingnya peran guru dalam kepercayaan
tradisional Karo tidak hanya dalam kegiatan yang berhubungan dengan roh gaib
dan ritual, ataupun suatu kompleks penyembuhan, guna-guna dan ilmu gaib. Seorang
guru berfungsi untuk mencapai kembali keseimbangan bagi kelompok warganya.
Dalam fungsi ini, guru punya banyak pengetahuan tentang alam semesta
(‘kosmos’). Keseimbangan ‘kosmos’
yang terusik dengan sengaja atau tidak oleh manusia harus segera dikembalikan
ke kondisi semula. Keseimbangan perlu diciptakan dalam diri manusia sendiri
sebagai sebuah ‘mikro-kosmos’ (semesta kecil) untuk menciptakan suasana
kedamaian hati dan kesehatan. Sementara, keseimbangan dalam konteks yang lebih
luas dengan lingkungannya sebagai sebuah ‘makro-kosmos’ juga perlu diciptakan
untuk kesejahteraan bersama, keberhasilan usaha, dan mencegah bencana alam.
Tendi (roh) ,dan Kosmos orang Karo
Konsepsi
tentang ‘kosmos’ menurut kepercayaan tradisional Karo menyatakan bahwa alam
semesta sudah terbentuk sejak Dibata (Tuhan) menciptakan manusia dan dunia. Si
nasa lit (segala yang ada) dikuasai oleh Dibata. Alam semesta merupakan satu
kesatuan menyeluruh yang dapat dibagi secara vertikal (tegak lurus) dan
horizontal (mendatar). Secara vertikal, alam dibagi ke dalam tiga bagian yang
disebut benua; benua atas dikuasai oleh Dibata Atas, benua tengah dikuasai oleh
Dibata Tengah, dan benua teruh yang dikuasai oleh Dibata Teruh. Ketiganya
merupakan satu kesatuan yang disebut Dibata Si Telu sebagai tritunggal atau
penguasa tunggal. Secara horizontal, alam semesta dibagi ke delapan penjuru
mata angin.[2]
Orang-orang
Karo juga sangat dekat dengan suatu bentuk kepercayaan atau keyakinan terhadap
tendi (jiwa). Tendi dipandang sebagai sebuah kehidupan jiwa yang
keberadaannya dibayangkan sama dengan roh-roh gaib. Alam semesta dikuasai oleh
sekumpulan tendi. Setiap titik dalam alam semesta mengandung tendi. Dunia gaib
disebuit juga dunia pertendin. Tendi juga adalah sebutan untuk roh manusia yang
masih hidup. Jika orang itu telah meninggal, tendinya akan berubah menjadi begu
(roh).[3]
Sebuah
ritual akan dilakukan apabila terjadi ketidakseimbangan antara tubuh-tendi
jiwa-perasaan, nafas, dan pikiran dalam diri seseorang sebagai sebuah semesta
kecil (‘mikro-kosmos’). Ketidakseimbangan ini kan menyebabkan berbagai
kerugian, seperti; bangger (sakit), mara (malapetaka) dan akhirnya kematen
(kematian). Daya pikiran manusia dianggap bertanggungjawab ‘ke luar’ guna
menjaga keseimbangan dalam diri manusia dengan keseimbangan luar sebagai
‘makro-kosmos’ (alam semesta) yang meliputi dunia gaib, kesatuan sosial, dan lingkungan
alam sekitar. Keseimbangan alam semesta ini akan terganggu jika terganggunya
beberapa inti kehidupan (beraspati) : inti kehidupan tanah, air, udara, dan
rumah. Salah satu contoh dari ketidakseimbangan dalam diri seseorang adalah
jika terjadi sebuah kemalangan (kematian) dari salah satu anggota keluarga.
Ritual perumah begu akan dilakukan untuk mengatasinya. [4]
Sebelum
upacara memasuki tahap inti, si baso meminta izin pada beberapa inti kehidupan
(nini beraspati) sebagai penguasa alam dan memanggil jenujungnya hingga ia
berhasil mencapai keadaan kesurupan. Nyanyian guru si baso memanggil jenujung
adalah memanggil raja kepultaken dan raja kesunduten (penguasa matahari terbit
dan penguasa matahari terbenam):
“Enda maka kurudangken rudang kapias, ras pe rimo malem. Kuturangken kam melias dapet ate malem. O…turang rudang kapias rudang tara tinggi, e bandu kepe rudangta. Mare nini raja keputaken berkat kam kerina raja kesunduten, maka si dungi dahinta. Adi la kam reh la aku beloh. Kuleboh kel kam kerina, masok kel kam kerina ku dagingku, adi la kem reh la aku beloh ermag-mag.”
(Ini telah kubungakan bunga kapias, juga
jeruk kesejukan. Kujadikan kamu saudara yang baik untuk mendapat perasaan
damai. O… saudara bunga kapias bunga tara tinggi kiranya itu jadi bunga kita..
Mari penguasa matahari terbit berangkatlah kamu beserta penguasa matahari
terbenam, supaya kita selesaikan pekerjaan kita. Jika kamu tidak datang tidak
mampu aku melakukannya sendiri. Kupanggil kamu semua masuklah ke dalam tubuhku,
kalau kamu tidak datang tidak mampu aku bercerita dan bernyanyi).
Kehadiran
jenujung ditandai dengan perubahan prilaku guru; memicingkan mata karena merasa
ada sinar yang sangat terang dan menyilaukan, badannya terasa panas,
seolah-olah merasa diawang-awang, tubuhnya bergetar dan tiba-tiba sangat
gembira sambil berkata “ih… kai ndai tenahndu, enda aku enggo reh” (ih…apa
pesan anda, ini aku sudah datang). Guru si baso dapat langsung menari, memakan
sirih, atau meminta rokok. Jenujung ini yang akan memanggil para roh keluarga
yang telah meninggal dari dunia kematian. Roh keluarga itu akan memasuki tubuh
guru si baso kemudian berkomunikasi dengan keluarganya yang menyelenggarakan
ritual.
Ritual
ini dimulai malam hari sekitar pukul 20.00 WIB dan berakhir pukul 09.00 WIB
keesokan harinya. Selama acara berlangsung, si baso memimpinnya dengan
bernyanyi. 60 Lirik dan nada lagu sangat menyentuh dengan tone tertentu untuk
menggugah perasaan peserta ritual. Dalam proses komunikasi dengan arwah melalui
tubuh guru si baso, adakalanya juga terjadi pemeriksaan penyakit untuk keluarga
yang masih hidup ataupun ramalan akan keberhasilan, penyakit, atau malapetaka
yang akan dihadapi. Ramalan ini dilakukan oleh arwah yang memasuki tubuh si
baso dengan menggunakan media sebutir telur ayam negeri yang disebut tambul.
Si
baso juga berperan sebagai perantara antara dua kerabat yang berselisih paham.
Dalam hal ini, peran si baso sebagai perantara perdamaian untuk dua kelompok
kerabat yang berkonflik. Begu (roh) atau arwah yang memasuki tubuh si baso
bertindak sebagai juru damai dan memberi beberapa nasihat.
Sebagai seseorang yang memiliki
kekuatan supranatural, seorang guru si baso memiliki fungsi untuk pemenuhan
kebutuhan rohani bagi warganya. Sebagai penyambung rasa antara manusia dan
Dibata la idah (Tuhan penguasa alam semesta yang tidak kelihatan), seperti pada
ritual mere tembunen atau muncang.[5]
Sebagai
orang yang menguasai pengetahuan tentang kosmos (alam semesta), guru si baso
juga berfungsi sebagai biak penungkunen (biro konsultasi). Warga akan meminta
penjelasan mengenai mimpi mereka, peristiwa aneh yang dialami, dan mengharapkan
nasehat-nasehat sebagai tindakan lanjutan. Nasehat terutama sangat dibutuhkan
dalam kasus konflik antarwarga atau antar kerabat. Jika kasus terjadi dalam
lingkup kerabat dekat, si baso akan menyarankan diadakannya perumah dibata dan
disusul dengan perumah begu pada malam harinya dengan hanya melibatkan kerabat
terdekat yang bersengketa. Fokus dalam acara diarahkan pada penyelesaian
konflik.
Dalam
kasus ini, si baso juga berfungsi sebagai pengikat solidaritas sosial.
Selain menjaga keseimbangan dalam diri manusia, secara
tidak langsung si baso juga berperan menjaga keseimbangan berjalannya norma dan
nilai adat-istiadat. Pergeseran norma dan nilai adat dapat menjadikan jalannya
adat menyimpang dan menyebabkan para leluhur marah dan mencelakakan manusia. Spesialisasinya
ini juga mempunyai kemiripan dengan para imam dala gereja katolik yang bertugas
dalam melayani dan mendoakan semua orang yang membutuhkan bantuan dari imam
tersebut. Orang
Karo dalam pengalamannya setiap hari sering berhadapan dengan gejala-gejala dan
peristiwa-peristiwa alam yang kadang kala di luar pengetahuan dan daya kemampuannya.
Dalam pengalaman ini mereka merasa disentuh, gembira, bahagia, tenteram, dan merasa
aman, namun sekaligus menakutkan. Mereka tidak dapat mengungkapkan pengalaman ini,
tetapi dapat merasakannya.
Daftar Pustaka
.
1.
Bangun
, Teridah. Penelitian Dan Pencatatan Adat Istiadat Karo. Jakarta : Yayasan
Merga Silima, 1990.
2.
Tarigan,
Sarjani. Lentera Kehidupan Orang Karo dalam
Berbudaya. Medan: Balai Adat Budaya Karo Indonesia, 2009.
3.
Sembiring,
Nongo. Ide-ide Allah Dalam Pandangan
Orang Karo. Pematangsiantar: STFT St. Yohanes, 1996.
[1] Tridah Bangun ,Adat Istiadat Karo(Jakarta: Yayasan
Merga Silima,1990) ,hlm. 24-25.
[2] Sarjani
Tarigan, M.S.P, Lentera Kehidupan Orang
Karo dalam Berbudaya(Medan: Balai Adat Budaya Karo Indonesia,2009) ,hlm.61-65.
[3] Nongo
Sembiring ,Ide-ide Allah Dalam Pandangan
Orang Karo(Pematangsiantar: STFT St. Yohanes,1996) ,hlm. 46-50..
[4] Tridah Bangun ,Adat ..., hlm. 32-35.